Mozaik 15

642 77 10
                                    

"Nek, memangnya di mana rumah Kakek?" tanya Shanty.

"Kau selalu menemuinya. Parmoun, sebenarnya dia bukanlah pamanmu. Dia adalah kakekmu."

"Paman adalah Kakek? Itu tidak mungkin!"

"Sebaiknya kau tanyakan sendiri padanya. Dia akan menjelaskan semuanya padamu."

Waktu menunjukkan pukul 15.00.

"Shan, sebaiknya besok saja kita ke rumah kakekmu itu. Hari sudah sore, kami takut pulang kemalaman," kataku.

"Ya, baiklah."

"Ian, besok biar aku saja yang pergi sendirian," kataku di perjalanan pulang.

"Kenapa?" heran Ian.

"Besok kan kau harus kerja. Bolak-balik ke Vereyon ini pasti bakalan melelahkan," jawabku.

"Dane, sudah aku bilang, kau jangan merasa—"

"Itulah sebabnya! Kau terlalu baik padaku. Kenapa kau selalu ingin membantuku?"

Dia menghentikan motornya. Terdiam sejenak seolah hendak merespon pertanyaanku. Tapi sepertinya dia mengurungkan niat dan malah berkata,"Sebaiknya kau pegang erat pinggangku. Aku akan menambah kecepatan."

Kami tiba di depan pintu rumahku.

"Baiklah, Dane. Aku mungkin tak akan bisa membantumu besok. Tapi kau harus memberitahuku bila terjadi sesuatu," kata Ian.

Aku mengangguk. "Tentu saja."

Dan dia pun melaju pergi.

Di halaman tampak motor Ronny terparkir. Di ruang keluarga aku lihat dia dan istrinya sedang mengobrol dengan Ibu.

"Eh! Dane, kau dari mana?" tanya Ronny.

Aku hanya tersenyum. Tak menanggapinya dan langsung naik ke kamarku.

Aku duduk di depan meja belajar. Aku lepas arlojiku dan menaruhnya kembali ke dalam kotak, sementara kalungnya tetap aku kenakan.

Berulang kali aku amati tulisan dalam surat itu tapi aku tetap tidak tahu apa maksudnya.

Seseorang mengetuk pintu kamarku sekali sebelum dibukanya tanpa permisi.

"Boleh aku masuk?" tanya Ronny dari balik pintu.

Aku mengangguk.

"Kau sedang apa?" tanyanya melihatku memegangi kotak kayu itu.

Aku tersenyum tipis. Tidak tahu harus berkata apa. Kehadiran kakakku yang tak biasa ini membuatku grogi.

Dia menjatuhkan tubuhnya di kasurku seraya mengembuskan napas lega.

"Sudah lama ya, kita tidak berduaan seperti ini."

Aneh sekali. Apa maksudnya dia berkata begitu?

"Dulu, ini adalah kamar kita. Ibu selalu menyuruhku menemanimu saat tidur karena kau kerap ketakutan waktu malam tiba," katanya. "Walaupun sebenarnya aku tidak mau," imbuhnya terkekeh.

"Sejak kau diadopsi saat aku berumur empat tahun, aku sangat benci padamu. Bisa-bisanya Ibu mengadopsi anak asing. Ibu selalu perhatian padamu lebih dari apa pun juga. Dia bahkan meninggalkan karirnya sebagai seorang komposer hanya untuk mengurusmu. Kau membuatku iri. Kau selalu dimanja oleh Ibu. Dilebih-lebihkan dalam segala hal," ujarnya.

Matanya tak menatapku. Malah mengamati noda di langit-langit kamarku yang bercat biru.

"Tapi aku menyadari sesuatu. Aku sudah menjadi seorang kakak. Walaupun kau bukanlah adik kandungku, tetap saja kau adalah adikku yang selama ini aku kenal. Dan aku adalah kakakmu. Seiring dengan berjalannya waktu aku mulai menerima kehadiranmu. Meski terkadang kau masih membuatku cemburu dan kesal," katanya seraya melirikku. "Ingat tidak, dulu kita sering bertengkar?"

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang