Chapter 22 - The Engagement

1.1K 157 44
                                    

Putri Elf itu duduk termangu di balkon Istana Claumere, menerima ciutan para burung gereja yang meramaikan suasana matahari terbit dari ufuk timur. Rambut pirangnya tersusur ke samping, setangkai bunga dahlia terselip di telinga kirinya yang lancip, mempertegas lekuk jelitanya. Kedua iris biru jernih Sang Putri nampak berkilauan seperti langit kala itu, namun terlihat lebih redup. Putri itu mendesah lagi, tak menghiraukan suka cita yang dinampakkan alam di sekitarnya.

Noola meratapi menara-menara Demozre yang menjulang di sudut barat angkasa, seperti simbol kegelapan malam yang menyelinap di balik cahaya matahari. Noola menghela napas panjang dan memejamkan mata, bulu-bulu mata lentik memayungi matanya dari sang surya. Sosok penyihir-vampir berambut biru gelap menitis di alam pikirannya. Pemuda yang selama ini menjadi dambaan bagi jiwa hampanya.

Yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.

Kedua alis Noola berkerut, sebagian dari dirinya masih tak memercayai kemungkinan itu. Sangkut-paut rasa bersalah juga menyeruak. Entah mengapa, rasa gembira yang sepatutnya dia rasakan tidak kunjung datang. Denyut jantung yang semakin cepat juga tidak mengisyaratkan rasa antusias yang membuncah.

"Noola, ada apa denganmu? Kau terlihat muram."

Kakak sulungnya, Forest, datang dari ruangan lain dan menghampirinya. Buru-buru Noola menoleh dan menunjukkan ekspresi kaget. Rambut hitam klimis Forest tersisir rapih diterpa cahaya mentari, bahkan kancing-kancing emas pada seragamnya pun ikut berkilauan. Pertarungannya melawan Keegan dua hari yang lalu membuat suasana hatinya lebih cerah, terutama karena para rekannya berhasil menumpas monster keji itu, sekaligus membalaskan dendamnya. Pangeran tampan itu mengusap bahu adiknya dengan tangan yang berbalut sarung tangan putih, serta-merta melihat panorama Istana Kegelapan di benua seberang.

"Entahlah, Kakak. Ini tidak terasa benar bagiku."

Forest semakin heran dibuatnya. "Tidak terasa benar?"

Noola melirik sedih. "Dia tidak mencintaiku."

Forest duduk berlutut di hadapan sang adik bungsu dan mengenggam kedua tangannya sehingga Noola tertunduk menatapnya. Sambil menghela napas panjang, Forest berniat meluruskan kerunyaman dalam hati Noola.

"Dia harus bertanggung jawab atas kerusakan kaumnya dan menikahimu. Cepat atau lambat, dia harus belajar untuk mencintaimu. Jangan ragukan dirinya."

Tetapi, kata-kata itu tidak merilekskan alis-alis Noola. Sejenak, Noola hanya memejamkan mata beberapa kali dan kembali menatap langit yang semakin terik. Kegelapan Istana di cakrawala barat itu menjadi lebih kontras dengan sekitarnya.

Noola memang mencintainya, dan detik ini adalah detik yang paling dia nantikan seumur hidupnya. Namun, apakah ini yang Zveon inginkan? Noola membayangkan betapa berat keputusan ini bagi Sang Pangeran Kegelapan.

Semuanya sudah terlambat sekarang.

*

"Zveon..."

Aku mendapati bibirku mengucapkan namanya untuk yang kesekian kalinya siang itu. Kandelir dengan permata-permata berkilau dan ukiran-ukiran indah menghiasi langit-langit mansion ini, tetapi aku hanya dapat melihat warna hitam keputusasaan dan duka yang mendalam. Lintasan air mata sudah mengering di sekujur wajahku dan membuat beberapa helai rambutku yang menyala redup melengket di sekitarnya. Aku terkulai lemah di atas sofa beludru merah yang panjang, selimut tebal membalut tubuhku, sedikit terlipat tak karuan. Bau masakan Maggie yang mendingin masih berderet rapih di meja, tak berhasil menggugah seleraku.

Peperangan dengan Keegan telah usai. selama dua hari lamanya, para Fantasy Warriors diberi waktu untuk memulihkan diri di rumah masing-masing. Tak banyak yang kulakukan selama dua hari ini, selain menangis, menangis ... dan menangis.

Shine and Shadow (Dark and Light, #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang