NOVEL (Sudah Revisi)

21.4K 926 5
                                    

Alexander melompat, mengayun pedang dengan cepat. Sapuan bilah pedang berkelebat hendak memangsa nyawa Fregadovic. Dengan tangkas Fregadovic menghindarinya, membungkuk rendah. Fregadovic menusukkan pedangnya pedangnya lurus ke arah perut Alexander....

“Ish… kejam banget! Main tusuk perut orang aja. Eh, tapi lebih mending daripada di tusuk dari belakang,” gumam Azka sembari menutup novel yang dibacanya. Novel itu adalah pemberian dari Azril sebagai permintaan maaf minggu lalu.

Kini hubungan mereka berjalan lebih baik. Sekarang, hampir tidak pernah terdengar cek-cok di antara mereka. Kalaupun mereka sedang bersitegang, pasti salah satunya akan mengalah. Tak hanya itu, akhir-akhir ini Azka sering memamerkan senyumnya kepada semua orang. Entah apa alasannya, tetapi sepertinya Azril-lah yang mampu merubahnya sedemikian rupa.

Azka mengakui bahwa hatinya menghangat saat Azril memberikannya kejutan-kejutan kecil yang tak terduga. Tak hanya itu, ia juga menyukai perhatian kecil dari Azril yang mampu membuat pipinya merah merona. Mungkin orang akan menyebut Azka sedang jatuh cinta. Namun, hingga kini gadis itu tak menyadarinya. Yang ia tahu, bahwa Azril baik dan  Azka senang berada di samping nya.

Seperti kejadian dua hari yang lalu. Ia benar-benar teramat malu, namun ia juga mengakui bahwa tindakan Azril membuat hatinya menghangat.

“Kamu masih ngambek?” tanya Azril. Mereka berdua sedang berada di warung bubur ayam. Azka bergeming dari tempatnya. Ia sama sekali tak menggubris ucapan Azril.

“Ka, masih marah?” tanya Azril lagi,

“Maaf, ya?” Azka masih saja tak menggubris.

“Udahan, dong, marahnya! Masa sama suami sendiri marah?” bujuk Azril sembari menarik-narik lengan Azka. Persis seperti anak kecil yang meminta sesuatu pada ibunya.

“Ck! Apaan, sih?” Azka merasa risih diperlakukan sedemikian rupa oleh Azril.

“Maaf, ya?”

“Hm.”

“Cuma ‘hm’?”

“Lah, terus gue harus jawab apa?” tanya Azka kesal.

“Kamu maafin aku ya?”

“Iya. Udah, kan?” jawab Azka malas.

“Udah maafin, tapi kok mulutnya masih manyun? Oh aku tau,” Azril tersenyum miring. Azka mengerutkan kening.

“Aa... sakit!”

Azril terkikik geli melihat ekspresi Azka. Gadis itu mengusap mulutnya yang berdenyut akibat di tarik oleh Azril. Ini kedua kalinya lelaki itu menarik bibirnya. Sungguh tak berperikemanusiaan.

“Ketawa aja terus!” sindir Azka. Ia menatap Azril sengit. Sepertinya lelaki itu ingin mengibarkan bendera perang kepadanya.

“Habisnya ekspresi kamu lucu banget. Aku jadi pengen ngakak!” Azril tak henti-hentinya tertawa. Padahal baru beberapa menit yang lalu mereka berbaikan. Dan sekarang, Azril malah memulai pertengkaran baru di antara mereka.

“Iya, ketawain aja terus! Nggak papa, kok. Ketawa aja terus sampai mulut lo berbusa!”Azka menatap Azril garang. Yang ditatap malah semakin gencar menertawainya.

“Hahaha! Muka kamu… muka kamu kayak nenek lampir. Hahaha…!” Azril memegangi perutnya. Sebetulnya ia sudah capek tertawa, namun ia tak mampu berhenti.

“Wah, bener-bener ngajak gue perang, nih!” batin Azka sambil menatap Azril sengit. Otaknya kini sedang berputar mencari cara untuk membalas Azril. Dibunuh? Jangan, terlalu berbahaya. Diracuni? No, bad choice. Ia bukan wanita sekejam itu. Lalu apa yang harus ia lakukan untuk membalasnya?

“Maaf,” ucap Azril saat tertawanya mereda. Azka melirik Azril sesaat.

“Hiya…!” Azka langsung menghujani tubuh Azril dengan cubitan pedasnya. Lelaki itu tak dapat mengelak lagi. Ia hanya bisa menahan dan menampik tangan Azka yang ingin mencubitnya. Namun apalah daya, tangan Azka lebih gesit daripada dirinya.

“A… ampun! Maaf! Aduh! Nggak lagi, beneran!” Lelaki itu menggeliat ke kanan  dan kiri bak cacing kepanasan.
Tak ada cara lain. Azril menangkap kedua tangan Azka lalu menariknya ke atas. Ia menatap Azka tajam.

“Ngapain, lo?” tanya Azka galak. Bukannya menjawab pertanyaan Azka, lelaki itu malah menampilkan smirk khasnya.

“L… lo mau ngapain?” tanya Azka waswas. Ia sudah hafal betul, pasti lelaki itu akan berbuat di luar akal sehatnya. Dan benar saja, lelaki itu tiba-tiba mencium kening Azka lembut. Azka mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali.

“Azril! Ini di tempat umum.” Azka berteriak histeris. Pasalnya, terdapat banyak pasang mata yang mungkin akan menilai Azka sebagai wanita yang baru saja pubertas dan sedang mengalami jatuh cinta.

“Kenapa, emangnya?” tanya Azril polos.

“Argh... golok mana, golok?” racau Azka. Ia sudah tak tahan lagi dengan kebodohan Azril. Terkadang ia merasa bingung. Azka merasa sangsi jika suaminya ini adalah seorang dokter sekaligus dosen, terlebih lagi dengan kebodohan yang sering Azril tunjukkan. Ralat! Bukan kebodohan, namun kepolosan.

“Kamu nyari golok buat apa?” tanya Azril masih dengan mimik sok polos.

“Buat mutilasi lo!” jawab Azka. Napasnya kembang kempis menahan amarah.

“Kamu kenapa? Kamu punya sakit asma?” tanya Azril panik. Tanpa ba-bi-bu Azril segera menggendong Azka ala bridal style. Tindakan tersebut malah semakin membuat orang-orang menatap mereka. Bukannya meminta turun, Azka justru semakin membenamkan wajahnya. Ia teramat malu karena tindakan bodoh Azril. Apalagi tindakan itu di tonton oleh banyak orang.

“Apa dia nggak punya otak, sih! Perasaan kerjaan dia dokter. Kok blo'on banget?” batin Azka.

“Baca apaan, sih? Kok serius amat?” ucap Azril. Azka terlonjak kaget. Lelaki itu selalu saja datang dengan mengagetinya.

“Lo…!”

“Maaf,” potong Azril.

“Hm...” gumam Azka. Ia menutup novel pemberian Azril.

“Udah makan?” tanya Azril.

“Udah.”

“Yah... padahal aku mau ngajak kamu makan bareng,” sesal Azril.

“Nggak usah. Udah, sana mandi! Lo bau asem, tau nggak!” sinis Azka.

“Hehe... iya, maaf. Namanya juga baru pulang kerja, ya pasti bau asem, lah!” Azril hanya cengar-cengir tidak jelas.

“Jauh-jauh dari gue! Hush! Hush!” Azka mengusir Azril. Namun Azril malah semakin merapatkan tubuhnya pada Azka.

“Ih! Gue bilang, jauh-jauh!” Kata Azka merasa keki sendiri,

“Lo bau keringet.” Azka berusaha mengurangi kegugupannya karena berdekatan dengan Azril.

“Biarin gini sebentar! Aku kangen banget sama kamu.” Kalimat yang singkat namun dapat menghangatkan hati Azka. Ia makin mencair seiring berjalannya waktu.

Azka (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang