Mozaik 16

1.2K 94 4
                                    

Ini adalah hari kamis. Masih ada waktu empat hari sebelum liburan akhir musim panasku berakhir. Waktu baru menunjukkan pukul 06.00 saat aku turun ke lantai satu. Mendapati kakakku yang tengah bersiap untuk berangkat kerja.

“Kak, boleh aku ikut bersamamu ke Vereyon?” tanyaku.

“Memang kau mau ke mana?”

“Desa Nekala. Ada hal penting yang harus kulakukan,” kataku pelan.

Dia tak menanyaiku lagi. Sepertinya dia paham maksudnya.

“Kalau begitu cepatlah siap-siap.”

Aku tak lupa memakai arloji itu. Aku harap itu dapat memberi kekuatan padaku.

“Bu, aku pergi dulu,” kataku.

Sekarang Ibu sudah tidak terlalu mengkhawatirkanku. Ekspresinya biasa-biasa saja saat aku bilang akan pergi ke desa itu lagi.

“Maaf, Dane! Aku hanya bisa mengantarmu sampai sini,” kata Ronny saat kami tiba di persimpangan jalan antara desa Nekala dan desa Nekasan—desa Teny.

“Tidak apa-apa. Aku bisa jalan kaki.”

“Kalau begitu aku pergi. Aku sudah telat,” balasnya.

Aku mengangguk.

Jarak yang harus aku tempuh 1,5 km untuk mencapai desa dengan jalan kaki. Segera saja aku menuju rumah Shanty begitu aku sampai.

“Nek, mana Shanty?” tanyaku saat neneknya menyapaku.

“Dia di belakang.”

Perlahan aku berjalan ke belakang rumah. Terdengar gedebukan mirip seseorang yang sedang memukul-mukul sesuatu.

Aku melihatnya di sana.

Shanty sedang latihan tinju dengan batang-batang pohon pisang yang ditancapkannya pada bilahan bambu. Banyak batang pisang yang amburadul. Dia pasti berlatih keras.

“Hei, Shan!” sapaku.

“Dane, dengan siapa kau ke sini?” tanyanya selagi mencecar batang pohon pisang itu.

“Sendiri,” jawabku. “Jadi, kapan kita berangkat?”

Dia menghentikan latihannya.

“Tunggulah aku di rumah. Aku mau pergi mandi dulu.”

Dia keluar dari balik tirai. Tampak lebih cantik dibanding saat pertama kali aku melihatnya. Rambut hitam panjangnya tersisir rapi ke belakang. Dia memakai baju pink dengan celana pensil sebetis biru muda yang tampak cocok dengannya. Penampilannya kali ini tidak memperlihatkan bahwa dia adalah gadis desa, melainkan gadis kota yang tengah berlibur di kampung orang.

“Apa yang kau lihat? Ayo kita berangkat!” katanya.

“Memangnya di mana rumah kakekmu, Shan?” tanyaku di perjalanan.

“Aku tidak tahu. Tapi kalau rumah pamanku tak jauh dari desa Nekasan,” jawabnya.
“Aku tak paham dengan apa yang nenekku katakan. Kenapa dia bilang kalau pamanku itu adalah kakekku?”

“Memang kenapa?”

“Dari segi usia saja itu mustahil. Kalau ibuku masih hidup saat ini pasti umurnya 36. Sedangkan pamanku, setahuku umurnya baru 26. Bila dia adalah kakekku, berarti ibuku sudah lahir sebelum kakekku lahir.”

Perjalanan kami sangatlah jauh. Tapi aku tak melihat Shanty kelelahan. Mungkin karena dia sudah terbiasa naik turun gunung begini.

Dari kejauhan, aku sudah melihatnya. Hanya ada satu rumah di sana. Di antara pepohonan pinus. Bentuk rumahnya mengingatkanku sesuatu. Rumah berbentuk tabung dari susunan batu alam dengan sebuah jendela di samping pintunya.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Where stories live. Discover now