Part 37 Final

5.7K 252 35
                                    


Enam bulan kemudian ...

Ujian kenaikan kelas telah usai bulan lalu. Hari ini adalah hari penerimaan rapor kenaikan kelas bagi siswa kelas X dan XI SMA Bintang Surabaya. Kelas XII telah lulus dan telah menempuh jalan masing-masing. Leo dan Albert yang lulus dengan nilai lumayan baik sama-sama diterima di universitas negeri terbaik di Surabaya. Mungkin terlalu sibuknya mengurusi persiapan kuliah, keduanya tak lagi pernah menunjukkan batang hidung di sekolah.

Ayu, Bumi, dan juga siswa kelas XI BAHASA lainnya menunggu hasil rapor dengan perasaan harap-harap cemas. Di kelas mereka kini sedang dihuni para wali murid kelas XI BAHASA dan juga wali kelas yang membawa tumpukan buku rapor bewarna merah. Alhasil, para siswa harus mengungsi di luar kelas. Beberapa ada di kantin, sedang sisanya di gazebo sambil mengeluhkan kekhawatiran mereka perihal nilai rapor. Bumi, Ayu, Novi, dan Mersa setia menunggu di depan pintu kelas. Sesekali mereka menguping apa yang dibicarakan oleh Pak Han yang merupakan wali kelas itu.

Kurang lebih tiga puluh menit mereka menunggu, akhirnya pintu kelas dibuka juga. Pertama kali Pak Han yang keluar dan memasang senyum kepada muridnya yang berwajah tegang. Lalu, beberapa wali murid menyusul. Bumi tak menghiraukan siapapun yang lalu di depannya. Pandangannya mencari sosok Papa. Ya, kali ini Papa yang mengambil sendiri rapor Bumi untuk pertama kalinya. Wajah Papa tampak sumringah.

"Gimana, Pa?" tanya Bumi penuh harap.

Papa tak langsung menjawab. Senyuman masih tersungging di wajahnya. Lalu, tangannya membelai lembut kepala putra bungsunya itu.

"Kamu memang anak Papa yang hebat, Bumi. Kamu naik kelas dan memperoleh peringkat dua," terang Papa. Ia merasa bangga.

Namun, mendadak wajah Bumi tampak sedih.

"Kamu kenapa?" tanya Papa sambil memandang lekat-lekat wajah Bumi yang disembunyikan di balik kepala yang menunduk.

"Kalau Kak Langit, selalu bisa meraih peringkat satu," ujar Bumi dengan nada kecewa.

Papa menghela napas.

"Langit adalah Langit, kamu adalah kamu. Kalian berbeda.Tapi menurut Papa, kalian sama-sama anak Papa yang hebat," ucap Papa sambil mengacungkan jempol.

Bumi tersenyum. Ia peluk Papanya. Ia merasa bahagia karena apa yang ia mimpikan sejak kecil kini terwujud. Namun sayang, Kakaknya tak bisa menikmati kebahagiaan ini juga. Andaikan Langit masih ada, pastilah ia bisa merasakan juga kebahagiaan yang Bumi rasakan kini. Ah, penyesalan memang selalu datang terlambat. Kakaknya kini telah tiada. Hanya kado terakhir pemberian kakaknya yang masih ada dan tak akan selalu Bumi bawa sampai nanti. Hati.

Bumi tatap langit biru yang tampak sangat cerah. Entah mengapa rasanya Bumi bisa membaca kalau langit cerah hari ini ikut mewakili kebahagiaannya. Senyum terukir di wajahnya yang menatap langit itu. Ya, ia yakin. Langit ada di sana. Di langit itu dan tengah memperhatikannya.

"Sayang ...!" suara Ayu membuyarkan lamunan Bumi, "Aku naik kelas! Dapat rangking lima! Kamu gimana?" tanya Ayu tanpa basa-basi lagi.

"Dapat rangking dua dong!" ucap Bumi sambil menjulurkan lidah. Ia perlihatkan hasil rapornya kepada Ayu yang mendadak memajukan bibirnya beberapa senti.

"Tuh, kan! Ayu kalah lagi sama Bumi. Nyebelin ...!" rutuk Ayu jengkel.

"Makanya belajar, Ayu. Kamu tiap malem cuma ngelamun aja di kamar mikirin Bumi. Masa buku tulis isinya cuma love Bumi love Bumi aja," ucap Papa Ayu dengan wajah polos seolah tanpa dosa.

"Ih, Papa ini! Sering ngintipin diary Ayu, ya?" protes Ayu sambil memukul-mukul lengan papanyanya.

"Ketahuan, deh. Kayanya memang Ayu calon mantu Papa, Bumi," ujar Papa sambil menyikut lengan Bumi. Muka Bumi seketika langsung bersemu merah. Ah, sial! Kenapa dia jadi pemalu begini? Padahal sebelumnya Bumi bisa melewati semua ledekan yang dilontarkan padanya dengan cuek.

Langit & Bumi (REVISI)Where stories live. Discover now