Takdir 2

172 11 0
                                    

Aku baru akan masuk ke kamarku saat aku melihat ada seorang pria paruh baya bertamu ke rumahku petang itu. Dalam remang, aku mencoba mengenali sosok pria itu. Dia berkulit hitam, rambutnya tebal, serta memakai setelan jaket dan celana panjang. Dari posturnya, aku tak mengenalnya. Sepertinya, dia baru pertama kali kemari. Aku tak tahu apa yang sedang mereka bahas, namun obrolan mereka tampak sangat serius. Perasaanku mengatakan bahwa aku harus menguping pembicaraan itu. Aku tahu itu berbahaya—karena ayahku bisa memarahiku—tetapi masalahnya; aku mencurigai laki-laki itu.

Aku bergegas masuk ke kamarku dan menempelkan telingaku di dinding kamar.

Sial, aku tak bisa mendengarnya.

Kamarku masih terlalu jauh dari jangkauan suara dari ruang tamu depan. Meski begitu, seharusnya aku masih bisa mendengarnya, karena biasanya, suara ayah sangat keras hingga sampai ke belakang rumah. Tetapi kali ini berbeda. Aku bisa mendengarkan suara ayah yang sedikit ditahan.

"Bagaimana? Jadi kau bawa, tidak?" 

Suara ayah disana mengagetkanku. Aku heran, apa maksudnya dengan 'bawa'? Memangnya ayah punya barang bagus yang bisa dibawa dari rumah ini? Seingatku, di rumah gubuk seperti ini tak ada yang pantas dibawa kecuali kambing. Ini mustahil. Ayah bahkan tak pernah merelakan kambing-kambing kesayangannya dibawa orang begitu saja.

Aku bersiap mendengarkan lanjutan obrolan itu.

"Jadi, dong, pak."

"Jujur saja, aku tak rela membiarkannya pergi."

"Tenang saja. Aku akan merawatnya dengan baik. Nanti akan sering-sering kukabari soal itu."

"Baiklah kalau begitu. Kapan diambil?"

"Besok saja saya ambil kemari."

Ya Tuhan, ini maksudnya apa?

Ada banyak teka-teki misterius di balik percakapan ini. Otakku yang dangkal tak mungkin bisa menjawabnya. Aku masih terus menebak teka-teki itu sampai suara langkah kaki ayah mengagetkanku dan membuatku melompat ke kasur kapuk di kamarku. Segera aku menarik selimut dan memposisikan diri seperti aku memang sudah tertidur pulas.

Benar saja, ayah masuk ke kamarku. Aku bisa merasakan ia mendekatiku, dan mengusap rambut tipisku perlahan. Dia menghela nafas pasrah, dan berkata, "Semoga kau selalu bahagia, Kaka, baik sekarang, esok, maupun selamanya."

Tak lama, aku mendengar suara pintu kamarku tertutup. Aku segera bangun dan duduk bersila di atas kasur itu.

"Kira-kira, maksud pembicaraan tadi apa, ya?" ujarku sambil memainkan guling di hadapanku. Selama beberapa menit, aku sibuk memutar otakku, namun tidak kujumpai jawabannya. Akhirnya, malam itu aku hanya bisa pasrah, dan kembali tidur. Berharap besok aku tahu jawabannya.

To be continued...

Penjara Takdir ✔Where stories live. Discover now