Part 3

4.9K 583 116
                                    


Seorang pemuda bertubuh tinggi tegap turun dari motor. Ia membawa dua tas ransel besar di mana salah satu dari tas ransel itu ia ikat dengan tali tambang di jok belakang. Ia buka helm dan kacamata hitamnya. Rambutnya yang sedikit jabrik tampak berkilau terkena cahaya matahari. Sepasang matanya yang tajam tak henti-hentinya memandangi rumah yang telah ditinggalkan selama tujuh tahun ini. Mendadak timbul rasa sesak di dada. Sekelebat kesedihan muncul kembali dalam pikiran yang sudah terlalu keruh.

"Akhirnya aku kembali lagi ke neraka ini," ucapnya serak.

Ia langkahkan kaki menuju pintu rumah yang tertutup rapat. Pintu ini bahkan tak pernah berubah sejak dulu. Sepertinya Mama dan Papa memang tidak pernah merenovasi rumah ini. Pasti karena Mama dan Papa terlalu sibuk mengurusi Langit.

Dengan tangan gemetar, ia tekan bel.

"Iya, sebentar," terdengar suara lembut wanita dari dalam rumah. Ini pasti suara Mama. Tak lama kemudian terdengar suara putaran daun pintu. Benar, Mama yang membukakan pintu itu.

Seketika Mama terperanjat tatkala melihat pemuda yang tengah berdiri tegap di hadapannya kini. Mama tak bisa berkata apa-apa. Hanya melongo saat menatap sosok pemuda yang tak pernah ia lihat lagi wajahnya selama tujuh tahun itu, kini didapati telah menjadi sosok pemuda yang tampan. Sinar mata pemuda itu sangat jernih dan berpendar karena menahan air mata yang ingin keluar membasahi pipi.

"Bumi?" Suara Mama bergetar.

Bumi mengangguk dan mengumbar senyum. Rupanya Mama masih mengenali sekalipun tak berjumpa selama tujuh tahun.

"Bumi!" Mama memeluk erat-erat tubuh putra bungsunya yang tampak kekar.

"Mama kangen sekali sama kamu, Bumi. Tak terasa kamu sudah sebesar ini!"

Bumi tertawa kecil. Sebenarnya ia ingin sekali tertawa terbahak-bahak ketika mendengar penuturan Mama. Ia ingin mengumpat wanita yang telah melahirkannya itu dengan kata-kata munafik. Orang tua macam apa yang tega mengirimkannya ke tempat asing di saat ia membutuhkan kasih sayang penuh dari mereka? Sebenarnya mengirim anak ke sekolah yang bagus tidaklah salah. Hanya, mengapa harus di Bandung sedangkan di kota sebesar Malang banyak berdiri sekolah-sekolah yang kualitasnya bagus? Bahkan ada yang berstandar internasional.

Apa memang mereka ingin mengasingkan Bumi jauh-jauh? Selama tujuh tahun, tak pernah sekalipun Bumi mendengar orang tuanya menanyakan kabar. Tak pernah Bumi melihat orang tuanya datang barang semenit demi mengetahui keadaannya. Mereka tak pernah tahu saat Bumi sakit, saat Bumi down, maupun saat Bumi membutuhkan belaian kasih dari seorang Mama dan Papa. Mereka tak pernah tahu itu.

Ah, iya! Langit! Bagaimana kabar kakak laki-laki semata wayangnya yang penyakitan itu? Masih hidupkah dia? Bagi Bumi, kepedihan hati yang dirasakannya disebabkan oleh Langit. Luka di hatinya masih tersisa perihnya dan mungkin akan lebih perih lagi saat melihat wajah kakaknya nanti.

Bumi melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Ia edarkan pandangan ke setiap sudut ruangan yang entah mengapa dirasa Bumi menjadi semakin sempit. Fotonya semasa kecil masih tetap terpajang manis di dinding walau telah tampak usang dan berdebu. Ya, hanya itu satu-satunya foto Bumi. Sedangkan di sekeliling foto itu terpajang beberapa foto cowok berkacamata yang tampak sebaya dengannya.

"Pasti ini Langit," gumam Bumi pelan.

Ada sedikit rasa rindu menyelinap dalam hati Bumi. Matanya berkaca-kaca. Tak pernah diduga sebelumnya kalau ia akan kembali ke rumah ini lagi. Rumah yang baginya mirip neraka. Bumi ingat, ia sering dipukuli di sini. Tak terbayangkan rasa linu yang menjalar di sekujur tubuh akibat hajaran gagang sapu yang keras.

"Mama sudah siapkan kamar kamu, Bumi," kata Mama membuyarkan lamunan Bumi. "Kamu istirahat dulu. Pasti kamu lelah naik motor sendiri dari Bandung ke Malang. Mana bawaanmu banyak banget!"

Bumi mengangguk. Ia pun bergegas menuju kamarnya.

Tak banyak yang berubah pada kamar Bumi. Bahkan koleksi poster-poster kartun yang dibeli saat masih duduk di bangku SD tetap tertempel rapi di dinding tanpa bergeser sedikitpun. Koleksi miniatur tokoh anime juga masih berdiri tegak di meja belajar. Bahkan buku-buku pelajaran Bumi yang ia tinggal masih tetap berada di tempatnya. Intinya tempat ini masih tetap sama seperti tujuh tahun yang lalu.

Bumi menghempaskan dirinya di ranjang. Rasanya ranjang ini jadi lebih kecil. Dulu, ia biasa berguling-guling di ranjang ini. Bumi tersenyum. Tentunya, bukan ranjang ini yang menjadi kecil, tapi memang ukuran tubuhnya yang tambah besar. Jelas saja. Kini ia bukan lagi bocah berusia sepuluh tahun. Tujuh belas. Usia yang menurut remaja kebanyakan adalah usia yang penuh dengan masa-masa membahagiakan.

"Mama sudah mengabarkan kepulanganmu ini pada Papa, Bumi," kata Mama dari balik pintu, "Papa bilang, ia kan pulang cepat hari ini."

Bumi tersenyum kecut, "Untuk apa? Memangnya Papa masih ingat kalau punya anak Bumi?" ujar Bumi cuek. Ia memang menyimpan kesal yang luar biasa kepada Papa.

Pernyataan Bumi seakan menyayat hati Mama. Segumpal rasa menyesal muncul begitu saja dalam benaknya. Tentu saja bukan maksud Mama dan Papa menelantarkan Bumi. Keadaanlah yang memaksa Mama dan Papa untuk melakukan itu. Tapi Mama sadar. Wajar kalau Bumi masih menyimpan sakit hati karena bagi Bumi ini semua tidak adil.

"Maafkan Mama dan Papa, Bumi," kata-kata itu muncul begitu saja dari bibir Mama yang bergetar.

Bumi pura-pura tak mendengar. Ia pejamkan mata rapat-rapat, pura-pura tertidur.

Mama menghela napas. Ia tutup sekujur tubuh Bumi dengan selimut. Tak lupa ia kecup kening putra bungsunya itu dengan penuh kasih. Mama tatap lekat-lekat wajah Bumi dengan mata berkaca-kaca. Betapa tampannya Bumi. Sayang, Mama tak bisa melihat perkembangan Bumi selama tujuh tahun ini.

"Andaikan kamu tahu, Mama sangat menyayangimu, Bumi," ujar Mama lirih sebelum kemudian keluar dan menutup pintu kamar Bumi dari luar

Bumi kembali membuka matanya.

"Memaafkan sih gampang. Tapi melupakan sakit hati ini sangat sulit, Ma," kata Bumi pelan sambil menatap tajam pintu kamarnya yang tertutup.

***


Yups, ini adalah bagian dari BAB ke dua. :D Bab berikutnya akan membahas pertemuan antara Langit dan Bumi. So, akan diposting segera, asal vomment dulu, ya? :D Terima kasih. :D

Langit & Bumi (REVISI)Where stories live. Discover now