***

"Gimana kabar lo?" Leo duduk di sofa yang berhadapan dengan Alden di ruang tengah. Leo sudah sering ke rumah Alden, sehingga dia terkadang langsung menyelonong masuk tanpa izin.

Aldem diam, tidak berniat menanggapi pertanyaan Leo.

"Tinggal sendiri, ternyata bikin lo makin cuek aja sama gue." Leo tertawa kecil.

"To the point, lo mau apa?" tanya Alden terdengar malas.

Leo berdeham. "Nanti malam ada acara makan malam. Papa suruh gue undang lo."

"Gue enggak akan dateng," sahut Alden cepat. Tangannya terkepal di sisi tubuh.

Leo menyandarkan punggungnya sembari menghela napas panjang. "Mau sampai kapan lo enggak akan dateng? Sampai kapan lo ngehindarin keluarga lo sendiri?"

Keluarga? Alden mendengkus. "Kalian bukan lagi keluarga gue."

"Jadi kayak gini cara terima kasih lo sama Papa Mama?" tanya Leo. "Mereka yang udah besarin lo selama ini."

Mendengar Leo menyinggung perihal orang tua, seketika Alden menahan napas. Kedua tangannya terkepal erat. Bibirnya mengatup rapat. Selalu saja begini setiap kali Leo datang.

Alden berdiri dari duduknya. "Lo tau? Gue enggak berharap buat hidup lagi setelah hari itu. Membesarkan gue sama artinya dengan menyiksa gue."

Ketika Alden hendak melangkah pergi, Leo mencekal lengannya. "Karena gue lagi?" tanyanya dengan suara pelan.

Alden melepas tangan Leo dari lengannya, lalu memilih pergi tanpa mau menjawab pertanyaannya.

"Perempuan itu." Ucapan Leo membuat Alden berhenti melangkah. "Siapa? Pacar lo?"

"Bukan urusan lo." Alden tahu bagaimana karakter Leo. Ketika penasaran dia akan mencari tahu sampai dapat. Namun walau begitu, Alden tidak berniat memberi tahunya apa pun tentang Fiona.

***

Tatapan Fiona tidak berubah sejak sepuluh menit berlalu. Dia menatap Alden yang sejak datang ke ruang musik, terus diam. Namun tangannya meremas-remas rambutnya seperti orang sedang sakit kepala. Membuat rambutnya berantakan, bahkan kuncirannya lepas entah ke mana.

Jujur saja rambut berantakan Alden membuat kadar ketampanannya meningkat. Namun tetap saja Fiona lebih menyukainya ketika dikuncir.

"Kakak kenapa?" Fiona tidak tahan untuk tidak bertanya setelah lama memperhatikan. "Kenapa rambutnya diacak-acak?"

Alden seketika melepaskan tangannya dari rambutnya. Meremas atau bahkan mengacak rambut sudah menjadi kebiasaannya ketika memikirkan sesuatu atau sedang stres.

Fiona duduk mendekat pada Alden. "Biar aku rapikan lagi." Fiona tanpa ragu merapikan rambut Alden yang berantakan.

Alden masih diam. Tindakan Fiona membuatnya terkejut, tetapi dia tidak menolak atas apa yang perempuan itu lakukan.

"Tadi siapa yang dateng, Kak?" tanya Fiona selagi menyisir rambut Alden dengan jari-jari tangannya.

Alden terus diam. Membuat Fiona gemas ingin mengintip mulutnya apakah ada seriawan yang membuat pria itu terus bungkam.

"Kakaknya, ya?" Diamnya Alden dan bahunya yang menegang membuat Fiona tahu tebakannya benar. "Ganteng juga."

"Apa kamu selalu menilai orang dari fisiknya?" tanya Alden setelah lama bungkam.

Fiona menarik lepas kuncir rambutnya sendiri untuk menguncir rambut Alden, membiarkan rambutnya tergerai. "Itu yang pertama. Karena kalo bukan fisik yang pertama, kita enggak bisa menilai karakternya sebagai yang kedua. Tapi fisik enggak selalu mencerminkan karakter orang."

Imperfect CoachWhere stories live. Discover now