33. Dangkal

9.8K 724 14
                                    


"Lo bercanda, Ten?" tanya Roy. "Nggak lucu amat."

"Siapa yang bercanda?"

"Jadi ini, maksud lo nanya ke gue waktu itu!?" Tatapan Roy kali ini sama sekali tak bisa diterjemahkan. "Jangan sok kuat, deh! Emangnya setelah minum ini dan predikat baik lo tercoreng, pacar lo bakal balik? Pikiran lo sedangkal itu!? Iya!?" tanyanya sengit. "Lo mikir nggak, sih!?"

"Rara terbebani karena status gue, status kami! Kalau emang gelar gue bisa dicopot dengan ini, gue lakuin!" teriak Drian frustrasi.

"Itu bukan jalan keluar masalahnya, Dri. Itu alasan buat jadi pengecut!" teriak Roy murka. "Lo mau ngasih gue alasen kayak gimana lagi, sekarang!?" Seketika orang-orang di sekitar mereka langsung menatap cowok itu, saat mendengar teriakan tersebut. "APA, LIHAT-LIHAT!?" bentak Roy pada orang-orang di sekitarnya.

Drian menatap cowok di hadapannya ini. Ada pancaran rasa kecewa dari mata itu. Mata dari orang yang selama ini sering memberinya alasan untuk tertawa. Pikirannya kacau. Benar-benar kacau.

"Kalau lo masih mau minum ini, ayo, kita minum sama-sama! Karena selama ini gue ngikutin apa yang lo lakuin. Jadi, gue juga bakalan niruin lo kali ini. Mau minum berapa botol, bakal gue ladenin! Ayo, jangan diem aja! Ini bukan pertama kalinya gue minum ini. Ayo!" Justru kini Roy yang kalap.

Tubuh Drian seketika limbung, saat Farhan menahan tangan Roy yang mulai hilang kendali. Ia tak pernah melihat Roy sekalap ini, selama mengenal cowok itu.

Perlahan, tubuhnya ambruk ke bawah. Menyejajarkan diri dengan pot yang berada tak jauh dari posisinya, dengan sebuah botol minuman beralkohol yang terpelanting di sisi kanannya. Kursi yang semula ia duduki pun ikut roboh.

Tatapannya begitu kosong. Juga tak menyadari ketika Yogi dan Ditya membawa Roy menjauh darinya. Pun tak menyadari saat tubuhnya diangkat oleh Farhan untuk keluar dari tempat ini, menuju tempat yang sekiranya lebih sepi. Setelahnya, cowok itu dibiarkan melunglai di bawah, bersandar pada sebuah tiang. Tiang yang diharapkan akan menjadi penopangnya. Namun, sekuat apa pun tiang itu mustahil untuk menjadi penopang jiwanya.

"Nggak cukup, tiga hari yang lalu lo hampir patah kaki kena tekel gara-gara nggak fokus!? Kurang puas, dihajar cowok-cowok yang jealous sama lo gara-gara cewek mereka selalu ngomongin lo!? Nggak cukup, lo bentak Roy pas dia minta lo jelasin materi minggu lalu? Masih kurang!? Terus sekarang, lo mau lihat Roy rusak lagi!?" tanya Farhan tak bisa menahan rasa kecewanya lebih lama lagi. Cowok itu menatap lurus-lurus ke hadapan. "Lo mau lihat dia kecewa sama kelakuan lo sekarang!? Nggak mikir, Roy udah jadiin lo contoh buat dia tiru!? Bukan cuma Roy, Dri. Gue, Ditya, sama Yogi juga!"

Tentu, ketiganya menjadikan Drian sebagai contoh karena cowok itu bukan hanya sekadar memberi nasihat yang bijak. Akan tetapi, memberi contoh secara langsung.

"Cuma karena cewek?" Farhan menatap Drian, amat kecewa.

Hanya karena satu cewek, Drian ingin membuat hidupnya jadi tak jelas. Mengecewakan orang-orang yang menyayanginya. Merusak apa yang tak seharusnya dirusak. Menjadi orang lain, pada saat seorang cewek berlabel pacar, menjauh. Bahkan harus menyakiti diri sendiri.

"Lo selalu nganggep cewek lo itu segalanya. Terus, selama ini lo anggep kami itu apa!?"

Drian terdiam dalam ketertegunan.

"Jangan cuma karena satu orang yang lo sayang udah bikin lo kecewa, lo mau bikin lebih banyak orang yang sayang sama lo juga ikutan kecewa!"

Drian semakin tertegun mendengar bentakan tersebut. Tubuhnya membeku dalam kekosongan hati. Memeluk kesadaran yang perlahan mulai kembali. Rasa sesal itu mulai muncul. Kepalanya tertunduk dalam. Begitu menyesal. Sesal nan kian menebal.

Garis InteraksiWhere stories live. Discover now