Part 19

2.3K 180 16
                                        


Bumi duduk termenung sendirian di gazebo sekolah ditemani sebungkus jus jambu. Ia tatap rerumputan yang bergoyang seolah melambai kepadanya. Lambaian ejekan. Bumi menghela napas. Kata-kata Ayu, Novi, dan Mersa terus berkecamuk dalam pikirannya. Benarkah ia sudah terlampau keterlaluan? Apakah sulit menghilangkan dendam kesumat yang dipendamnya sejak kecil? Bagi Bumi hal itu sangat sulit. Semakin ia ingin menyayangi kakaknya, semakin perasaan dendam itu muncul menyiksa batinnya.

Bumi pungut kerikil kecil yang kebetulan berada di dekat kakinya. Kemudian, ia lempar kerikil itu sambil mendengus kesal. Ia kesal pada dirinya sendiri. Kesal karena ia sebenarnya menutupi kerapuhan hatinya itu. Ia menyesal. Harusnya ia tak kembali ke Surabaya lagi. Ini semua justru membuat ia tertekan.

Tapi, andaikata Bumi tak pulang, ia tak mungkin bertemu Ayu ...

Bertemu dan mengenal Ayu adalah satu-satunya hal yang sangat Bumi syukuri atas kepulangannya ke Surabaya ini. Senyuman gadis itu ... renyah tawanya ... tatapan matanya yang penuh dengan pesona ... ah, betapa sempurnanya pacar Bumi yang satu ini. Bumi berjanji akan menjaga cewek itu baik-baik. Tak akan Bumi biarkan setetes air mata luruh dari sepasang mata indah Ayu. Bumi benar-benar menyayangi cewek itu karena selain cewek itu sangat sesuai dengan kriterianya, dalam mendapatkannya Bumi harus bersaing dengan Langit dan rela mencabik-cabik hati kakaknya itu.

Sadis? Ya, Bumi rela mendapat gelar seperti itu asal dirinya dapat memperoleh kebahagiaan seperti yang diimpikannya sejak masih ingusan dulu.

"Kamu ngapain di sini, Bumi? Ndak ke kantin?"

Bumi tersentak. Suara Langit membuyarkan lamunannya. Hm, Bumi tak mengerti. Sejak kedatangannya di kota ini, ia jadi lebih sering melamun.

"Kamu sendiri ngapain?" balas Bumi dengan nada datar.

"Lewat doang," jawab Langit singkat. Lalu ia memasang senyum kecut.

Bumi kembali diam. Ia kembali larut dalam lamunannya. Mungkin ia merasa hatinya sedikit tertekan entah apa sebabnya. Dendam. Itu bisa menjadi sebuah senjata yang menggerogoti hati Bumi sendiri. Lagipula ... ah, kenapa Langit harus menampakkan diri di saat hati Bumi sedang bersuasana buruk? Apalagi tadi Bumi ngambek karena teman-temannya mendadak jadi penceramah dengan sejuta nasehat yang kesannya membela makhluk berkaca mata ini. Ingin rasanya Bumi telan kakaknya itu hidup-hidup.

"Mending kamu pergi deh, Lang ..." usir Bumi halus.

Langit mengerutkan alis.

"Kamu masih tidak mau juga memanggilku dengan sebutan kakak?"

Ukh! Lagi-lagi kalimat yang sempat meluncur dari bibir Ayu, Novi, dan Mersa beberapa waktu lalu, kini terucap lagi justru dari bibir yang bersangkutan yaitu Langit. Heran, kenapa semua jadi mempermasalahkan ini? Memangnya salah kalau Bumi tak memanggil Langit dengan sebutan kakak? Oke, Bumi tahu itu memang salah. Kesannya Bumi jadi sangat tidak menghormati kakaknya itu. Namun, haruskah Bumi menghormati orang-orang yang pernah membuangnya itu? Oh, lagi-lagi pikiran jahat itu muncul di benak Bumi.

"Mau kamu apa sih?" tanya Bumi sinis. Mata tajamnya menyorotkan kilauan kebencian saat menatap sepasang mata Langit.

Langit menghela napas, "Bumi, sampai kapan kita jadi kaya gini? Kita ini saudara, Bum. Mama dan Papa pasti sedih ngeliat kita kaya gini terus ..."

"Terus kenapa kalau kita saudara?" sela Bumi, "Kamu pikir aku peduli dengan sinetron buatan kamu sama kedua orang tuamu itu? Terserah apa pendapat kalian. Aku jadi gini juga gara-gara kalian kok."

Lagi-lagi Langit hanya bisa menghela napas. Apakah masih ada cara untuk meluluhkan hati Bumi yang terlanjur keras seperti batu? Entahlah. Namun Langit merasa sudah benar-benar buntu. Mungkin hidayah dari Tuhan saja yang mampu menyadarkan adiknya itu.

"Bumi ... aku ..." suara Langit tercekat di tenggorokan sehingga suaranya terputus.

"Apa?"suara Bumi masih datar, "Sudahlah. Kamu nggak usah repot-repot ceramahin aku. Bikin muak saja. Lebih baik kamu pergi dari sini. Aku lagi gak ada mood buat liat tampang nyebelinmu itu."

Langit terhenyak. Pandangan mata yang tak terarah menandakan ia sedang mengalami suatu kesedihan. Itu wajar. Kakak mana yang tidak merasa sedih diperlakukan seperti itu oleh adik sendiri?

"Oh iya. Apa kamu tahu apa artinya saudara bagiku?" tanya Bumi pelan sambil menatap tajam mata kakaknya. Terdengar suara seringaian sekilas. Langit hanya bisa melongo. Ia tak bisa menduga apa yang hendak diperbuat Bumi kali ini. Harusnya Langit segera pergi dari situ. Namun, langkahnya seakan terkunci. Ia hanya diam di tempat dan mematung dengan kedua mata yang membalas tatapan tajam Bumi.

Dengan gerakan yang sangat cepat, Bumi telah merenggut kacamata Langit. Ia campakkan kacamata itu dan diinjak-injak sampai benda malang itu tak lagi berbentuk kacamata. Langit terkejut dengan apa yang dilihat kini. Ia benar-benar tak menyangka Bumi akan melakukan hal yang sedemikian jahat. Harusnya Bumi tahu jika Langit akan mendapat kesulitan bila tak memakai kacamata. Bagaimana ia akan mengikuti pelajaran di kelas, bagaimana ia akan melihat jalanan dengan jelas saat pulang nanti. Pandangan Langit akan jadi buram.

Langit terdiam. Ia pungut kacamata yang sudah pecah tak beraturan itu sementara Bumi langsung pergi begitu saja tanpa pamit apalagi meminta maaf. Sepasang mata Langit berkaca-kaca. Sakit. Sakit sekali rasanya. Andaikan Bumi bukan adiknya, pasti sudah Langit hajar.

"Kenapa kamu jahat? Apa salah Kakak sama kamu?" gumam Langit. Ia tahan air mata yang hendak tumpah. Ia tak boleh sampai menangis. Apalagi kalau sampai tangisannya itu dilihat oleh orang lain.

Langit campakkan kacamata yang sudah hancur itu. Toh, sudah tidak bisa digunakan lagi bukan?

"Kak?" terdengar suara lembut Ayu.

"Kamu sejak kapan di situ, Yu?" tanya Langit tanpa menoleh. Ia sudah hafal betul suara cewek yang sudah membuatnya patah hati ini.

"Dari tadi ..." jawab Ayu singkat. Ia terdiam. Rasa menyesal tersirat melalui kedua matanya yang jernih namun berpendar-pendar seolah menahan tangis juga.

Langit mendesah lirih. Kemudian ia berkata, "Lebih baik kamu temui Bumi. Sepertinya dia lagi suntuk berat. Buktinya kacamataku sampai jadi korban."

"Maaf, Kak ... semua ini gara-gara Ayu," ucap Ayu penuh sesal. Kepalanya menunduk.

Langit berdiri. Ia pegang kedua pundak Ayu.

"Kamu ndak salah. Bumi memang orangnya keras kepala kaya gitu. Lebih baik sekarang kamu susul Bumi. Dia lagi butuh kamu," saran Langit.

Tanpa menunggu jawaban dari Ayu, Langit langsung saja beranjak meninggalkan Ayu yang masih diam di tempat. Ia tak mau beban pikirannya bertambah begitu melihat wajah Ayu. Ia memang masih belum bisa melupakan perasaannya terhadap Ayu. Ia masih sangat mencintai cewek yang telah menjadi pacar adiknya itu. Karena itu hatinya seakan tercabik saat menatap kedua bola mata Ayu yang indah. Menyakitkan rasanya saat memandang wajah orang yang kita cintai dengan sepenuh hati tapi tak akan pernah bisa kita miliki.

Sementara Ayu menatap nanar punggung Langit yang semakin menjauh. Rasa bersalah seketika menjalar di seluruh penjuru hatinya. Bukan. Bukan maksud Ayu menyakiti cowok sebaik Langit. Apa salah jika perasaannya tak bisa terbuka atas cinta tulus dari seorang cowok yang populer karena kharismanya sebagai ketua OSIS itu? Entahlah. Bahkan sampai kini, Ayu masih belum bisa merasakan rasa cinta kepada Langit seperti halnya rasa cinta yang justru tumbuh saat ia mengenal Bumi.


Selamat membaca. ^_^

Kritik dan saran selalu Meiga tunggu, ya?

Sankyuu

Langit & Bumi (REVISI)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora