HATRED 7

260 16 0
                                    

Jam lima sore dan rumah Danar sudah di padati para pelayat. Keluarga Danar memang terkenal baik dan ramah pada semua orang, jadi ketika mendengar ibu Danar meninggal, semua orang yang mengenal beliau, datang berbondong-bondong untuk meyampaikan belasungkawa mereka.

"Kasihan ya padahal masih muda, anak-anaknya masih kecil lagi," seru Ibu Yanti, tetanga sebelah Danar.

"Iya bu. Kok bisa kebetulan seperti ini ya. Bapaknya baru saja di penjara, eh... sekarang malah ibunya di tabrak mobil di pasar dan meninggal dunia," sahut Ibu bertubuh gempal di sebelahnya, yang mengenal Ibu Danar dari persekutuan doa di kampung mereka.

"Ya mungkin sudah takdirnya seperti itu, bu," jawab bu Yanti sambil ikut membersihkan rumah Danar dan menggelar tikar di seluruh ruang tamu.

Jam enam sore, rombongan Danar baru datang membawa jenasah ibunya pulang ke rumah. Sontak semua menyambut dengan isakan tangis.

Danar hanya diam saja mematung di sebelah peti jenasah ibunya. Para tamu yang berdatangan untuk meyampaikan belasungkawa pun tidak sedikitpun di hiraukannya.

Setetes pun air mata tidak membasahi pipinya. Mulutnya bahkan terkunci rapat dan menolak untuk bicara dengan siapapun.

Bahkan saat ayahnya datang di kawal oleh sekelompok polisi, dia pun tak bergeming. Dia hanya memandangi saja ayahnya yang menangis histeris dan memukul-mukul lantai dekat peti jenasah di letakkan.

Jam tujuh sore, saat pelayat semakin banyak berdatangan, saudaranya dari Surabaya pun bersamaan datang. Suasana jadi semakin sedih. Tangisan histeris pun memenuhi seluruh ruangan rumahnya.

Semuanya menangis. Semua kecuali Danar.

Karna seluruh keluarga sudah berkumpul, kebaktian penutupan peti pun di mulai. Kebaktian yang menandakan terakhir kalinya orang-orang bisa melihat jenasah. Karena setelah kebaktian ini, peti harus di tutup sampai acara penguburan besok dan tidak boleh di buka lagi.

Setelah nyanyian rohani dan kotbah dari pendeta, pembawa acara mempersilahkan setiap anggota keluarga menyiapkan sepatah dua patah kata.

Ayah Danar yang mendapat kesempatan pertama. Namun alih-alih mengucapkan sesuatu, ayahnya malah menangis histeris dan meneriakkan kata-kata yang tak jelas sambil memeluk peti istrinya.

Saudara dan beberapa tetangga ikut menenangkan seraya membisikkan kata-kata, "Sabar... ikhlaskan saja."

Kata-kata klise yang selalu di ucapkan untuk menenangkan seseorang yang keluarganya baru saja meninggal.

Tapi betapa kata-kata itu terdengar kejam dan tak berperasaan di telinga Danar. Bagaimana mungkin dia bisa sabar dan mengikhlaskan begitu saja kematian orang yang paling di cintainya itu. Ibunya baru beberapa jam meninggal dan jasadnya masih terasa hangat sewaktu dia memeluknya tadi sewaktu keluar dari rumah sakit, lalu bagaimana mungkin secepat itu dia bisa menenangkan dirinya dan menganggap fakta ibunya tidak akan kembali lagi selama-lamanya adalah hal yang biasa dan yang harus direlakan semudah itu.

Mudah memang jika bukan salah satu keluarga mereka yang meninggal!

Setelah Ayah Danar mulai tenang, acara pun di lanjutkan. Satu per satu mengucapkan rasa kehilangan mereka. Ruangan itu pun di penuhi isak tangis beberapa saat sebelum akhirnya peti ibu Danar harus di tutup.

Ayahnya dan saudara-saudaranya segera mendekati peti jenasah, menangis dan mengucapkan kata-kata perpisahan mereka sewaktu peti di tutup dan di paku di empat sisi.

Hanya Danar yang tetap duduk dan mematung di tempat duduknya.

***

Jam sepuluh malam, acara pun akhirnya selesai. Para pelayat pun sudah berpulangan.

MARRYING DEVIL HUSBANDWhere stories live. Discover now