Sebuah Kisah (Bagian 1)

170 21 4
                                    


Jam dering berbunyi dengan sangat keras, ini menandakan aku harus bangun dari tempat tidur dan segera bergegas kerumah Sore, karena hari ini aku tidak boleh telat menemui gadis yang super keras kepala itu. Cuaca pagi ini begitu cerah, terlihat dari mentari yang memancarkan cahayanya dengan penuh semangat hingga membuatku sedikit gerah, mungkin semesta sedang mendukungku untuk kembali berjuang dan tentu saja aku tidak akan melewatkan kesempatan ini.

Disaat kakiku melangkah keluar rumah, ponselku berbunyi dan muncul sebuah pesan, entah siap yang mengirimkan pesan sepagi ini, segera kubuka pesan tersebut,

"Jangan mencari, karena kamu takkan pernah temui. Jangan menunggu karena itu sia-sia. Jangan berharap karena takkan ada yang memberi harapan. Bertahan bisa saja, tapi jangan pada kebodohan. Kamu hanya menatap untuk gunung yang menjulang tinggi, kamu berjuang pada orang yang tak tahu rasa, dan kamu mengejar untuk orang yang tidak tahu arah melangkah. Lihatlah sekitarmu, jangan memandang terlalu luas, terkadang orang yang kamu anggap biasa justru bisa membuatmu bahagia."

Pesannya begitu bermakna tapi tidak jelas siapa pengirimnya, dan tentu saja tidak akan kubalas pesan tersebut karena dikirim oleh orang yang tidak dikenal. Aku berpikir positif saja kalau itu hanya pesan yang salah kirim, menurutku itu hal yang wajar karena aku juga sering mendapat pesan lain seperti mama minta pulsa, papa kirimkan uang, dan lain-lain. Kemudian aku memasukkan ponsel ke saku celanaku, menyalakan Vespa dan segera menuju rumah Sore.

***

***

Akhirnya aku tiba dirumah Sore, aku memandangi jam tanganku dan untung saja aku tiba 5 menit sebelum perjanjian berakhir, karena jika telat maka aku harus membelikannya eskrim. Namun aku begitu terkejut, belum sempat kubuka helm tiba-tiba Sore berteriak dari dalam rumah dengan suara lembutnya memanggil namaku, aku begitu cemas entah apa kesalahanku, kubuka helm lalu segera aku menghampirinya dan bertanya, "Lu kenapa teriak? Kan gua gak telat, jangan marah gitu dong."

Lantas saja gadis itu menjawab, "Gapapa kok sam, kamu takut ya saya marah? Tenang saja, saya hanya ingin berteriak memanggil nama kamu agar saya keliatan menakutkan di matamu, hehehe. Eh rambut kamu berantakan nih, Sam, saya tata dulu ya."

Dia menata rambutku dengan sangat lembut. Tapi tunggu dulu, aku ingat moment ini, Fana sering menata rambutku dan kemudian menariknya, lagi-lagi Sore begitu mirip dengan Fana, hanya saja aku tidak mendapatkan tarikan seperti yang dilakukan Fana kepadaku dulu, otakku terus bertanya-tanya kenapa sebuah kebetulan ini bisa terus terulang, bahkan hanya sedikit perbedaan sifat diantara Sore dan Fana, untuk dua orang gadis yang tidak saling mengenal apakah itu mungkin?

Terhanyut dalam tanyaku, Sore mengatakan sesuatu yang aku sama sekali tidak tahu kenapa itu bisa terjadi, "Sam, ternyata kamu bisa takut juga ya sama saya, semakin lama kamu sudah semakin berubah, saya senang."

"Kenapa senang?" tanyaku kepada Sore.

"Karena saya tidak perlu lagi repot-repot merubah kamu, karena perubahan itu datangnya dari diri kamu sendiri bukan dari orang lain."

Seketika aku tersenyum lebar mendengar semua itu, memang mengherankan tapi itu membuatku senang, sudah lama aku tidak tersenyum tanpa beban seperti sekarang.

"Oh ya Sam, sebenarnya saya bingung bagaimana cara merubahmu, saya bingung harus memulai dari mana. Bagaimana jika dibiarkan mengalir begitu saja, karena kalau perubahan itu terlalu direncanakan justru itu namanya paksanaan. Bisa sih direncanakan, tapi rencanakan sebagian, sisanya jadi kejutan, benar nggak?" ucapnya yang begitu santai kepadaku yang dibumbui senyum lembut dari bibirnya.

"Yaudah, terserah lu, kalau itu lebih baik ya gua nurut."

"Semuanya memang harus mengalir, tapi 3 hal yang harus kamu ubah dari diri kamu."

"Apa?" jawabku yang sedikit penasaran tentang apa yang barusan diucapkannya.

"Pertama, kamu harus jadi power ranger. Kedua, kamu harus bisa terbang ke langit. Ketiga, kamu harus beliin saya eskrim seisi toko, hehehe."

"Itu namanya bukan perubahan, tapi khayalan! Kenapa gak sekalian aja lu suruh gua mendaki gunung melewati lembah trus nyabut menara eifel untuk dibawa kesini."

