Part 35

3.4K 183 2
                                    


Langit berjalan pelan menuju lapangan basket. Entah mengapa rasanya ia yakin Bumi berada di tempat itu. Pakaian putihnya tampak bercahaya seolah memberi terang senja yang semakin merangkak menuju petang. Benar, ia temui Bumi di lapangan itu tengah memegang bola basket yang tak dimainkan. Tampak Bumi diam mematung sambil memandang lekat Langit. Rupanya, Bumi menyadari kehadiran kakaknya itu.

"Bumi ..." panggil Langit.

"Langit? Eh, maksudku ... Kakak?" ucap Bumi langsung.

Langit memasang senyum tipis. Ia bahagia. Akhirnya adik semata wayangnya itu mau memanggilnya dengan sebutan Kakak. Ya, sebutan bagi Langit yang sangat ia rindukan. Ia tahu Bumi telah berubah menjadi lebih baik kini.

"Kak, Bumi minta maaf ..." ucap Bumi lirih dengan kepala tertunduk. Kali ini, ia mengungkapkan perasaan bersalahnya dan meminta maaf dengan tulus. Ia ingin memperbaiki semuanya termasuk hubungannya dengan Langit, Mama, dan Papa.

Langit berjalan menghampiri Bumi. Lalu, dipeluknya tubuh adiknya itu dengan penuh haru. Suara isak tangis terdengar dari bibir Langit. Isak tangis kebahagiaan. Begitu juga dengan Bumi yang juga mulai terisak. Ia sungguh menyesal telah mengukir luka di hati kakak yang sudah jelas menyayanginya melebihi apapun di dunia ini.

"Kakak ndak pernah benci sama Bumi. Tentu saja Kakak sudah memaafkan semua kesalahan Bumi. Kakak sangat bersyukur karena akhirnya kamu sadar bahwa Kakak sama sekali ndak ada niat buat bikin kamu menderita selama ini. Semua kejadian itu di luar kendali dan kemauan Kakak. Kakak memang terlalu lemah sehingga ndak bisa menjaga kamu. Justru harusnya Kakak yang minta maaf sama kamu, Bumi ..." ucap Langit panjang lebar penuh sesal. Air mata meluncur lagi dari sepasang matanya.

"Kakak ini ngomong apa?" sela Bumi sambil menatap lekat wajah kakaknya, "Kakak ndak salah. Bumi yang salah karena udah kurang ajar. Kita pasti bisa perbaiki hubungan kita yang sudah rusak. Kumpul berempat sama Mama dan Papa dan jadi keluarga utuh. Bumi ingin kita semua jadi seperti itu. Tapi ..." ekspresi muka Bumi mendadak jadi sedih.

"Tapi kenapa, Bum?" tanya Langit gusar.

Bumi menghela napas panjang.

"Sepertinya kehidupan Bumi bukan di sini. Bumi sudah bilang Om Yana buat jemput Bumi. Bumi akan balik ke Bandung, Kak," ucap Bumi lirih.

"Kenapa? Kamu mau ninggalin Kakak?" protes Langit.

"Bukan begitu!" tukas Bumi, "Bumi rasa ini adalah jalan yang terbaik. Bumi ndak mau mengusik hidup Papa, Mama, dan juga Kakak lagi. Biarin Bumi pergi, Kak!" pinta Bumi dengan mata berbinar-binar mengharap persetujuan dari Kakaknya.

Langit terdiam. Tampak ia merenung sejenak. Ia tak ingin kehilangan Bumi untuk kedua kalinya. Ia pernah melalaikan tugasnya sebagai kakak yang baik dengan membiarkan Bumi pergi ke Bandung saat masih kecil. Kali ini, ia tak ingin mengulang kesalahan yang sama terhadap adiknya itu. Kalaupun harus berkorban, biarlah ia sendiri yang berkorban demi Bumi agar sesal tak selalu menghantui hidupnya yang memuakkan.

Setelah lama merenung, akhirnya muncul satu keputusan dalam pikiran Langit. Keputusan yang cukup berat sebenarnya. Namun, Langit tak peduli. Kebahagiaan adiknya adalah yang terpenting untuk saat ini.

"Daripada kamu yang pergi, lebih baik Kakak saja yang pergi," kata Langit pelan.

Bumi mengerutkan sepasang alis tebalnya.

"Kamu sudah terlalu menderita. Ini adalah saatnya bagimu untuk menikmati kasih sayang Mama dan Papa secara utuh seperti yang kamu harapkan selama ini," lanjut Langit.

Langit & Bumi (REVISI)Where stories live. Discover now