The First, Who I talk to

26 8 2
                                    

Ini adalah hari kedua gue sekolah. Well, Like I said in first. Gue belum dapet temen. Kemana-mana gue sendiri, ke kantin, duduk di kelas, ke perpus, bahkan ke toilet. Kalo ke toilet wajar sih. Intinya gue sendiri, dicuekin dan diasingin. Seminggu keadaan gue gini-gini aja, kayaknya gue mau home schooling aja deh.

Agenda hari ini ceritanya gue mau ke kantin. Gue belum sempet sarapan tadi gara-gara bangun ke siangan. Rumah gue belum ada asisten rumah tangga ataupun supir. Jadi, bokap jam 5 pagi udah berangkat ke kantor buat ngindarin macet. Nah gue, masih molor sampe jam 06.30 tadi dan berangkat jalan kaki sediri.

Selesai memesan bakso paket lengkap dengan es jeruk, gue ngeliat kanan dan kiri mencari tempat duduk yang kosong dan tidak terlalu mencolok. Akhirnya, gue memutuskan untuk duduk di meja nomor 14 yang ada di pojok kanan.

Suap demi suap masuk ke mulut gue, karena terlalu fokus, gue gak sadar ternyata dari belakang ada yang menghampiri gue.

"Kamu gadis yang waktu itu ya?" Tiba-tiba seorang cowok datang menghampiri dan berdiri di samping gue. Dia tidak memakai seragam sekolah gue dan bajunya sangat lusuh dan kotor. Rambutnya acak-acakan. Benar-benar tidak terurus.

"Haa???" Gue terkejut dengan kehadirannya, apalagi dengan pertanyaannya. Gue menaikkan alis tanda kebingungan dan berusaha mengenalinya.

"Kamu yang waktu itu ngelempar botol ke gue kan? Pas di perumahan." Cowok itu masih saja berdiri di samping gue. Sepertinya dia enggan untuk duduk di samping gue.

"Oiya, gue inget! Kok lo disini?"

"Iya, aku bantu-bantu di kantin sini buat nambah penghasilan ayah."

"Sini duduk. Gue pesenin lo bakso." Gue berdiri dari tempat duduk kantin dan berjalan menuju gerobak bakso.

"Jadi, ayah lo kerja disini?" Tanya gue heran.

"Enggak. Kami berdua bekerja sebagai tukang kebun di perumahanmu. Bedanya, setelah itu ayah menjadi supir angkot, sedangkan aku bekerja di kantin sekolah ini. Bantu bersih-bersih."

Anak itu terlihat dengan lahap memakan bakso yang gue pesenin. Udah berapa lama dia gak makan bakso? Melihatnya makan aja gue udah ikutan bahagia. "Btw, kita belum kenalan. Nama gue Jovi." Gue mengulurkan tangan.

"Ah iya maaf, aku sampe lupa. Namaku Alfi. Sebenernya tadi mau bilang 'makasih' buat minuman yang udah kamu lempar kemarin."

"Iya, lo terlalu sibuk menyantap bakso sampe lupa gue di sebelah lo. Hahaha" Gue tertawa melihat ekspresi Alfi yang ketika itu merasa serba bersalah.

Hari itu kita ngobrol banyak sekali. Gue tanya tentang dia dan keluarganya, dari mulai tanya alamat rumahnya, kehidupan dia, banyak sekali.

Alfi putus sekolah semenjak lulus SD. Dia lebih memilih membantu ayahnya untuk bekerja, tapi dia selalu meluangkan waktu untuk datang ke perpustakaan sekolah gue untuk baca buku.

"Makasih ya buat makanan hari ini. Aku minta maaf belum bisa mengembalikan botol minummu. Besok aku akan mengembalikannya di rumahmu." Kata Alfi. Dia mulai beranjak berdiri. Sepertinya dia sudah mau pergi.

"Santai saja. Pokoknya pas lo balikin botol harus ketemu gue. Gak boleh di titipin." Perintah gue.

"Siap, laksanakan!!!" Alfi mengangkat tangannya dan meletakkannya di kening berpose hormat. Gue sampe malu. Gue melambaikan tangan sembari melihat bayangannya yang mulai kabur menghilang di area kantin.

Alfi, the first who I talk to. Temen pertama gue di sekolah ini dan di Jakarta.

Awalnya gue kira hidup di Jakarta begitu membosankan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Awalnya gue kira hidup di Jakarta begitu membosankan. Semuanya individual, sampai budaya saling menyapa saja menjadi mahal. Menyapa yang seharusnya menjadi sebuah bentuk kebudayaan dan keramahan secara tulus menjadi bermakna lain, yaitu antara mau minta naik pangkat atau mau minta saham.

Love Is Complicated [Completed]Where stories live. Discover now