"Hehehe, itu juga boleh. Hmm, ternyata kamu bisa ngelucu juga ya, Sam."

Dia tertawa seperti itu membuatku merasakan suatu kebahagiaan sekaligus kesedihan, dulu Fana tidak pernah tertawa karena sikapku selalu dingin kepadanya, andaikan saja yang berada disini itu Fana bukan Sore.

Aku tidak ingin terjebak terlalu lama pada situasi seperti ini, langsung saja kualihkan pembicaraan pada tujuan pertama, karena yang kuinginkan hanya bisa merubah diri dan bertemu dengan Fana.

"Jadi kapan kita memulai proses merubah diri dan mencari Fana?" tanyaku kepada Sore.

"Sabar ya, Sam. Saya kan sudah bilang, biarkan semuanya mengalir."

Tentu saja aku tidak bisa diam mendengar ucapannya, yang ku inginkan adalah bertemu Fana secepat mungkin, bukan selama mungkin. Perasaan kesal dan marah menghantui otakku, tapi entah kenapa hatiku seperti tidak ingin mengeluarkan kekesalan ini seperti biasanya, yang kulakukan malah mencoba untuk menahan perasaan kesal dan marah ini.

Aku tau semua orang pernah merasakan kondisi seperti ini, menurut kalian antara hati dan otak, siapakah yang menjadi pemenangnya?

***

"Sam, saya boleh cerita tentang kehidupan saya?" tanya Sore kepadaku dengan mimik wajah yang berbeda dari biasanya.

"Kalau lu mau cerita ya cerita aja, gak perlu basa-basi."

"Kamu tahu kan kalau saya sangat menyayangi kakak? Di Indonesia saya tidak memiliki keluarga lain selain kakak, papa sibuk bekerja di Singapore, dan mama sudah lama tidak memberi kabar semenjak berpisah dengan papa, kakak pun sewaktu-waktu bisa saja dinas ke Singapore, dan tentu saja saya disini menjadi sendirian. Tidak lama sih saya merasakan kesepian, namun cukup sering. Menurut kamu lebih menyedihkan hidup kamu atau hidup saya?"

Aku tidak bisa mengeluarkan pendapat, yang bisa kulakukan hanya diam, aku takut jika aku salam memberikan jawaban maka akan memperburuk suasana, menurutku hidup Sore jauh lebih berat dari hidupku, tapi kenapa dia bisa menyembunyikan semua kesedihan itu, mimik wajahnya semenjak pertama kali bertemu selalu saja penuh semangat dan terus tersenyum, tidak pernah aku melihat beban dimatanya, atau mungkin aku saja yang tidak merasakannya karena jujur untuk menerka-nerka dan membaca mimik wajah seseorang bukanlah keahlianku.

Sore terus bertanya tentang pendapatku seakan-akan dia ingin aku melibatkan kisahku dengan kisahnya. Jika aku diam terus menerus, aku yakin dia akan terus bertanya sampai dapat jawabannya. Aku mencoba menjawab pertanyaannya berharap itu tidak menyinggung perasaannya, "Menurut gua lebih menyedihkan hidup lu. Dan kenapa lu nggak pindah ke Singapore aja biar gak kesepian?" tentu saja aku harus jujur karena Sore bilang kejujuran itu yang utama.

Sore pun menjawab pertanyaanku dengan lembut, "Tidak ada alasan saya untuk pindah ke Singapore, saya adalah orang yang menyukai tantangan, seberapa kuat saya bisa menahan rasa kesepian maka itu adalah suatu pencapaian. Bagi saya kesepian dan kesendirian itu adalah hal yang biasa, tapi untuk melawan kesendirian itu memang butuh kekuatan yang luar biasa, dan saya yakin saya bisa melewatinya."

Terlihat matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya terus tersenyum. Entah ini sebuah kesedihan atau sebuah keharuan, aku tidak mengerti kisah yang menurutku begitu berat untuk dihadapi oleh seorang gadis yang lebih muda dariku namun dia masih sanggup sekuat ini. Sore memang luar biasa.

***

Waktu sudah semakin berlalu tapi keadaan tetap saja tidak berubah, aku merasa pikiran Sore sedang tidak baik, lebih baik aku diam daripada bertanya kapan akan mencari Fana dan kapan proses perubahan diriku dimulai. 2 jam lebih aku dan Sore terdiam tanpa suara, berharap agar pikiran Sore segera baik-baik saja. Aku merasa simpati sekaligus merasa kekaguman atas kisah dan prinsip Sore. Selama 2 jam tersebut yang dilakukannya hanya menatap langit dengan sangat fokus hingga pada akhirnya dia tertidur, mungkin ingatan itu menguras emosi dan tenaganya. Aku tidak ingin mengganggunya dan aku memutuskan untuk kembali ke Kost untuk menyelesaikan tugas kuliahku. Perubahan diri dan proses mencari Fana mungkin bisa dilanjutkan setelah Sore kembali seperti biasa.

Senja Tanpa JinggaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin