21. Talk and Act

1.7K 326 38
                                    

Dalam hidup, kamu bakal dihadapkan pada peristiwa yang membuat kamu berharap punya ilmu bela diri. Tapi setelah belajar wushu, kamu bakal dihadapkan juga pada peristiwa yang membuat kamu merasa itu terjadi hanya karena kamu bisa bela diri.

— Master Zhang

Aku keluar dari mobil, berhadapan dengan Hya. Mungkin pertanyaanku jelas terbaca di muka, senyum cewek itu merekah penuh kemenangan. Blekok kesiangan!

"Gampang," katanya, bangga. "Aku telepon Nana. Ternyata kamu kabur dengan mobilnya. Lalu aku telepon Bang Tagor, minta koordinat posisi kalian. Aku ke sini naik taksi."

"Oh!" Wynn tertawa. Ia sudah turun dari mobil dan menunjuk jam tangannya. Ah ya, tentu saja! Bang Tagor memonitor pergerakan Wynn.

"Kamu enggak jadi makan di resto paman Neru?" tanyaku pada Hya. Menghitung waktu sejak kami berpisah di mal, sepertinya belum cukup lama.

Hya mendesah. "Aku kepikiran kalian. Neru peka banget, tahu aku gelisah, lalu nyuruh aku menyusul kalian. Dibawain makanan pula. Nih, ada di ranselku. Kalian pasti belum makan."

Wynn bersorak. Menyerbu ke balik punggung Hya. Membongkar ranselnya. "Mi goreng, masih hangat, Wynter. Rezeki anak saleh."

Aku menyeringai, perutku juga mulai terasa perih karena kosong. Kasihan Wynn. Anak saleh itu jadi kelaparan mengikuti anak salah.

"Thanks, Hya. Thanks, Neru, wherever you are." Wynn mengoceh gembira. Uh, seperti belum pernah makan mi goreng saja.

"Neru sedang mengantar Auden ke toko perlengkapan musik punya pamannya yang lain lagi. Neru pengin menunjukkan koleksi flute berukiran yang cantik-cantik."

Wynn mengacungkan jempol. "Wah, bagus. Aku enggak perlu khawatir soal Auden lagi. Cocoklah mereka itu."

"Eh. Apa maksudmu?" Hya mengangkat alis.

Wynn cuma mengangkat bahu. Berbalik.

"Wynn, jangan sok cuek begitu. Mestinya kamu yang bareng Auden sekarang." Hya menarik lengan baju Wynn.

"Hei, hei, bukannya kita mau makan," selaku, menyelamatkan Wynn dari situasi rawan. "Ayo, cari tempat yang nyaman."

Hya mendelik ke arahku. "Kalau bukan karena kamu—"

What? Aku menelengkan kepala. Tapi Hya tidak mau melanjutkan. Oh, tidak bisa begitu! Seenaknya menimpakan kesalahan kepadaku lalu mogok bicara. "Kalau bukan karena aku, kenapa?"

Hya menyemburkan napas. "Enggak apa-apa. Lupakan saja. Ada food court di seberang kebun teh. Kita makan dan beli minum saja di sana. Sambil bicara." Kalimat terakhir diucapkannya dengan menoleh kepada Wynn.

Wynn masuk ke mobil sambil membisu. Kukira ia akan duduk di sampingku seperti semula. Ternyata memilih kursi belakang. Hya duduk di kursi depan. Aku mendengkus.

"Ayo, jalan!" katanya.

Nada suaranya bikin aku pengin menendang ban mobil. Tadi menyalahkan, sekarang memerintah? Aku masuk sambil ngedumel. "Memangnya aku Pak Firman."

"Yang bilang kamu Pak Firman siapa?" balas Hya.

"Kamu senang ya, bisa nyuruh-nyuruh aku?" Kubanting pintu menutup.

Hya membalas dengan entakan kaki di lantai mobil. "Lah, aku harus bilang ke siapa dong? Kamu yang pegang kemudi!"

Wynn berdeham di belakang. Aku mengabaikannya. Hya bahkan tidak menoleh. Mata cewek itu masih menghunjam ke arahku. Kunyalakan mesin tanpa mengalihkan pandangan juga. Kami beradu tatap.

Write Me His Story (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang