Takdir 15

60 4 0
                                    

Hari itu hari Minggu pagi. Aku memanjakan diriku dengan menikmati tayangan kartun di televisi sambil berbaring di sofa. Di hadapanku terbuka beberapa toples dengan bermacam-macam kue kering. Di sampingnya ada teh hangat yang kuracik sendiri di dapur. Benar-benar sebuah kenikmatan yang tak akan pernah tergantikan dengan apapun, walau itu emas sekalipun.

Kulihat Kiki sedang menyapu di sekitar sofa. Dia sepertinya kesal melihatku yang sudah lebih dulu berleha-leha di sofa.

“Hei, dasar tidak peka! Enak sekali kau, bukannya membantu malah tiduran di sofa!” teriak Kiki kesal.

“Kata siapa? Kau tak lihat bunga-bunga di depan itu, huh? Kau kira siapa yang menyiramnya tadi? Jin?” jawabku kesal.

“Ya, ya, aku tahu,” tukasnya. “Maksudku, apa kau tidak ingin membantuku menyapu, begitu?”

“Tidak.”

“Huh, dasar. Sana, makan itu dengan toplesnya sekalian. Dasar tukang makan.”

Aku terkikik melihatnya dia marah seperti itu. Senang rasanya memang mengerjai teman hidup sejak di jalanan itu. Dia yang dulu berbeda dengan yang sekarang. Dia lebih rapi dan cantik lebih sebelumnya. Tidak sekusam dulu.

Bel rumah tiba-tiba berbunyi, pertanda datangnya seorang raja--tamu, maksudku--ke rumah ala istana ini. Aku beranjak bangun dari tidurku dan berlari membuka pintu depan. Dihadapanku berdiri seorang tukang pos dengan sepucuk amplop coklat di tangannya. Tertulis di sana Kepada Tn. Ardi.

Aku menerima pemberian surat itu, tak lupa mengucapkan terima kasih kepada tukang pos itu. Setelah pintu kututup, aku berteriak memanggil seisi rumah.

“Ayah, ibu, ada surat!” teriakku.

Ayah dan ibu datang menghampiriku. Aku memberikan surat itu padanya.

“Oh, ini surat dari rumah sakit, Ka,” ujar ayah. “Mari kita lihat bagaimana hasil pemeriksaan kalian kemarin.”

Kami bertiga serempak duduk di samping ayah, siap menyimak hasil pemeriksaan itu. Aku tidak akan mungkin bisa membacanya, jadi aku percayakan semuanya pada mereka. Ayah dan ibu menangis begitu membaca surat itu, lalu memeluk aku dan Kiki. Dari situ aku tahu, tangisnya bukanlah tangis sedih, melainkan tangis bahagia.

“Kaka, Kiki, kalian benar-benar anak kami,” ujar ibu.

Aku terheran. “Maksudnya?”

Ibu menghela nafas. “Jadi, sebenarnya, kalian tidak menjalani tes kesehatan kemarin. Kalian menjalani tes untuk memastikan kalian benar-benar anak kami atau bukan. Dan, syukurlah, kalian memang benar anak kami. Kami sudah mencari kalian selama delapan tahun.”

“Delapan tahun?” tanya Kiki.

“Iya, delapan tahun,” jawab ayah. “Sebenarnya, kalian diculik oleh pihak rumah sakit setelah beberapa hari kalian lahir. Kami sangat terpukul waktu itu. Kami mencari kalian kemana-mana, namun tak berhasil.”

“Namun, hari ini kami bersyukur bisa bertemu lagi dengan kalian, dengan nama pemberian kami juga. Aku tidak tahu apakah ini memang suatu kebetulan, atau memang penculik itu memberikan label nama pada kalian. Mungkin penculik itu juga bingung karena kalian kembar,’ ujar ibu kemudian sambil tertawa kecil.

“Diculik?” tanya Kiki ketakutan. “Jadi kami pernah diculik?”

“Iya, benar. Tapi, kali ini kalian tak pernah risau. Ada kami disini sekarang yang akan menjaga kalian 24 jam kalau perlu.”

“Em ... jadi, aku sudah resmi bisa memanggil kalian dengan ayah dan ibu, kan?” tanyaku.

“Tentu saja.”

To be continued...

Penjara Takdir ✔Where stories live. Discover now