5 - Mawar

3.8K 304 30
                                    

Mawar ambruk sebelum sumpah serapah sempat meluncur dari bibirnya yang berpoles lipstik magenta. Kiran beringsut memberi pertolongan, mencoba memapahnya. Bau alkohol bercampur dengan aroma parfum mewah. Sulit bagi Kiran untuk berjalan. Mawar mungkin tak ubahnya setangkai bunga yang mulai layu, tapi dia masihlah wanita dewasa yang akan membutuhkan tenaga bagi seseorang untuk menyeretnya dalam keadaan setengah sadar.

"Biarkan saja dia, Ran! Nanti juga bangun sendiri!" Kevin setengah memaki. Mendengar ucapan itu, mau tak mau Kiran mendidih sesaat. Mawar adalah ibu mereka, tak peduli seberapa jeleknya dia.

Kenapa Kevin begitu membencinya saat Mawar sudah cukup bekerja keras sendirian demi menghidupi mereka berdua?

"Kamu bicara apa, sih?" dia bersyukur Mawar sepertinya tidak mendengar omongan Kevin.

Ah, toh sekali pun Mawar mendengarnya, pasti dia takkan bereaksi apa-apa.

Kevin mendecih untuk yang kedua kalinya. Hubungan mereka memang tak pernah baik ..., sejak dulu. Kembarannya itu pernah berkata, kalau Mawar tak pernah benar-benar ada untuk mereka. Mawar hanya tahu selama ia masih bisa memberi mereka makan, memasukkan mereka ke sekolah yang mahal dan rumah yang mewah, itu saja sudah cukup.

Kiran butuh dukungan. Dan Mawarlah yang seharusnya menjadi orang nomor satu yang mengisi tempat itu. Lalu di mana dia saat Kiran mendapat kabar kalau dirinya kemungkinan tidak akan bisa memenuhi kodrat wanita seutuhnya---memiliki anak secara normal? Tidak ada. Yang diberikannya hanyalah biaya semua terapi, check up dan konsultasi. Memang benar Kiran juga membutuhkannya, tapi bagi Kevin, itu belum cukup.

"Nggak usah marah kalau kamu nggak ada niat membantu," tuding Kiran, Kevin sontak berjalan mendekatinya, "Jangan. Bahu kamu masih sakit!" larangnya, tak ayal pemuda itu pun tertawa sinis,

"Maunya apa, sih? Tadi kesannya minta dibantu, sekarang ...."

"Tolong bukakan pintu kamarnya Mama. Bawakan tasnya juga," sela Kiran. Walau sempat mendengus, Kevin akhirnya manut. Sebenarnya dia tidak nyaman melihat adiknya harus mengangkut Mawar seperti itu, tapi apa boleh buat. Sekali pun memaksa Kiran justru akan memarahinya.

"Ck. Kerjaan macam apa pulang-pulang mabuk," Kevin menggumam gusar. Beberapa saat kemudian Kiran sudah berhasil membaringkan Mawar di kasur. Wanita itu sudah tak meracau lagi, namun wajahnya masih mengernyit dan sebelum Kiran mendapatkan waktu untuk bernapas sesaat, Mawar tiba-tiba setengah bangkit dan mengeluarkan isi perutnya ke lantai kamar.

"Euhh ...," Kevin mengernyit jijik. Kembarannya terlihat panik. Sekarang posisi ibu dan anak seolah tertukar. Pemuda itu hanya menggerutu dalam hati saat Kiran tanpa ragu membantu Mawar dengan mengusap-usap punggungnya.

"Kevin, tunggu di sini. Aku mau buat jahe hangat."

Dan gadis itu pun melenggang ke dapur. Meskipun Kevin menaruh rasa tidak suka yang amat sangat kepada Mawar, ia masih bisa mengerti mengapa Kiran tetap mempertahankan respeknya pada sang ibu.

Mawar satu-satunya orang tua yang mereka punya. Satu-satunya tempat untuk bertumpu, orang dewasa yang (mungkin) paling bisa mereka percaya. Dan sebagai perempuan, Kiran memiliki perasaan yang jauh lebih lembut darinya. Mustahil rasanya Kiran akan bersikap seperti dirinya terhadap Mawar ....

Dilihatnya wajah sang ibu yang sudah kembali berbaring. Sepertinya dia tengah menahan mual dan sakit kepala hebat. Huh ..., citra macam apa yang mau diperlihatkan pada anakmu? Ketus Kevin dalam hati.

Dari dulu Kevin sudah tahu tabiat Mawar. Tidak banyak bicara, acuh, dan jarang berekspresi. Wanita cantik yang misterius, begitu kata teman-temannya yang beruntung dapat berpapasan dengan Mawar saat berkunjung ke rumah mereka. Tak seorangpun tahu apa yang wanita itu pikirkan. Bagi Kevin itu terdengar konyol. Di matanya Mawar hanya gagal menjadi seorang ibu. Sesederhana itu.

Jika Kevin harus menyebut satu hal yang paling ia benci dari Mawar, maka itu adalah perilaku Mawar yang tak pernah mau terbuka, seolah-olah Mawar tak bisa mempercayai darah dagingnya sendiri. Wanita itu sudah menciptakan semacam benteng selama yang mampu Kevin ingat. Dan sampai sekarang, Kiran sekalipun tak bisa menembusnya.

Hal-hal yang wajar diketahui seperti pekerjaan apa yang ia lakukan, di mana kerabat keluarga mereka yang lain ..., atau bahkan siapa sebenarnya ayah mereka ..., informasi semacam itu saja tak pernah bisa mereka dapatkan dengan jelas.

Mata biru gelap Kevin menyipit ke arah tas Mawar yang tadi ia bawa. Benda bermerk mahal itu masih ada dalam genggamannya. Tangan Kevin mengepal. Sebuah pemikiran terlintas di benaknya.

Jika dia membuka isi tas ini, mungkinkah dia bisa mendapatkan sedikit informasi tentang siapa sebenarnya Mawar?

Ia membawa tas tangan itu ke atas bupet, membuka resletingnya dan mulai merogoh. Diraihnya ponsel Mawar. Terkunci kode pola. Sial. Setelah itu dibukanya beberapa lipatan kertas putih yang secara acak tersebar di dalamnya. Cek-cek dan bukti-bukti pembayaran. Tidak berguna. Tangannya membuka bagian penyimpanan lain di dalam tas itu. Ada beberapa obat dengan resep dokter tersimpan di sana.

Obat? Apa dia sakit? Pikirnya. Kevin melirik Mawar sekilas, lalu kembali membongkar isi tas tersebut dan menemukan sebuah dompet kulit. Dibukanya dompet tersebut, selain deretan kartu-kartu penting dan uang tunai, sebuah kertas putih yang dimasukkan ke dalam bagian yang beresleting membuatnya menelan ludah.

Dibukanya kertas tersebut, disambut oleh dua baris kalimat yang membuat napasnya tertahan,

PERMINTAAN UNTUK PEMERIKSAAN TEST HIV DARI KLINIK MELATI BADAN PELAYANAN RSUD SETIA BUDHI

Reaktif? Apa maksudnya ini? Batin Kevin, kedua alisnya bertemu. Kalau Mawar bekerja di bidang medis yang menyebabkan dirinya beresiko terkontaminasi virus HIV, Kevin bisa memahaminya. Tapi dia sama sekali tak terlihat seperti seorang pekerja medis ..., lalu kenapa?

"Kamu sedang apa, Vin? "

Pemuda itu segera membereskan isi tas Mawar. Ia berbalik, menemukan Kiran memberinya tatapan tanya. Tangannya membawa sebuah cangkir dan yang satunya lagi lap kotor untuk membersihkan muntahan Mawar tadi.

"Nggak. Aku cuma penasaran apa isi tasnya Mawar."

Kiran memberinya sorot mata tidak suka,

"Sudah kubilang berapa kali, kan, jangan panggil Mama seperti itu," peringatnya, "Dan Mama pasti marah kalau tahu kamu buka-buka tasnya tanpa izin."

Sedang tak ingin berdebat, Kevin berusaha secepatnya mengakhiri pembicaraan mereka. Dia harus segera mencari tahu sesuatu tentang surat hasil laboratorium tadi.

"Ada hal lain yang bisa aku bantu, nggak?" tanyanya sebelum pergi. Kiran menggeleng,

"Biar aku saja yang bereskan semuanya. Kamu istirahat," jawab Kiran, gadis itu pun menaruh jahe hangatnya di atas nakas dan mulai bekerja tanpa menunjukkan rasa jijik sedikit pun.

Sempat terlintas di benak Kevin untuk menyuruh Kiran datang ke kamarnya setelah dia selesai mengurus Mawar. Diurungkannya niat itu. Kevin tak mau membuat keadaan semakin runyam.

Firasatnya berkata, kalau apa yang dilihatnya dari surat barusan sesuai dengan apa yang ia pikirkan, maka kecurigaannya selama ini adalah benar.

Dan Kiran tidak boleh sampai mengetahuinya.

***

ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang