Part 7

4.1K 376 44
                                    



"Bumi berangkat dulu!" pamit Bumi buru-buru.

"Kenapa nggak kamu tungguin kakakmu juga? Kan enak kalau berangkat bareng," saran Mama lembut.

Bumi mendengus, "Males! Langit lambat banget. Lagian kan dia bawa sepeda gunung. Ya mana mungkin bisa barengan lah!" ujar Bumi. Ia comot sepotong roti dan langsung saja kabur. Tak lama kemudian, terdengar suara deru motor Bumi. Berisik sekali. Mama dan Papa sampai geleng-geleng kepala.

"Perangai Bumi jelek sekali," komentar Papa. "Siapa yang mengajarinya jadi anak urakan begitu?"

Tangan lembut Mama membelai punggung Papa.

"Sabar, Pa. Bagaimanapun juga ini adalah bagian dari kesalahan kita. Andai saja kita yang waktu itu merawat Bumi, ia tak akan jadi anak seperti itu."

Papa mengangguk setuju.

"Ma, Pa, Langit berangkat dulu, ya?"pamit Langit. Tak lupa ia cium tangan Mama dan Papanya.

"Iya. Hati-hati. Jangan lupa pas makan siang nanti obatnya diminum," peringat Mama.

"Beres, Ma!"

Langit berlari menuju sepeda yang dengan setia bersandar di pohon Jambu. Ia lihat jam tangan. Pukul enam lewat lima belas menit. Masih ada waktu lima belas menit lagi untuk sampai di sekolah karena jam sekolah dimulai pukul setengah tujuh tepat. Langit bergegas mengayuh sepeda. Namun, dirasakannya ada sesuatu yang aneh. Roda sepeda seperti enggan untuk melaju.

Ya Tuhan. Langit mendapati kedua roda sepedanya kempes. Aneh. Aneh sekali. Perasaan kemarin ia cek sepedanya masih baik-baik saja. Lagipula ini bukan kempes biasa. Ia tahu itu. Memang ada bekas tusukan di kedua roda sepedanya. Tapi siapa yang melakukan semua ini? Orang luar? Mana mungkin! Pagar rumah terlalu tinggi untuk bisa dilompati. Belum lagi ujung pagar yang dibuat runcing untuk mencegah maling yang pintar manjat.

Astaga!

"Bumi?" gumam Langit, "Masa Bumi tega melakukan itu? Tapi kalau bukan dia, siapa lagi coba?"

Tak ada waktu lagi. Langit bergegas berangkat sekolah walau tanpa sepeda. Sebenarnya bisa saja ia minta tolong Papa untuk mengantar dengan mobil. Tapi, itu hanya akan menambah masalah saja. Lagipula ia tak ingin Bumi dihajar oleh Papa seperti waktu dulu. Biarlah dihukum atau tidak, itu urusan nanti.

Langit mempercepat langkahnya. Saat ini, ia sangat berharap bisa bertemu dengan teman yang membawa motor. Tapi, sial! Sejauh ini belum ada seorangpun teman Langit yang melintas. Ia lihat lagi jam tangannya. Sudah pukul enam lebih dua puluh lima menit. Lima menit lagi bel sekolah akan berbunyi nyaring dan pagar ditutup oleh satpam yang berwajah sangar.

Sepanjang perjalanan, Langit menggumam sendiri saking geramnya. Sungguh, ia merasa sangat jengkel atas kejadian hari ini.

Gerbang sekolah Langit sudah tampak dan terlihat Pak Satpam yang berbadan sedikit tambun dan berkumis tebal hendak menutup gerbang.

"Pak! Pak! Tunggu!" Langit berlari kecil menuju gerbang yang telah tertutup setengah.

Terlambat. Pak Satpam itu justru tak peduli. Langsung saja ia tutup gerbang itu padahal Langit telah berada tepat di depannya.

"Pak, bukain Pak!" pinta Langit dengan muka memelas.

"Tidak bisa! Kamu tunggu di situ sampai petugas tata tertib datang. Biarpun kamu ketua OSIS, Bapak tidak bisa memberikan kamu keistimewaan. Ini sudah peraturan!" terang Pak Satpam.

"Tapi, Pak. Di jam pertama saya ada ulangan," pinta Langit lagi.

"Itu kan urusanmu. Salah sendiri telat!" ukh, benar-benar Langit ingin melempari wajah Pak Satpam dengan sepatu yang ia kenakan.

Langit terduduk di pinggir pagar. Pasrah.

***


Sementara itu, di kelas XI Bahasa ....

"Eh, Yu! Dengar-dengar bakal ada murid baru di kelas ini. Anak cowok cakep banget! Kayanya tipe mu deh, Yu. Gayanya Jepang banget!"

Ayu yang duduk di bangku nomor dua dari depan hanya bisa melongo mendengarkan cerita Novi, sahabat yang juga merupakan teman sebangkunya. Hm, sekeren apa sih cowok yang diceritain si Novi ini sampai yang bercerita jadi menggebu-gebu seperti itu?

"Rambutnya itu style Harajuku banget! Badannya tinggi tegap. Lagi, dia bawa moge warna merah. Keren banget, Yu!"

Ayu hanya bisa diam bak orang yang sedang dijajah.

"Bonjour a tous!" suara Madame Rena memecahkan lamunan Ayu.

"Bonjour, Madame !" jawaban serentak muncul dari semua siswa kelas XI Bahasa.

Madame Rena, guru Bahasa Perancis yang terkenal paling modis di antara guru-guru yang lain. Parasnya yang cantik akan membuat orang tak percaya kalau guru penyuka warna jingga ini telah berusia empat puluh dua tahun. Balutan busana yang dipakainya sangat berkelas dan Perancis banget. Hebatnya, ia mampu menggabungkan style Perancis dengan balutan hijab. Memang, waktu awal perkenalan dulu, Madame Rena terang-terangan mengungkapkan bahwa beliau maniak segala hal yang bebau Perancis sejak dari zaman SMA dulu. Menurut Madame Rena, Perancis itu romantis dan nomor satu dalam hal fashion.

Biasanya, begitu mengucapkan salam, Madame Rena langsung duduk di bangkunya. Namun kini lain. Madame Rena tetap berdiri sambil tersenyum seolah-olah ia sedang menyimpan sebuah surprise.

"Aujurd'hui, kita kedatangan siswa baru. Il est tres beau. Mulai hari ini,dia akan jadi salah satu anggota keluarga besar XI Bahasa. Jadi, kalian harus rukun, ya?" ujar Madame Rena panjang lebar.

Seorang cowok berseragam SMU masuk ke kelas dan berdiri di samping Madame Rena. Ayu yang melihatnya langsung terbelalak lebay tak berkedip. Memang benar kata Novi, cowok itu memang sangat keren. Tubuhnya tinggi tegap. Wajahnya ... hm, Ayu jadi ingat Yamada Ryosuke. Yah, seperti itulah wajahnya. Sumpah! Belum pernah Ayu melihat cowok sekeren ini.

Cowok itu tersenyum cool.

"Je m'appelle Bumi Aldian. J'ai seize ans. Je viens de Bandung et J'adore la musique et dessins. Merci ," wuih, semua tidak menyangka kalau cowok cool ini juga bisa bahasa Perancis.

"Kamu sebelumnya sekolah di mana, Monsieur Bumi?" tanya Madame Rena.

"SMA 2 Persada Bandung. Jurusan Bahasa di sana juga ada mata pelajaran Bahasa Perancis, Madame," jawab Bumi dengan intonasi lancar.

Semua manggut-manggut.

"Oke, sekarang kamu duduk di ... mmm ..." Madame Rena mengamati satu persatu bangku di hadapannya. Mata Madame Rena menatap sebuah bangku kosong yang terletak di deretan ketiga dari depan di barisan nomor dua dari kanan.

"Kamu duduk di bangku yang kosong itu bersama Mersa," ucap Madame Rena singkat sambil mengarahkan jari telunjuk ke bangku yang ia maksud. Tak lupa dipasangnya senyum yang sangat menawan ala Madame Rena.

Bumi nurut. Ia melangkah menuju bangku yang dimaksudkan guru barunya itu. Bangku yang berada tepat di belakang bangku Ayu dan Novi.

Saat itulah mata Bumi bersemprokan dengan mata Ayu. Keduanya saling menatap. Saat itu juga, ada desir aneh di hati keduanya. Bagi Bumi, di antara cewek-cewek yang berada di kelas ini, cewek inilah yang tampak paling manis, matanya begitu indah dengan hiasan tahi lalat di ujungnya. Tanpa sadar, Bumi tersenyum tipis. Matanya sama sekali tak berkedip.


Akhirnya bisa dipublish juga kelanjutan ceritanya. Makasih udah yang baca, kritik, dan support cerita ini. :D Masih berharap dapat kritik dan saran dari kalian.

Happy reading! Beri bintang kalau suka, ya? Makasih.

Langit & Bumi (REVISI)Where stories live. Discover now