42. Extra Part - 1

Start from the beginning
                                    

Drian masih mengamati setiap gerak gadis berambut panjang yang dikucir kuda tersebut. "Mana ada, nyuci sampai kecapekan gitu cuma pencitraan?" sangsinya.

"Kali aja. Kan nggak ada yang tahu isi pikiran orang lain." Rara memeras pakaian yang sudah selesai ia kucek.

Drian kembali mengamati setiap gerak-gerik Rara yang kini tengah menghidupkan keran air. Lagi-lagi, ia tersenyum untuk kesekian kalinya pada hari ini. Membayangkan suasana berdua yang ia harapkan akan terjadi beberapa tahun lagi, bersama Rara.

Jika suatu saat Rara benar-benar menjadi istrinya, tentu ia akan betah berlama-lama di rumah. Bermesra-mesraan sesuka hati, saban hari, setiap waktu, tanpa khawatir akan digerebek atau diarak warga. Bila mereka sudah memiliki buah hati, kemungkinan akan mencuri-curi waktu berpacaran. Tak masalah. Ia bersedia kucing-kucingan seperti itu, yang penting bisa bermesra-mesraan.

Bisa dipastikan, hal itu akan ia laksanakan sepenuh hati, tanpa harus diminta dua kali. Bila perlu, ia yang akan meminta sebanyak dua kali. Jika Rara menolak, maka ia bersedia memaksa, merayu, sekaligus menggoda dengan cara yang amat sangat manis... juga romantis.

"Hus, hus! Pikiran lo udah mulai nggak beres!" Drian mengusir pemikiran nan melenceng itu di dalam hati, seraya mengibaskan telapak tangannya di depan wajah.

"Boleh minta tolong ngangkat sama bawain ini ke halaman belakang?" tanya Rara hati-hati.

Drian melirik apa yang ada di hadapan cewek itu. Ia bahkan baru menyadari jika Rara sudah selesai mencuci, karena sedari tadi sibuk melamun. Pakaian siap jemur pada sebuah ember besar, kini ia dapati. Pantas saja Rara meminta bantuannya. Karena tentu cewek itu akan keberatan, bila mengangkat dan membawa satu ember penuh pakaian basah termaksud. Ia merasa sangat dihargai ketika Rara tak serta-merta menghilangkan perannya sebagai laki-laki seperti saat ini.

Tanpa menjawab, Drian mendekat untuk mengangkat ember besar itu. Kemudian melangkah di belakang Rara yang bertugas menunjukkan jalan. Setelahnya, menawarkan bantuan untuk ikut menjemur. Pun membantu memeras selimut tebal yang membutuhkan tenaga besar. Tangan Rara memegang ujung satunya, sedangkan ia memegang ujung lain. Memutar kedua sisi secara bersamaan, namun berlawanan arah, untuk mengurangi kadar air yang terperangkap. Lalu menjemurnya pada salah ruang kosong. Ia menikmati suasana berpacaran semacam ini.

"Akhirnya, selesai juga." Rara menyeka keringat yang terkucur di dahinya, lega.

Drian termangu, menatap wajah manis itu. Wajah manis yang menjadi alasannya untuk menggumamkan rasa rindu dalam hati. Ia benar-benar telah jatuh hati.

"Ayo, masuk. Malah bengong," tegur Rara, mendapati wajah bengong miliknya, sebelum akhirnya berjalan dengan langkah cepat.

Rara duduk bersandar pada kursi panjang. Juga mengabaikan tatapan dari sosok yang ada di sebelahnya.

"Capek?" tanya Drian akhirnya, setelah menahan pertanyaan itu sedari tadi.

Rara menggerak-gerakkan anggota tubuh atasnya. Anggukannya mempertegas bahwa ia lelah. Hingga membuatnya malas mengerjakan apa yang dititipkan oleh ibunya.

"Kan ada mesin cuci. Kenapa tadi nggak pakai mesin cuci aja? Kan nggak capek, terus bisa cepet selesai."

"Lebih enak dan memuaskan kalau nyuci pakai tangan, sambil olahraga. Sekalian belajar tahan banting!" jawab Rara cengengesan.

"Tapi kalau Rara jadi istri gue, gue nggak bakal biarin Rara kecapekan kayak gini." Drian tersenyum. "Tapi makasih deh, udah mulai belajar jadi istri gue."

Rara menatap aneh. Ia hanya ingin membiasakan diri agar tak kaget, jika harus mencuci dengan tangan, tapi disalahartikan. "Siapa juga yang lagi belajar jadi istri Kakak?" sahutnya tak terima.

Lagi-lagi, Drian tersenyum. Sebegitu tak maunyakah Rara mengakui kalau sedang belajar menjadi istrinya? Padahal, memang dia saja yang terlalu berharap. "Makasih, ya." Ditatapnya mata sang lawan bicara. Sepasang mata kecil beriris cokelat yang entah memancarkan energi apa kepadanya. Pun wajah yang kian ia rindukan setiap saatnya.

Dahi Rara mengernyit. Lagi. Ia dibuat bingung untuk kedua kalinya. Tatapan yang kini ia dapatkan itu meneduhkan, namun secara tak langsung memberinya rasa sakit. Ditambah pernyataan-pernyataan yang membuatnya membeku, itu menjebaknya. Jebakan untuk kian terikat dengan cowok itu.

Drian masih menatap wajah dan mata itu, kian dalam. Menyelami setiap incinya. Ada banyak ungkapan terima kasih untuk satu penopangnya ini. "Makasih, udah setia dengerin setiap keluh kesah gue yang nggak pernah kenal waktu. Makasih, buat senyum manisnya. Makasih, untuk semuanya."

Rara mendadak bisu. Ada yang bergejolak pada dirinya ketika meresapi beberapa pernyataan itu. Ia tak menyangka, bahwa Al menganggapnya sejauh apa yang tak bisa ia jangkau selama ini, sekabur apa yang tak terbaca olehnya, tetidak mengerti apa yang tak diketahuinya. Sementara ia, justru menganggap bahwa orang tersebut hanya pengganggu.

Kerapuhan mata yang ia saksikan pada pagi hari tadi, ia dapati kembali. Kerapuhan yang tentu masih berusaha disembunyikan.

Ia mulai tahu, meski belum sepenuhnya mengerti. Ia berjanji, mulai saat ini akan memberikan yang terbaik untuk Al, jika memang kerapuhan pada mata itu bisa terpental dengan adanya dirinya. Sudah cukup hari ini saja, ia melihat kerapuhan itu. Tekad yang kini ia patenkan dalam hati.

"Ra," panggil Drian.

"Apa?"

"Soal beasiswa kuliah yang kemarin itu, kayaknya nggak mau gue ambil."

Rara menoleh, menatap lawan bicaranya. "Kenapa?"

"Setelah gue pikir-pikir, gue mending bantu Ayah, pengin kerja setelah lulus dari Semesta. Beliau udah makin tua, dan gue nggak mungkin biarin Ayah makin repot lagi."

Embusan napas berat terdengar dari hidung Rara. Cewek itu merasa sayang saja pada potensi sosok di sebelahnya ini jika tak digali semaksimal mungkin. Ia pun yakin, sebenarnya Al bisa menjadi orang besar. Tapi ia tak mungkin memaksa keinginan Al. "Kalau emang itu keputusan yang Kakak anggap paling baik, ya udah. Gue cuma bisa dukung dan sesekali ngedoain. Karena Kakak yang bakalan jalanin ini."

Rasa hangat menyelimuti hati Drian. Mungkin, empat atau lima tahun lagi setelah ia lulus dari SMA Semesta, ia pun bisa memberikan kehidupan yang layak bagi gadis di sebelahnya ini.

Itu tujuh tahun yang lalu. Sekarang, situasinya sudah berbeda. Bertegur sapa saja, selama ini mereka tak pernah.

"Lo ini sebenernya setia apa kelewat bego, sih, Ra?" tanya Bia tak habis pikir. "Lo sama Kak Drian kan udah nggak pernah ketemu selama hampir tujuh tahun, terus selama itu kalian sama sekali nggak ada komunikasi. Biarpun kalian belum putus secara resmi, kalau kasusnya kayak gini, ya jelas-jelas udah putus, dong. Apa lo masih mau bertahan? Iya, kalau Kak Drian balik. Kalau enggak?"

Rara tak menanggapi. Karena selama setahun belakangan ini, Bia selalu mengatakan topik yang sama.

"Gini, deh. Lo ini nggak mau nerima Mas Niko karena lo ngerasa lo sama Kak Drian belum putus. Kalian cuma break. Dari istikharah lo, lo juga dapet petunjuk kalau siapa aja yang mau deketin lo, termasuk yang mau serius sama lo, mesti minta izin dulu ke Kak Drian. Padahal, tiap kali lo hubungin akhir-akhir ini, Kak Drian nggak pernah nanggepin lo. Kasian banget sih lo." Bia masih berusaha menyadarkan sahabatnya ini. "Ya kali, lo mau bilang, 'Kak, kita kan belum putus. Kakak kok udah punya tunangan?' Harga diri, lah, Ra."

"Tapi, Bi ...."

"Apa? Mau nyangkal kenyataan kalau Kak Drian udah punya tunangan?" tanya Bia makin geram kepada sahabatnya ini.

***

a/n: Berhubung ada yang minta extra part, ya udin, ini saya bikinin. Wkwkwk. Maaf yak, kalo nggak jelas gini. Tapi udah puas, kan? Hahahaha.

Garis InteraksiWhere stories live. Discover now