17. Jujur

12.7K 798 22
                                    

Bia menatap ke seberang, di mana ada Diandra dan kawan-kawan yang posisinya tak jauh dari keberadaannya dan ketiga sahabatnya. "Ra," panggilnya hati-hati.

"Apaan, Bi?"

"Adik-adik kelas pasti nggak pernah nyangka, kalau dulu lo itu pemimpin yang sah dari mereka."

"Maksud lo apaan, sih?" tanya Rara heran.

"Tuh!" Bia menggerakkan dagunya, memberi kode agar cewek di sebelahnya itu menoleh ke arah yang ia maksud.

Benar saja, Rara mendapati keberadaan Diandra dan kolega di salah satu sudut kantin yang semakin ramai ini. Merasa heran, sebab tak biasanya mereka mengunjungi kantin yang posisinya cukup jauh dari blok kelas Diandra ini.

"Rasanya beda banget, semenjak lo nggak mimpin mereka," ujar Ikha.

"Emangnya gue pemimpin mereka, apa?" Rara benar-benar belum mengerti pada keanehan dua sahabatnya itu.

"Iya. Lo itu punya andil besar dalam Geng Radiant itu. Bahkan gue sampai heran, kenapa lo malah keluar. Biar gimana juga, bagi gue, lo itu pemimpin yang sah dan diakui dari geng itu."

"Gue juga ngerasa lo itu bosnya Ikha. Lo kan cerewet," ujar Rara geli, membuat lawan bicaranya mendengus kesal.

Rara mengetukkan jari telunjuknya pada meja, perlahan. "Kalau sama kalian, kita bukan geng-gengan, tapi nerima keadaan. Kelas kita kan kebanyakan isinya cewek-cewek pesantren. Jadi, yang nyambung paling ya kita-kita ini. Biarpun nggak semua kayak gitu juga, sih."

Bia mengangguk. Setuju akan keadaan yang menimpa dan tak memihak mereka. Meski memang di kelas mereka banyak cewek pesantren yang tak mencerminkan sebagai santriwati yang seharusnya. Di mana dalam bayangannya, anak pesantren itu pasti alim, pintar mengaji, serta sudah tak terpengaruh hal-hal duniawi sama sekali.

"Di kelas kita mah boro-boro, Ra. Paling yang nyantri beberapa doang. Nah, yang nyantri pasti jaga jarak sama kita. Takut ketularan. Dikiranya kita itu virus rabies, apa!?"

Rara terkekeh. "Wajar, kali. Kelakuan kita aja gini. Nggak di kelas, nggak di mana, kerjaannya ngerumpi doang."

Bia terkekeh, seraya mengangguk-angguk membenarkan.

"Mungkin, posisi mereka tuh kayak orang luar mandang anak IPA yang katanya pinter banget. Tapi kayaknya kalau kita ketemu anak IPA lain, bakal kelihatan banget bedanya."

"Bener. Kalau bagi kita, IPS itu ikatan pelajar sinting. Kita, IPA-nya ikatan pelajar amburadul." Bia dan Rara sama-sama terbahak. Juga sama-sama menyadari bahwa baik masuk kelas jurusan Sains maupun Sosial, yang jelas mereka bersekolah agar mendapat lebih banyak ilmu pengetahuan yang bermanfaat.

"Kalau udah pinter, gue yakin kita nggak bakal ada di sini. Ngapain repot-repot sekolah buat belajar, kalau udah pinter? Ya sama, kayak anak pesantren. Mereka juga lagi belajar jadi orang bener. Kalau udah bener, belum tentu masuk pesantren."

"Berarti yang masuk pesantren itu orang-orang yang perlu dibenerin, ya, Ra?"

"Bisa iya, bisa enggak. Mungkin gini, Bi. Yang udah bener, biar tambah bener, sebelum melenceng. Kalau belum bener, bisa dibenerin di pesantren. Jadi, nggak semua orang yang masuk pesantren itu pasti orang suci, terus yang nggak masuk pesantren pasti orang nggak bener."

Bia manggut-manggut. "Lo udah kayak Mamah Dedeh aja deh, Ra," sahutnya geli.

"Efek beberapa kali denger ceramah anak pesantren, nih," kekeh Rara, bangga kecipratan ilmunya tanpa harus masuk pesantren.

Nah ini, yang membuat Bia heran. Rara kok masih mau saja mendengar ceramah anak pesantren? Padahal, dirinya pasti sudah kabur terlebih dahulu saat ada yang mulai bermukadimah. Pura-pura kebelet pipis atau sibuk apa pun itu.

Garis InteraksiOù les histoires vivent. Découvrez maintenant