24 - The Help

1.2K 111 1
                                    

Ranking ke-18 dari 20 siswa itu tidak terdengar seperti hal yang membanggakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ranking ke-18 dari 20 siswa itu tidak terdengar seperti hal yang membanggakan.

Sejak awal, Kiran tak pernah tahu bagaimana bisa ia diterima di sekolah swasta ini, mengingat persaingan yang ketat dan dia juga dulu mengalami banyak kesulitan saat mengerjakan soal-soal tes masuk. Keberuntungan benar-benar berada di pihaknya. Mungkin Dewi Fortuna saat itu sedang bertengger di bahunya dan menuntun tangannya untuk memilih jawaban-jawaban yang benar. Benar atau tidak, Kiran sendiri hanya bisa angkat bahu.

Makanya, ketika Pak Theo, wali kelasnya mulai memberikan wejangan dari A sampai Z, ia rasa tak ada hal yang lebih buruk lagi. Dua siswa yang dua peringkat di bawahnya dengan jujur beliau bilang sebenarnya lebih kompeten dari Kiran, hanya saja mereka terlalu berandal untuk diberikan posisi yang lebih baik. Apa boleh buat kalau performa belajarnya menurun di semester ini? Untuk belajar saja Kiran sulit konsentrasi. Kepalanya sering dilanda pusing. Belum lagi mengantuk dan lelah. Semuanya gara-gara bradikardia itu. Untunglah Pak Theo memaklumi saat ia memaparkan alasan mengapa nilainya bisa begitu turun.

Kiran mengucapkan terima kasih saat sesi konsultasi usai. Rapornya didekap di dada, berat sekali rasanya. Jika bukan karena pesan yang diterimanya dari Airin, bibi angkat mereka yang tinggal di Bandung, mungkin hari ini dia hanya akan membawa satu lagi kabar tak menyenangkan untuk Kevin.

"Kiran! Sudah beres?" Maya yang semula duduk bersama Mami-nya datang menghampiri, "Gimana? Masuk lima besar, nggak?"

Ia menggeleng tanpa gairah,

"Nggak begitu bagus."

"Oh... well, jangan terlalu dipikirkan. Toh itu cuma nilai, kan? Bukan patokan kamu bakal sukses atau nggak, ha... haha..."

Wajah murung Kiran berubah setingkat lebih riang. Sekalinya sedih, agak sulit bagi seseorang untuk menghiburnya, tapi ia menghargai usaha Maya. Sudah cukup ia membuat sahabatnya itu khawatir. Lagipula, masih ada satu berita baik yang ia simpan di akhir. Dan dia ingin Kevin menjadi orang pertama yang mendengarnya.

"Aku harus pergi sekarang," katanya, melihat anak-anak yang menunggu antrian konsultasi tidak lagi terlalu ramai, ia pikir Kevin sudah selesai dengan urusannya di TU. Sekarang kakak kembarnya itu pasti ada di klub renang.

"Nggak langsung pulang, kan?" tanya Maya.

"Nggak, kok. Aku mau lihat keadaan Kevin dulu. Sudah, ya, May."

"Jangan pulang dulu sebelum aku selesai, ya. Aku punya sesuatu buatmu."

Sesuatu? Sebelum Kiran sempat menyuarakan pertanyaannya, nama Maya sudah dipanggil. Gadis berambut pendek itu melambaikan tangan sebelum memasuki ruang konsultasi. Kiran tersenyum simpul. Setelah Kevin, dia akan langsung memberitahu Maya soal ini.

Tunggu sampai kamu dengar soal ini, Vin. Kamu nggak perlu berhenti berenang! Dengan hati yang terasa lebih lapang, Kiran menyusuri koridor menuju belahan Timur gedung di mana area khusus sarana olahraga berada. Bahkan di hari pembagian rapor pun, area itu tetap ramai, terutama oleh para murid lelaki. Melewati area lapangan sepak bola, Kiran mempercepat langkah begitu mendengar suara gaduh tendangan bola ke sana ke mari. Jangan sampai tragedi terkena tendangan salah satu pemain tepat di kepala terulang kembali.

ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang