Takdir 7

62 5 0
                                    

Sudah hari Sabtu, kan? Sengaja ku-upload jam segini karena nanti takut tidak sempat. Happy reading!

*****

“Kalian bodoh sekali!” Ujar salah satu pria sambil memukul kami bergantian. “Kerja tidak becus begini! Lihat berapa yang kalian dapatkan!” Ia mengacungkan kantung uang itu di hadapan kami berdua, lalu melemparnya ke lantai.

“Hei, kau!” Ujar satunya lagi sambil menunjuk ke arahku. “Suaramu merdu, gunakan itu, bodoh! Kau harusnya bisa lebih dari ini!”

“Maaf, tuan,” ujar Kiki kemudian. “Dua hari terakhir dia sedang sakit, jadi...”

“Ah, aku tak terima alasan semacam itu! Kau kira kami akan iba, begitu?! Tidak. Tidak akan. Sebagai hukumannya, kalian tidak akan dapat makan hari ini!”

“Tapi, kami belum makan,” ujarku dengan suara serak, diikuti dengan batuk-batuk kecil.

“Makan katamu? Kau akan dapat makan kalau kalian dapat uang banyak. Kalau tidak, ya tidak. Sudah, pergi sana!” bentak pria itu, lalu mendorong kami hingga terjatuh.

Dengan langkah tertatih, kami melangkah masuk ke dalam kamar. Gadis di sampingku memegangiku dan mengelus perlahan punggungku. Ia berusaha menenangkan emosiku seperti biasanya. Bagaimana tidak, ini sudah kedua kalinya kami dibentak, dipukuli, didorong, dan segala perlakuan tidak pantas lainnya. Mereka bahkan tidak memperdulikan kesehatan kami.

Sesampai di kamar, aku meratapi diriku sendiri. Aku tak menyangka kebahagiaanku akan sirna secepat ini. Mengapa Tuhan begitu kejam? Apakah Tuhan sebegitu bencinya padaku hingga aku dihadapkan dengan kenyataan pahit seperti ini?

Aku terus berharap bahwa ini hanyalah mimpi, meskipun agaknya sudah 1000 kali aku merasakan perihnya cubitan di pipiku. Aku merasa terpenjarakan oleh takdir. Aku ingin keluar dari sini, kembali menuju duniaku yang bebas, sebebas mungkin. Aku harus mencari gergaji yang tepat agar penjara ini bisa memberiku celah untuk keluar.

Sesaat, aku mendapatkan sebuah ide. Aku menghampiri Kiki dan mulai duduk di sebelahnya.

“Kiki, aku sudah tidak tahan di sini,” keluhku. “Apa kau tidak capek diperlakukan seperti ini?”

“Lalu, kau mau apa? Jujur saja, aku memang capek, tapi aku harus bagaimana?”

“Aku ingin mengajakmu keluar dari sini.”

Dia terperanjat. “Kabur? Kau sudah gila, ya? Kalau mereka tahu, bagaimana?”

“Tenang saja, mereka tidak akan tahu. Mari aku jelaskan.”

Aku menjelaskan tatacara kabur dari tempat terkutuk ini. Dia hanya terdiam sambil menatapku. Sepertinya ia setengah tidak yakin akan aksi nekatku ini.

“Sudahlah, percayalah padaku,” kataku meyakinkan hati Kiki. Dia mengangguk pasrah. Dalam hati aku berdoa, semoga Tuhan merestui rencanaku. Aku tidak tahan tinggal disini, aku juga tidak tahan ingin segera bertemu kedua orang tua kandungku.

To be continued...

Penjara Takdir ✔Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