3. Sepasang Jomblo

26.6K 1.3K 28
                                    

Suasana kelas 11 IPA-1 SMA Taas tampak begitu sunyi. Selidik punya selidik, saat ini sedang berlangsung ulangan pelajaran Fisika yang dipandu oleh Bu Fuadah.

"Silakan Rara duduk dengan Iyo. Yuna dengan Izam. Bia dengan Syarif, dan Ikha dengan Abdi." Suara guru bertubuh tinggi besar itu menginterupsi, saat mendengar bisik-bisik beberapa siswa. Bahkan, ulangan sudah memasuki waktu sepertiganya.

Bia jelas tak terima. Terlebih, yang lain tak dipisah. Tanggung, pula. "Lebih parah lagi kalau yang lain udah selesai kami malah ...."

"Saya tidak menerima protes!" Bu Fuadah menatap empat remaja putri itu secara bergantian. 

Tentu beliau sudah amat hafal bahwa dari keempat cewek yang bersahabat tersebut, hanya teman duduk Rara, Yuna, yang rajin dan tipe pekerja keras. Tidak seperti yang lainnya, yang menurutnya, hanya bisa menerima beres.

"Kok detail banget sih, jelasinnya. Pas, lagi. Iya deh, Bu, saya langsung pindah. Ini juga demi kebaikan kita, Bi. Biar kita nggak contek-contekan." Rara berusaha menengahi, lalu mulai berdiri untuk berpindah tempat duduk.

Sedangkan Bia masih tak terima. "Fani tuh yang sering nyontek!" tudingnya.

"Gue nggak pernah nyontek!" elak Fani.

"Nggak pernah telat nyontek!"

"Sesama penyontek nggak boleh saling tuduh," tegur Rara. Mengundang pensil yang ada di tangan Bia untuk mampir ke dahinya, hingga membuatnya mengaduh. Tak lama kemudian, ia menatap Yuna. Mengabaikan rasa sakitnya. "Ntar kode-kodean, Na."

"Tidak ada kode-kodean atau sejenisnya!" sambar Bu Fuadah.

"Ya Allah, Bu, kan cuma kode-kodean. Masa, nggak boleh?"

"Cepat! Waktu sudah hampir habis!"

Mau tak mau, keempat sahabat itu tetap pindah tempat duduk sesuai instruksi, dengan ekspresi yang berbeda-beda. Meski begitu, terpaksanya harus terpisah dari teman semeja, mereka tetap kode-kodean.

Kini, beberapa murid ada yang menghitung jumlah persegi pada langit-langit atap, berharap akan mendapat jawaban dari cicak atau tokek. Bahkan ada yang sengaja bertanya pada temannya dengan tujuan mengganggu yang lain.

"Tolong, dikerjakan sendiri-sendiri!" tegur Bu Fuadah.

"Nomer dua poin a udah lo kerjain?" bisik Bia pada Fani, cewek yang duduk di sisi paling dekat dengannya.

"Udah. Baru aja, selesainya." Fani masih menuliskan jawaban.

Ehm! Terdengar dehaman dari arah meja guru, namun diabaikan begitu saja.

"Kalau yang poin be, pakai ve nol atau nggak, ya?"

"Berhubung tadi lo udah nuduh gue sering nyontek, gue nggak mau ngasih tahu."

"Ngeselin, lo, Fan! Gue kan cuma mau mastiin!"

Ehm-ehm!

Suara dehaman itu terdengar semakin keras. Namun, bukan Fani dan Bia namanya, jika tak mengabaikan segala bentuk gangguan semacam ini.

"Kalau mau tahu rumusnya, ya usaha sendiri. Gitu aja mesti diajarin!" sahut Fani sok penting. Tetapi Bia tak tahu, jika di balik sikap sok penting Fani tersebut menyimpan ketidaktahuan cewek itu tentang rumus sasaran.

Bu Fuadah berdiri. "Waktu sudah habis. Silakan, segera dikumpulkan!" ujarnya.

Seisi kelas seketika gelagapan, karena kebanyakan belum selesai mengerjakan. Bahkan, dari tiga soal yang minimal bercabang dua ini, baru bisa dikerjakan setengahnya saja. Mereka masih tetap melanjutkan usaha untuk menjawab soal uraian itu.

Garis InteraksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang