16. Jangan Ditunda

12.3K 790 2
                                    

Rara tak masuk sekolah selama empat hari, jika dihitung dengan hari Minggu. Dan ia baru tiba di sekolah saat jam pelajaran pertama hari Rabu ini sudah berakhir.

"Setelah ini jamnya Pak Judika, kan?" tanya Rara pada Yuna. Dibalas kekehan dan anggukan dari lawan bicaranya tersebut.

"Tadi gue kira lo nggak berangkat lagi, Ra?"

"Ya berangkat, Na. Gue nggak rela ketinggalan jam mapelnya Pak Judika," jawab Rara sambil tersenyum.

Pak Judika alias Pak Munawar. Dijuluki demikian, karena guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam nan humoris itu, wajahnya memang hampir mirip dengan Judika, penyanyi papan atas Indonesia tersebut. Sosok itu kini muncul dari balik pintu, dengan gaya khasnya. Santai, seperti biasa. Mengucapkan salam, dan dijawab serentak sekaligus bersemangat oleh para siswanya.

"Minggu lalu materinya sudah sampai mana?" Pertanyaannya tak jauh-jauh dari minggu ke minggu.

"Minggu lalu mencatat ki es Al-Ahzab ayat sembilan, Pak." Fatma menyahut, karena posisinya paling dekat dengan Pak Munawar berada.

"Qur'an surah. Ki es, ki es!" Pak Munawar menepukkan bukunya pada meja Fatma dengan gemas, ketika meralat perkataan dari satu siswinya itu.

Fatma meringis sebentar. "Itu, Pak, maksud saya."

"Artinya sudah dicatat, belum?"

"Belum, Pak."

"Jadi, sekarang tinggal mencatat artinya?"

"Betul, Pak."

Setelahnya, guru berpeci tersebut membalik lembar demi lembar kertas dari buku yang dipegangnya. "Yaa ayyuhalladziina aamanudzkuruuni'matallaahi." Pak Munawar mulai membaca ayat yang hendak diterjemahkan. "Artinya. Titik dua." Beliau menunggu sejenak. "Hai, orang-orang yang beriman!"

"Hai juga, Pak!" Para murid putra menjawab dengan kompak, juga cengengesan. Para cewek kontan melotot. Khawatir bila itu dianggap sebuah tindakan yang melenceng.

"Kenapa, pada melotot? Kalau nggak jawab, ntar kami disangka nggak beriman. Kan repot," kilah Abdi, tak mau disalahkan.

Pak Munawar terperangah sesaat. Lalu, "Yang tidak beriman, tidak hai!" kekehnya menambahkan.

"Kok Bapak makin mirip sama Judika, sih?" tanya Rara, geli. Melampiaskan rasa heran, mengapa Pak Munawar selalu selangkah lebih maju dari para muridnya.

"Pegangin, guys! Mumpung masih sempet. Pak Munawar mulai terbang ke awang-awang tuh, dimirip-miripin sama Judika!" komentar Fani, tak kalah geli.

"Bener, Fan. Pak Munawar kok dibandingin sama Bebeb Judika. Ya beda jauh, Ra!" tambah Bia.

"Nah, benar kata Mbak Bia. Saya dengan Judika memang beda jauh, karena saya merasa lebih ganteng sedikit, dari Judika," sahut Pak Munawar narsis. Sebelum para siswanya menyoraki, beliau sudah terlebih dahulu menambahkan, "Tapi Judika jelas lebih ganteng banyak, dari saya."

Tak ada tanggapan lain, selain gelak tawa dari seisi kelas. Selalu saja, guru ini tak kehilangan akal untuk membuat candaan agar para siswanya tak bosan.

Kegiatan belajar mengajar berlangsung normal, setelah tawa benar-benar terhenti. Meski ada beberapa siswa yang cekikikan, namun tak sampai mengganggu. Mereka bahkan tetap menyempatkan diri untuk menggoda Pak Munawar, hingga jam pelajaran usai, bahkan saat pengajar itu hendak menuju ruang guru.

"Pak Judika apa banget, ih! Udah dibela-belain sama Rara buat ikutan pelajaran beliau, eh Rara-nya digituin. Pak Judika, Pak Judika. Ada-ada aja." Bia menggeleng pelan, teringat kejadian ketika diajar oleh guru PAI itu, bahkan hingga hendak ke kantin.

Garis InteraksiWhere stories live. Discover now