Ketika musim semi kuning tiba, aku menyampaikan isi hatiku.
Aku mencintaimu sama seperti aku menunggu.
Bisakah kamu memberiku kesempatan?





-Cigarette-





Seonho mengusap matanya pelan setelah membuka kacamatanya. Sekolah di La Guardia bukan main-main, ini sangat melelahkan! Bahkan, Seonho sering kali lembur untuk berlatih piano. Ditambah, tidak lama lagi akan ada evaluasi untuk belajarnya.

"Seonho, belum selesai?"

Seonho menghentikan gerakan jarinya di atas tuts piano dan berbalik menatap lelaki yang baru saja datang.

"Belum," Seonho tersenyum, "Kak Sungjae kenapa balik kesini?"

"Ngerasa kamu masih di sini," Sungjae duduk di sebelah Seonho, "ternyata benar."

"Ya sudah, ayo balik asrama saja."

Seonho berdiri. Namun, kemudian lengannya tertahan oleh Sungjae.

"Mainkan dulu satu lagu. Aku dengarkan."

Seonho tersenyum puas. Entah mengapa rasanya senang jika ada seseorang yang ingin mendengarkan permainannya.

Jari-jari kurusnya mulai kembali menari di atas tuts, melantunkan sebuah lagu manis untuk Sungjae. Namun, belum sampai setengah dari lagu, ponselnya bergetar.

"Maaf, Kak. Ini dari Korea."

Seonho mengangkat telepon setelah Sungjae mengangguk, mengiyakan.

"Halo? Kak Guanlin?"

"Sudah tidur?"

"Belum, nyatanya masih angkat telepon kakak, kan? Hehe.."

"I miss you."

Seonho tersenyum senang, tetapi tidak bisa membalas pernyataan Guanlin, terlalu sungkan pada Sungjae di sebelahnya.

"Sudah ah, tidur sana, Kak."

"Kamu nggak kangen aku?"

"Kakak.. jangan bahas itu lagi. Ayo, sana, tidur."

"Hmm, okay, I get it. Good night."

"Good night."

"Love you."

"Kakak!"

Pip

Seonho menempatkan ponselnya ke dalam saku.

"Siapa?"

"Ada deh, hehe," Seonho tersenyum kikuk, "ayo, Kak, besok lagi saja."




-Cigarette-





"Jihoona, bangun. Temanmu jemput di bawah."

Jihoon mengerjapkan matanya imut.

"Siapa, Ma? Ini jam 6 juga belum."

"Dia cuma bilang teman sekolah. Ganteng."

"Guanlin?" Jihoon segera bangkit dan menuju lemarinya, "Guanlin, ya, Ma?"

"Bukan. Haduh, kamu ini kapan move on, sih?"

"Terus siapa?"

"Mandi, sarapan. Nanti juga tahu."

Jihoon turun setelah 15 menit mandi. Ia menepuk dahinya ketika melihat Jinyoung di meja makan. Ternyata dia.

"Kenapa pakai jemput segala?"

"Eh sudah selesai mandi?" Jinyoung tersenyum lebar, "sini duduk, makan."

"Aku yang punya rumah, lho," Jihoon duduk di seberang Jinyoung, "ada apa jemput?"

"Gapapa, kepagian mandi. Daripada bosan, mending langsung cabut dan mampir numpang makan di sini."

"Ada ya, orang kaya kamu?"

"Ada, nih," Jinyoung memberikan wink yang akhirnya dihadiahi death glare oleh Jihoon.

Mereka kemudian sarapan dengan tenang, karena orang tua Jihoon ada di sana juga.

"Ma, Pa, berangkat, ya?" Jihoon salim dengan kedua orang tuanya.

"Mari, Tante, Om."

"Iya, hati-hati, ya. Nak Jinyoung, bawa motornya pelan-pelan."

"Wait, what? Kamu bawa motor?"

"Biasanya kan gitu. Kenapa?"

"Nggak. Aku mau pakai mobil. Aku mau pesan taksi atau bareng papa aja."

"Jihoon, jangan kaya gitu, dong. Kasihan Jinyoung."

Jinyoung sedikit berpikir, kemudian merespon,

"Nggak apa, Tante, Om. Saya berangkat sendiri. Terima kasih makanannya."

Jihoon memandang punggung Jinyoung yang semakin menjauh setelah berpamitan dengan orang tuanya. Dengan tergesa ia menyusul Jinyoung setelah rasa aneh menghinggapi perasaannya,

"Jinyoung! Aku ikut!"

Cigarette +guanhoWhere stories live. Discover now