Part 22

2.3K 185 4
                                    


Bumi langsung saja meluncurkan motornya begitu melihat pagar rumah terbuka.. Sebelum melangkah masuk ke dalam rumah, ia rapikan rambut acak-acakannya terlebih dahulu. Sebuah senyum tersungging. Ia sangat bersyukur dianugerahi wajah yang tampan oleh Tuhan meskipun wajah itu mewarisi ketampanan wajah Papa sewaktu masih muda dulu. Ya, wajah Bumi memang mirip sekali dengan Papa sementara Langit mirip dengan Mama terutama di bagian bibir dan mata.

Ia putar daun pintu yang tak terkunci. Begitu pintu terkuak, keheningan langsung menyapa. Bumi heran. Rumah tampak sangat sepi padahal pagar dan pintu depan tidak terkunci. Sepeda butut Langit juga masih asyik bersandar di pohon jambu. Pada kemana orang-orang?

Samar-samar Bumi mendengar suara bisik-bisik dari ruang makan. Langsung saja Bumi menuju ke ruangan itu. Lagipula tangga untuk menuju lantai dua juga berada di ruangan itu. Sekalian Bumi mau langsung masuk ke kamar. Ia mau tidur. Entah mengapa tubuhnya mendadak merasa lelah. Padahal Bumi sama sekali tak melakukan aktifitas yang menguras banyak tenaga.

Ketika sampai di ruang makan, perasaan heran kembali menyergap Bumi. Setiap sudut ruangan itu dihiasi pita dan balon warna-warni. Berbagai hidangan yang biasa tersaji pada acara pesta telah siap di meja. Ada perayaan apa? Namun jika ada pesta atau suatu perayaan, mengapa tiada seorangpun di sini? Bumi sentuh pita-pita yang terjulur itu. Ia merasakan suatu kerinduan. Matanya berkaca-kaca hendak menumpahkan air mata.

Pikiran Bumi mengantarkannya pada masa sepuluh tahun yang lalu saat dirinya berumur tujuh tahun. Tanggal empat belas Desember tepatnya. Kala itu Bumi sedang merayakan ulang tahunnya. Ia tak sendiri. Ada Mama ... Papa ... Langit ... tentu saja teman-teman sekolah Bumi. Mama dan Papa tampak sangat menyayanginya. Mereka menciumi Bumi, memeluk, dan mengayun-ayunkan tubuh kecilnya. Mereka juga masih bisa membagi kasih sayang secara adil antara dirinya dan Langit.

Itu adalah kenangan terindah dalam hidup Bumi yang tak akan pernah ia lupakan. Perayaan kala itu adalah perayaan ulang tahun pertamanya dan belum pernah ia rayakan kembali hingga saat ini.

Pandangannya nanar. Hiasan balon warna-warni seolah mengejeknya. Ingin rasanya Bumi letuskan satu persatu balon itu hingga tak ada lagi hiasan yang membuatnya iri. Ingin ia robek pita-pita dan momporak-porandakan ruangan itu. Lagipula hendak ada perayaan apa sih? Kenapa ia sama sekali tak diberi tahu?

"Surprise ...!" sorak Papa yang mendadak muncul dari lantai dua. Kedua tangannya membawa sebuah kue tart bernuansa coklat dengan hiasan lilin berbentuk angka tujuh belas. Di belakang Papa tampak Mama dan Langit yang telah siap-siap dengan tepung dan banyak sobekan kertas. Bumi menatap orang tua dan kakaknya itu dengan tatapan heran. Sungguh, ia tak mengerti apa yang terjadi sebenarnya.

"Kau tahu sekarang tanggal berapa, Bumi? Empat belas desember. Ulang tahunmu yang ke tujuh belas. Selamat ulang tahun, Bumi!" ujar Mama sambil mengembangkan senyum lebar.

Gigi Bumi bergemeletuk. Tangannya yang terkepal bergetar. Ia tundukkan kepalanya. Tampak sebutir bening luruh di pipinya. Ia rasakan perih menjalar di hatinya yang kelabu. Haruskah ia bahagia? Bukankah ini adalah moment yang paling diinginkan Bumi? Sebuah perayaan ulang tahun sekalipun itu sederhana. Namun entah mengapa perasaan Bumi sendiri jadi bergejolak antara bahagia dan benci. Ia bingung. Emosinya berontak ingin melejit keluar.

"Bumi, kamu kenapa?" tanya Langit yang menyadari perubahan ekspresi wajah Bumi yang mendadak berubah mendung.

Bumi tak menjawab. Kepalanya tetap tertunduk.

Papa berjalan menghampiri Bumi. Sebelah tangannya memegang pundak putra bungsunya itu. Ia bisa merasakan suatu gejolak dalam hati Bumi. Jujur saja, sebenarnya Papa juga merasa takut salah bicara atau salah bertindak mengingat emosi Bumi mudah tersulut hanya karena masalah sepele. Ia berusaha mencari tahu apa yang dipikirkan Bumi dari balik tundukan kepalanya. Papa bisa melihat air mata yang mulai berjatuhan dari mata Bumi.

Langit & Bumi (REVISI)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant