Chapter 21 - The King of Monsters

858 139 20
                                    

Thunderware adalah rawa tandus berlumpur yang angkasanya selalu dinaungi awan yang suram. Bau darah beracun yang menyengat tak membuat tempat ini terlalu sering didatangi para makhluk kegelapan karena para penghuninya yang lebih ganas dari hewan-hewan buas. Di tengah rawa itu, terdapat seorang pria berwajah bengis berbaju katun cokelat tak berlengan dengan celana hitam tebal. Dia sedang bersila di atas sebuah pohon yang telah ditebang, kedua matanya terpejam untuk menyimak sayup-sayup teriakan monster di sekitarnya. Kedua tangannya kian mengepal, dan otot-otot bisepnya yang kokoh berkontraksi saat semua raungan itu terdengar semakin menyayat dan memekakkan. Alis kasarnya berkerut, seolah-olah dia dapat turut merasakan kematian mereka. Memendam amarahnya, dia tetap tenang dan tepekur di tempatnya bersimpuh. Dia menunggu dengan sabar.

"Kami tahu kau ada di sana, Braxton Keegan. Menyerahlah sekarang juga!"

Pria berwajah bengis itu membuka kelopak matanya sedikit demi sedikit, menampakkan iris hijau yang menyala garang. Beberapa luka bakar membekas di sisi wajahnya dan masih menimbulkan ruam merah akibat pertempurannya yang terakhir. Braxton hampir sukses menghancurkan sisi lain dari East, tapi para bedebah cilik itu mengacaukan rencananya. Tanpa menyapukan pandangan monsternya, dia sudah tahu bahwa suara-suara ledakan, tumbukan senjata, dan nyala api di kejauhan itu sedang mengincar dirinya.

Braxton tersenyum kecut. Dia sudah tahu jika salah satu anak buahnya yang pengecut akan berkhianat padanya. Karena itu, dia sudah siap.

Satu per satu dari para kawanan kesatria yang dia benci itu memunculkan diri di sekelilingnya, diikuti dengan jatuhnya beberapa potongan tubuh monster dari segala arah yang kemudian terjerembab bertubi-tubi ke dalam kubangan lumpur. Gadis peri bersayap biru menyelinap keluar dari balik bubungan cahaya. Pemuda-pemuda elf yang masing-masing memegang pedang berlumuran darah kehitaman. Penyihir-penyihir muda dengan kilauan magis yang menyeruak dari seluruh tubuh mereka. Golongan-golongan lain pun datang, termasuk dari golongan vampir, iblis, manusia-kucing, dan manusia-rubah. Yang Keegan paling ingat dari mereka adalah Sang Ratu Iblis-Malaikat, Anna Usoda, Sang Penyihir-Vampir, Zveon Meseca, dan seorang gadis hellbender berambut oranye bercahaya yang sempat mencederainya. Keegan memberikan tatapan nyalang pada gadis peri itu, tak melupakan ulah yang diperbuatnya.

Thorne, Cain, aku akan membalaskan kematian kalian.

Braxton berdiri ketika aura menggentarkan para pendekar itu mulai terasa menggelitik. Mereka semua masih mengacungkan senjata, siap meringkusnya ke dalam penjara paling mengerikan di Benua Barat. Braxton ingin ini menjadi perlawanan yang terkuat seumur hidupnya. Pria itu menyapukan pandangan dan menemukan mantan anak buahnya yang kini sedang diborgol dengan rantai besi di balik barisan. Sang Manusia Rubah balas menatap mata monsternya, tak takut akan ganjaran yang dapat dia terima.

"Dasar bocah-bocah keras kepala," Keegan mengumpat.

Sosok penyihir berjubah biru maju satu langkah ke depan, memamerkan tatapan mata merah lava yang tak kalah tajam. Dengan dingin Zveon berkata, "Kami akan melakukan apapun untuk mengalahkanmu."

"Atau kami harus membunuhmu," timpal Anna di sampingnya sambil mengangkat kapaknya lebih tinggi. Seringai wanita iblis itu semakin melebar saat kilauan bara terpantul di kedua mata merah-birunya.

Braxton mulai tertawa di hadapan mereka. Tak satu pun dari semua ancaman itu berhasil menakutinya.

"WARRIORS, SERANG!"

Tawa itu semakin tergaung nyaring di udara, diikuti dengan kilasan cahaya kehijauan samar yang jatuh dari langit dan menghantam Keegan. Waktu seakan melambat ketika kulat-kilat guntur merambati sorot cahaya itu dan membutakan pandangan siapapun. Ledakan dahsyat tercipta dan para warriors terlontar ke segala arah, menelak serangkaian serangan mematikan yang mereka juntrungkan. Angin di rawa itu menerobos apapun dan menerbangkan serpihan kerikil tajam. Deru geraman monster-monster bersayap mulai terdengar membahana di sekitar mereka, lalu memunculkan diri di puncak rawa seperti kawanan kelelawar raksasa, berputar menjadi pusaran hitam di ujung cahaya, dan bercampur dengan mendung yang kelam. Pilar cahaya itu semakin membesar dan mengharuskan para warrior untuk menyingkir lebih jauh.

Shine and Shadow (Dark and Light, #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang