Part 23

2.3K 191 2
                                    


Bumi berlari kencang menyusuri jalan setapak. Ia tak peduli sekalipun orang-orang yang lalu lalang memandangnya dengan tatapan aneh. Sesekali ia berteriak, mengumpatkan nama-nama binatang, lalu menendang apapun yang benda-benda yang dijumpainya termasuk tong sampah sekalipun. Hatinya kalut. Pikirannya kacau balau.

Langkah Bumi berbelok ke arah lapangan basket. Sepi. Tak ada seorangpun di jalanan menuju lapangan. Mungkin di tempat itu ia bisa melampiaskan kekesalan yang dari tadi sulit dikendalikan. Padahal Bumi tadi telah menghasilkan kekacauan sedemikian rupa yang membuat orangtua dan kakaknya shock. Namun, ia belum juga merasa puas. Emosi dan amarah masih tetap menguasai pikiran Bumi.

Sampai juga Bumi di lapangan basket yang sepi dari pengunjung. Ia raih sebuah bola yang kebetulan tergelerak pasrah di tanah. Ia lempar bola itu dengan asal. Suara benturan antara bola dan tepi ring terdengar, namun tak sekeras suara teriakan Bumi yang menggema.

"Brengsek ...!" maki Bumi. Ia tendang udara di sekitar kakinya.

Mendadak mendung di langit menyambut kesedihan Bumi. Bunyi Guntur terdengar sahut menyahut menghiasi suasana kesedihan Bumi. Tak lama kemudian, langit menangis. Menumpahkan literan air mata di kepala Bumi yang seolah mengepul saking panasnya pikirannya yang dikuasai amarah. Di antara suara hujan yang bersahut-sahutan, Bumi berteriak. Air matanya yang tak mau mengerti ikut mengalir bersamaan dengan hujan yang membasahi wajah. Sakit. Hatinya sangat sakit. Kebimbangan yang sangat besar melanda dan membuat Bumi semakin bingung. Bingung oleh perasaannya sendiri.

"Aku benci sama kalian! Kalian sudah buat aku hancur! Kalian yang membuat aku menderita! Apa salahku pada kalian? Aku juga tak pernah minta dilahirkan di dunia ini! Aku tak pernah minta menjadi seorang anak bungsu dan seorang adik dari kalian yang telah membuangku! Aaaaaaaarrrrggghh ...!" kembali Bumi berteriak. Ia jatuh bersimpuh di tanah. Ia menangis. Benar-benar menangis. Bukan hanya sekedar isakan ringan melainkan tangisan meraung-raung. Ratapan. Bisa dikatakan seperti itu.

Bumi masih terus meratap. Ia tak peduli dengan hujan yang semakin deras disertai kilat yang menyambar-nyambar. Hatinya benar-benar hancur. Antara kebencian, rasa menyesal, dan kasih sayang berkecamuk dalam benak Bumi. Bumi sendiri heran. Semakin ia menyakiti Mama, Papa, dan Langit, perasaan menyesal dan rasa berdosa semakin menghantuinya seolah ingin menyampaikan sekelumit rasa cinta yang diragukan Bumi.

Bayangan wajah Mama, Papa, dan Langit mendadak muncul dalam benak Bumi. Bisa dibayangkan betapa perih hati mereka saat ini. Betapa hancur hati mereka karena usaha untuk menyenangkan hatinya malah jadi hancur berantakan seperti ini. Ia sadar betul akan hal itu. Namun entah mengapa hari ini ia tak bisa menanggapi hal ini dengan cuek seperti biasanya. Semakin ia ingin cuek, semakin kuat perasaan bersalah itu menyiksa batinnya.

Hati Bumi mengkhianati pemiliknya. Hati nuraninya berontak dan memaksa pikirannya terbuka. Pikiran Bumi merespon positif dan menghasilkan memori yang tampak seperti putaran film di bioskop. Ia tak tampak dalam film itu. Hanya ada Mama, Papa, dan juga Langit.

Terpikirkan bagaimana repotnya Mama memasak semua makanan yang telah ia hancurkan tadi.

Terpikirkan bagaimana berharapnya Papa untuk bisa membahagiakan Bumi di hari ulang tahunnya yang ketujuh belas,

Terpikirkan bagaimana sulitnya Langit mendekorasi ruangan dengan penglihatan yang kabur sebab kacamatanya tak bisa digunakan lagi. Ya, kacamata yang telah Bumi hancurkan beberapa hari sebelumnya.

Terpikirkan guratan wajah bahagia Mama, Papa, dan Langit saat pesta kejutan untuk Bumi telah selesai dan tinggal menunggu kedatangan Bumi saja.

Namun semua itu telah hancur. Hancur di tangan orang yang seharusnya diharapkan bisa berbahagia di pesta ini. Bumi sendiri tak menyangka kalau dirinya akan berbuat sedemikian brutalnya. Semua itu berada di luar kendali Bumi.

"Tuhan ..." rintih Bumi, "Salahkah apa yang telah kulakukan tadi? Berdosakah aku, Tuhan? Aku ingin pesta ulang tahunku itu. Tapi aku juga merasa benci setiap kali menatap wajah mereka. Aku tak dapat mengontrol emosiku sendiri ..."

Kembali suara ratapan Bumi terdengar. Kemudian disusul oleh suara jeritan yang sangat memilukan.

"Aku sayang Mama, Papa, juga Kakak ..." ucap Bumi serak. Ia tak mengerti mengapa tiba-tiba bibirnya mengucapkan kalimat itu.

Hujan semakin deras. Namun nampaknya Bumi masih enggan beranjak dari tempat itu. Di sini, ia temukan ketenangan. Lagipula ia merasa malu untuk pulang kembali ke rumah. Ia bingung harus bersikap bagaimana saat bertemu dengan Mama dan Papa nanti. Keputusan yang paling tepat adalah tetap berada di sini. Ia tak peduli sekalipun kepalanya sudah pusing karena guyuran air hujan yang dengan kejam menghukumnya.

Senja semakin merangkak. Petang telah menyapa. Di lapangan basket, masih tampak seorang pemuda yang bertahan dalam ratapannya dengan kepala menengadah ke langit. Jeritan kepiluannya masih sering terdengar. Pemuda itu adalah Bumi yang entah sampai kapan akan terus meratap di tempat itu.

Langit & Bumi (REVISI)Where stories live. Discover now