Takdir 5

102 6 0
                                    

Suara teriakan dan gedoran pintu memaksaku untuk bangun. Di sampingku kudapati seorang anak kecil seumuranku yang menggoyang-goyangkan tubuhku.

“Kak, kakak, cepat bangun, nanti dimarahi sama tuan,” ujar anak perempuan di sebelahku.

Jujur saja, aku masih malas bangun. Namun, daripada ada hal yang tidak-tidak, aku memaksakan diriku untuk bangun. Aku dan anak itu melangkah keluar kamar.

Begitu melihat pemandangan di luar kamar, seketika aku terkejut. Rupanya banyak anak-anak seusiaku disana, bahkan ada yang lebih kecil dan lebih besar dariku.

“Baru bangun kalian?! Enak sekali, ya,” bentak salah seorang pria disana. Dia memarahi kami berdua karena kami yang paling terakhir berkumpul. Tanpa bicara lagi, pria itu dan 3 kawannya membagikan kantung plastik bungkus permen ke masing-masing anak. Beberapa anak diberi gelas plastik besar karena tidak mendapatkan bagian kantung plastik.

“Sudah, sana cepat kerja! Jangan pulang sebelum penuh!” Teriak pria lainnya, yang tak lain dan tak bukan adalah pria yang membawaku kemari.

“Kerja? Maksudnya a-” tanyaku kebingungan.

“Nggak usah banyak tanya! Sana cepat pergi!” potongnya.

“Sudah, jangan banyak tanya. Nanti kujelaskan ketika sudah di luar. Ayo,” ujar gadis yang tadi membangunkanku sambil menarik tanganku keluar rumah. Aku merasa mulutku terbungkam, sehingga aku memilih untuk ikut lari keluar mengikuti gadis itu.

Sampai di perempatan lampu merah, kami berhenti.

“Sudah larinya? Lalu sekarang aku harus apa disini?” tanyaku dengan napas tersengal-sengal, letih karena berlari.

“Harus apa, katamu? Bantu aku mengiringiku bermain gitar. Entah menyanyi, atau apalah terserah. Yang penting kita bisa dapat uang banyak sampai nanti malam,” jawab gadis itu kesal sambil mengeluarkan gitar kecilnya dari tas punggungnya.

Jadi, aku disuruh mengamen, begitu?

Aku kesal. Mengapa aku harus mengikuti pria itu kemari? Mengapa ayah sungguh percaya pada pria bangsat itu? Aku ingin kabur, tapi aku kasihan dengan gadis itu. Tak mungkin aku meninggalkannya disini sendiri.

Dengan terpaksa aku menyanyi sambil diiringi gitar kecil alakadarnya itu. Kami bermusik mengelilingi pengendara sambil menyodorkan bungkus permen yang kami bawa. Mulanya terasa berat dan aneh, namun lama-lama aku menikmatinya. Para pengendara sepertinya menikmati musik kami dan mulai memasukkan beberapa lembar uang ribuan ke dalam bungkus permen di tangan kami.

“Tak kusangka kau bisa bernyanyi,” ujar gadis itu sambil asyik memainkan gitar.

“Aku juga tak menyangka kau bisa bermain gitar,” jawabku di antara nyanyianku.

Kami asyik bernyanyi sampai siang perlahan bertukar menjadi malam. Aku dan gadis itu menepi ke trotoar dan duduk mengemper disana. Aku memisahkan uang lembaran dan uang logam sementara gadis itu menghitungnya.

“Syukurlah, kita dapat uang banyak. Ini baru pertama kalinya sejak pertama kali aku mengamen. Ini semua berkat suaramu,” puji gadis itu padaku. Aku merasa sedikit terharu, karena baru pertama kali ini ada gadis yang memuji suaraku.

“Suara gitarmu juga bagus,” timpalku. “Omong-omong, namamu siapa? Aku Kaka.”

“Ah, iya, aku lupa. Namaku Kiki,” jawabnya sambil menjabat tanganku.

Akhirnya, aku dapat teman baru untuk sementara—sampai aku bisa kabur dari tempat terkutuk itu. Setidaknya, aku punya teman yang senasib denganku, yang harus bertahan dari kekejaman para pria berandalan itu.

“Mari kita pulang. Tak masalah kalau kita pulang sedikit lebih awal. Lagipula, uang kita juga sudah banyak.”

*****

Kedua pria di hadapanku menghitung uang hasil jerih payah kami sambil menatap mata kami. Tak lama, ia meletakkan rokok yang sedari tadi dihisapnya.

“Pintar sekali. Ini namanya baru anak berbakti. Besok-besok, kau harus bisa lebih banyak dari ini,” ujar salah satu pria sambil tertawa licik.

Enak saja. Kami bahkan tidak membawa uang sepeser pun dari hasil jerih payah kami sendiri. Aku yakin, semua anak disini pasti punya pemikiran yang sama. Hanya saja, mereka takut untuk mengakuinya, apalagi mengungkapkannya. Asal kau tahu, aku bukan tipe anak penakut seperti itu.

“Ini jatah untuk kalian.” Pria itu menyodorkan dua piring, masing-masing berisi setengah porsi nasi, dengan beberapa buah ikan asin di atasnya. Aku memandang pria itu sinis. Kami kerja mulai siang sampai petang, dan hanya dibayar dengan ini? Sedangkan para pria itu hanya duduk manis disana sambil pesta miras dan rokok. Aku ingin melonjak, tetapi Kiki sudah terlebih dahulu menginjak kakiku, memberi isyarat agar aku diam saja.

“Terima kasih,” ujar Kiki, lalu menarik tanganku, masuk ke dalam kamar.

Setelah di kamar, aku bertanya dengan nada kesal padanya.

“Hei, Ki, mengapa kau melarangku?”

“Habisnya, hal seperti itu sama saja dengan cari mati. Kita tidak dihina itu sudah bagus. Lain kali, apapun yang terjadi kau diam saja, ya,” nasihatnya.

“Tapi kau tahu sendiri, ‘kan, makanan kita tidak sebanding,” sanggahku.

“Itu masih lebih baik, bersyukurlah. Biasanya malah lebih parah, hanya makan nasi campur garam saja. Sudah, ayo makan.”

Akhirnya aku memutuskan untuk menuruti gadis itu. Tak kuhiraukan lagi menu makan yang ada dihadapanku. Entah lezat atau tidak, makan saja, yang penting kenyang. Kalau sedang lapar, apapun dianggap enak, bukan?

Sembari makan, aku melihat gadis berambut keriting itu makan dengan lahapnya. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa gadis itu mampu bertahan dalam kondisi seperti ini? Yang aku tahu, anak gadis bisanya hanya merengek, menangis, atau sebangsanya. Tapi kali ini sungguh berbeda, aku salut padanya. Aku berjanji akan berusaha keras untuk membantunya.

To be continued...

Penjara Takdir ✔Where stories live. Discover now