Bab 27 - Beban

1.7K 172 310
                                    

27
~Beban~

"Karena jika beban hidup diibaratkan batu besar, kita akan kesulitan dan keberatan jika terus membawanya. Jadi, kita perlu menaruhnya sejenak. Menyimpannya. Beristirahat, untuk kembali mencoba menghancurkan batu itu."

🗻🗻🗻

Pagi-pagi sekali, Arkan sudah bergegas. Ia cepat-cepat menuruni tangga dengan perasaan senang. Subuh tadi, ia mendapat kabar kalau Nayya sudah siuman.

"Kamu mau ke mana?" tanya abi-nya menghentikan langkah Arkan.

Pria itu terdiam. Umi dan adiknya juga ada di sana. Ikut menatapnya heran. Bagaimana tidak? Pukul enam saja belum.

"Ngg ... Nayya sudah siuman," jawab Arkan.

Arham tertawa. "Jawaban kamu nggak relevan sama pertanyaan abi."

Arkan menggaruk tengkuk. "Iya ... maksudnya ini mau ke rumah sakit."

"Sepagi ini? Mau pergi sendiri? Nggak bareng abi sama umi?" Kali ini umi-nya yang berbicara. Nampak menggoda anak sulung mereka.

Arkan jadi gelagapan. Benar juga, mungkin di sana ia menahan malu karena datang di pagi buta seperti ini. Dan Nayya pasti akan meledeknya. Dan datang sendiri...? Baiklah, sepertinya ia harus mengalah. Lebih baik datang bersama keluarganya. Tapi ia ingin segera menemuinya. Arkan menghela napas.

Baiklah, bersabar dulu. Batinnya.

Arkan pun ikut bergabung bersama kekuarganya. Disambut kekehan dan gelengan kepala dari kedua orang tuanya.

***

"Papa nggak kerja?" tanya Nayya yang masih terbaring di ranjang. Di wajahnya masih banyak luka lebam, dengan perban di kepala akibat luka di pelipis.

"Sudah papa wakilkan. Lagian, bagaimana bisa papa bekerja sementara putri kesayangan papa tidur manis di rumah sakit? Yang ada papa nggak fokus karena kepikiran terus."

Nayya berdesis. "Dasar papa tukang gombal."

Alfi tertawa lalu berubah sendu. Mengusap kepala Nayya yang terhalang hijab. "Maafin papa ya, Sayang...."

"Jangan minta maaf terus deh," renggut Nayya.

Alfi menggenggam tangannya. Mengecupnya penuh kasih sayang. "Maaf karena papa nggak bisa selalu jagain kamu."

"Pa ... Nayya udah dewasa, Papa nggak harus selalu jagain Nayya. Maaf, Nayya yang ceroboh...."

Afanin ikut mengelus pundak suaminya. "Nayya benar. Kita kan tidak tahun kapan datangnya musibah."

Alfi mengangguk. Nayya tersenyum melihat keduanya. Lalu ia teringat sesuatu. "Ma, Pa, boleh Nayya minta sesuatu?"

"Apa, Sayang? Katakan saja," tukas Alfi.

"Nayya minta, jangan ada rahasia apa pun di antara kita. Jangan ada yang disembunyikan lagi dari Nayya. Selama ini kalian semua selalu seperti itu..., berusaha melindungiku dengan menyembunyikan kenyataan. Aku tidak mau, aku ingin tahu semuanya. Nayya bukan anak kecil lagi, jadi Nayya mohon apa pun itu, jangan sembunyikan apa pun lagi."

Alfi dan Afanin terdiam. Lalu mereka tersenyum hambar. "Papa mengerti, kami minta maaf," ucap Alfi. Dan saat itulah Arkan datang bersama keluarganya. Mereka disambut hangat. Saling bercengkrama dan menyanyakan keadaan Nayya.

"Dokter bilang, keadaannya sudah mulai stabil. Jadi tidak apa-apa meskipun banyak orang di sini. Anak gadisku kan hebat," ujar Alfi.

Nayya berdecih pelan. Sementara yang lain tertawa. Nayya bersyukur memiliki keluarga dan kerabat yang begitu peduli padanya. Hatinya menghangat. Lalu ia menoleh pada Arkan yang sedari tadi hanya diam.

Not A Love (Completed)Where stories live. Discover now