Bab 5| Tak Terduga.

2.1K 113 6
                                    

Aku masih benar-benar kesal dengan pria yang baru saja ku kenal beberapa jam yang lalu, nada bicaranya yang sok berwibawa dan sok menasihatiku.
Dia masih santai duduk disamping supirnya dengan membaca Al-Quran, ya aku tau kalau itu Kitab Suci. Seburuk apapun aku dimata orang, aku masih mengenal bahwa Al-Qur'an adalah KalamNya.

"Pak, bisa ngebut ngga? Toh ini jalanan sepi." Ucapku menatap kaca depan seraya mengukur kaki telapak tangganku yang entah sejak kapan memerah gatal.

Pria mata empat itu meliriku dengan tatapan seperti mewakili 'ini mobil milik siapa?' Dan supirnya pun hanya menatap ke arah pria itu. "Gimana den?" Tanyanya dengan nada bingung.

"Ngebut yang penting aman." Ucapnya yang masih menatap Qur'an dengan fokusnya.

"Tumben lo baik." Ucapku spontan membutnya membalikan setengah badanya ke arahku.

Supirnya terkekeh pelan seraya melirik dikaca depan, Pria ini masih memasang wajah sejuknya wajah yang selalu terlihat senyuman disana. "Lagi pula Saya memang baik dari dulu." Ucapnya santai.

Astaga! Aku salah bicara ? Ternyata ucapanku tadi membuat pria mata empat ini semakin percaya diri dengan sikap-sikapnya. Ira kau sangat bodoh!

"Ah lupakan!" Ucapku membuang muka kearah jendela.

Selama perjalanan entah ada apa hatiku juga mataku tertuju pada pria bermata empat itu, padahal baru lima jam aku bersamanya itu 'pun untuk pertama kalinya. Dia sosok aneh, berwibawa tapi sombong, tampang tapi songong, cerdas tapi merendahkan.

Aku berusaha meminta mataku agar fokus pada ponsel atau apapun asal bukan pada pria itu, hatiku pun resah entahlah. Mungkin keresahan karena aku yang lalai pada Kak Gilang.

"Ini kafenya kan, Mba?" Tanyanya. Aku masih melongo medengar kata terakhir yang keluar dari bibirnya.

Mbak?

Bahkan aku jauh lebih muda darinya, dan dia berani memanggilku Mba?!

"Mba!" Ucapnya seraya mengibaskan tanganya didepan mukaku.

"Eh gue bukan Mba lo! Berapa kali gue kasih tau ke lo, huh?" Ucapku dengan menujukan kepalan tangan yang hendak ku daratkan diperutnya.

Ia terkekeh atas sikapku, hei apa ada yang salah? "Ish! Lo tuh gila!" Teriaku tepat ditelinganya. Ya itu artinya posisiku muka kami berdekatan kurang dari dua cm. Astaga!

"Astagfirullah," Dia segera menjauhkan wajahnya ketika sadar kedekatan kami.

Aku ikut malu, apa? Malu? Dengan pria mata empat? Oh tidak!

"Saya akan nunggu kamu dimasjid dekat sini. Kamu tau kan." Ucapnya mencairkan suasana.

"Masjid yang pagernya merah?" Tanyaku mencoba mengingat memoriku. Dia mengangguk.

"Kenapa harus nunggu? Toh pacar gue yang bakal nganterin gue pulang." Ucapku saat satu hal terlintas diotaku.

Dia tersenyum, senyum yang bisa membuatku terus salah fokus. "Ini baca." Ucapnya seraya menyerahkan ponselnya yang sudah terbuka diaplikasi WA.

"Auva, kamu tolong anterin Ira sampe rumah setelah ketemuan sama Gilang ya? Tanten nginep disini. Papanya masih diluar kota. Makasih ya va." Ucapku membaca pesan yang ada diponselnya.

"Saya hanya mau tepati janji. Gimana?" Ucapnya dengan menampakan kewibawaanya. Ah selalu begitu!

Aku mengangguk pelan. "Oya, Lo mau nomor gue ga?" Tanyaku, jadi nanti aku tidak akan susah mencari keberadaanya.

"Buat?" Pria yang sangat polos, Aku merebut ponselnya sesuka hatiku.

Lalu ku ketikan nomorku dan ku namai 'Ira si cantik' gimana? Keren bukan? "Biar ga susah carinya." Ucapku seraya menyerahkan ponselnya kembali.

Mengejar Cinta IllahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang