Takdir 13

54 4 0
                                    

Aku menatap kardus-kardus dihadapanku dengan malas sambil memasukkan beberapa potong pakaian ke dalamnya. Selepas penuh, aku menutup kardus itu dan mengikatnya dengan tali rafia alakadarnya. Saat hendak menumpuknya dengan tumpukan kardus lain, selembar foto tiba-tiba jatuh. Tanpa pikir panjang, aku mengurungkan niatku untuk memindahkan kardus itu dan memilih untuk mengambil foto itu.

Terlukis wajah sesosok pria berbaju safari disana. Baju putihnya tampak sedikit menguning dan lusuh. Sepatu fantofel hitamnya jebol di sana sini. Ya, dia ayahku--lebih tepatnya seseorang yang kuanggap ayah. Ingatanku samar-samar memutar gulungan film berisi rekaman tentang kebersamaanku dengannya, dengan kawan-kawan menaiki gunung, menggembala kambing, sampai ketika aku diharuskan pergi demi memenuhi keinginan ayahku. Aku bertanya-tanya, apakah lelaki sepertiku boleh menangis di saat-saat seperti ini? Jujur saja, aku ingin menangis, tapi sepertinya air mataku hanya terbendung di balik mata, tersumbat sesuatu yang aku tak pernah tahu.

Lamunanku buyar saat sesuatu menyakiti punggungku. Terasa sedikit perih dan panas. Refleks aku menoleh ke belakang dan mendapati tangan Kiki yang memerah karena terlalu keras menepuk punggungku. Anehnya, dia tidak merasa kesakitan, malah justru ia tertawa keras. Gelak tawanya itu melukis lesung pipi yang cantik di wajahnya.

“Hayo, lihat foto siapa? Cewek, ya?” celetuknya menggodaku.

Aku bangkit dari dudukku. Tanpa berkata apapun, aku memperlihatkan foto itu padanya.

“Wow, dia tampan sekali!” jeritnya. “Itu siapa? Kakakmu? Masih muda sekali, ya?”

“Kakak dari Hongkong!” ujarku kesal. “Dia ayah ... bukan, lebih tepatnya, seseorang yang kuanggap ayah. Dialah yang dulu mengasuhku sebelum aku jadi pengamen jalanan.”

“Dasar tukang baper. Ayo cepat kemasi. Tidak enak kalau nanti sampai membuat pria itu menunggu.”

“Iya, iya, cerewet.”

Dia beranjak keluar dari kamar, seolah memberiku kesempatan untuk merenung tentang foto itu lagi walau sekejap. Aku menarik nafas dalam-dalam, lantas menyimpan foto itu di dalam tas selempang kecil yang sudah usang, lusuh, bahkan hampir tak terlihat lagi warna aslinya. Tanganku kembali bekerja merampungkan mengemasi barang-barangku--walau tak begitu berguna, tapi apa daya aku cuma punya itu.

Aku menyeret kardus itu perlahan. Tidak berat, hanya saja aku malas membawanya. Berkali-kali aku menoleh ke belakang sembari melangkah. Memang kamarku ini biasa saja, tapi entah mengapa berat rasanya harus meninggalkannya, kembali survival di hutan belantara-- kota ini, maksudku--yang tak akan pernah bisa kupahami kehidupannya. Tidak ada yang tahu apakah isi hutan itu baik atau buruk. Aku sangat waswas, bagaimana aku bisa bertahan disana? Apa yang akan terjadi padaku nanti? Apakah takdirku baik atau buruk?

Dari ujung pintu kamar, aku bisa melihat sepasang suami istri itu datang kembali. Mereka berpakaian lebih bagus dari kemarin. Seolah akan menjemput tamu istimewa ke kediamannya. Yah, sedikit banyak aku merasa malu melihat penampilanku sendiri. Sangat-sangat berbeda jauh dari mereka. Kalau aku bersanding dengan mereka, apa yang orang-orang katakan, ya?

Wanita itu tersenyum padaku. Aku merasa sebuah jawaban telah dikirimkan padaku lewat senyumannya itu. Wanita itu seolah berkata, “Jangan dengarkan mereka, lagipula kau sekarang adalah anakku. Nanti aku belikan baju yang bagus, sama seperti punya ibu.”

Bunda Nia menghampiriku, lalu membawakan kardus-kardus bawaanku ke depan.

“Sudah siap, Kaka, Kiki?” tanyanya kemudian.

Aku dan Kiki mengangguk perlahan. Kami berdua merasakan hal yang sama; kesedihan karena kami harus pergi dari sini dalam hitungan menit. Dengan berat hati, kami mencium tangan bunda, lalu memeluknya erat. Kudengar Kiki mulai menangis keras.

“Bunda ... jangan lupakan Kiki, ya,” katanya diantara tangisnya.

“Iya, bunda tidak akan melupakan Kiki. Sudah, jangan menangis. Katanya Kiki anak pintar, tidak akan menangis lagi,” ujar bunda sambil mengelus rambut keritingnya yang panjang sepunggung.

Kiki menurut, melepaskan pelukannya dari tubuh bunda. Ia menyeka air matanya dan mengambil barang bawaannya. Sementara itu, tamu suami-istri itu berpamitan pada bunda.

“Mari, bu, kami pamit dulu,” ujar sang pria pada bunda.

“Iya, pak, hati-hati. Jaga mereka baik-baik. Maaf kalau mereka nanti mengganggu kalian,” jawab bunda.

“Ah, tidak, tidak masalah, kok.”

Kami berempat beranjak pergi dari panti asuhan itu. Pria itu bergegas membuka bagasi mobilnya untuk meletakkan barang-barang kami. Sementara itu, aku, Kiki, dan wanita itu bergegas masuk mobil.

Tak lama, pria itu akhirnya menduduki bangku supir dan mulai menjalankan mobilnya, meninggalkan panti asuhan. Tempat aku dan Kiki menghabiskan waktu selama beberapa minggu terakhir ini.

To be continued...

Penjara Takdir ✔Where stories live. Discover now