Mozaik 18

1.2K 97 2
                                    

Siman, Iza, Khyun, Ricky, Rhinna, dan Winny menaiki mobil yang dibawa Sudra.

Kakakku bersama Teny.

Aku sendiri ikut dengan Ian.

Kami pergi ke desa itu dari pagi buta agar jam 7 pagi kami sudah tiba.

"Shanty!" panggilku sambil mengetuk pintu rumahnya.

"Kalian mencari Shanty?" sahut seorang wanita bertanya dari sebuah rumah tak jauh dari rumah Shanty.

"Iya, Bu! Di mana dia?!"

"Dia dan neneknya berada di Tablestone."

Kami pergi menuju hutan hitam.

Pagi itu begitu dingin, matahari belum menampakan dirinya dan kabut tebal masih menyelimuti sebagian hutan yang kali ini tidak berwarna hitam.

Kami melihat mereka di atas bukit batu.

"Shanty!" panggilku.

"Oh! Hei, Dane! Kemarilah!"

"Duduklah. Aku ingin bicara pada kalian," kata Sindia saat kami tiba di atas Tablestone. "Sekali lagi aku katakan bahwa Sandekala adalah iblis yang mudah dikalahkan. Hanya dengan sebuah sayatan kecil mengenainya dari benda tajam yang terbuat dari logam kemenangan, maka makhluk itu akan musnah seketika. Tapi masalahnya, adalah jumlah mereka dan ketahanan stamina kalian. Kelelahan adalah masalah yang sering dihadapi para pahlawan terdahulu sehingga mereka semua mati dengan mudah.

"Aku di sini akan membimbing kalian latihan. Agar kalian tidak mudah kelelahan dan tidak mati sewaktu bertarung melawan mereka."

"Lalu, di mana senjata yang akan kami gunakan itu?" tanya Siman.

Shanty membuka peti yang berada di sampingnya.

"Ini dia!" katanya. "Pilihlah senjata kalian!"

Aku melihat Siman mengambil MEG.

Sudra mengambil CLEG.

Rhinna BENA.

Khyun SASHI.

Winny CREMK.

Iza SHAG.

Ricky DESPI.

Ronny mengambil LOKA.

Sedangkan Teny mengambil SANTAS sebagai senjatanya.

"Ian, Dane, ini senjata kalian!" kata Shanty memberikan senjata itu pada kami.

"Wow! Senjata ini berat-berat!" kata Siman saat dia mencoba memegangi senjata-senjata lainnya.

"Untuk itulah kalian harus latihan dari sekarang," ucap Sindia. "Aku akan tentukan pola latihan kalian. Dan latihan akan dimulai hari ini. Untuk latihan pertama kalian, pergilah dan carilah sebuah pohon kemudian empaskan senjata kalian pada pohon yang kalian pilih. Anggap saja pohon itu adalah Sandekala. Bahkan kalau bisa—bagi kalian pemegang senjata pedang—cobalah tumbangkan pohon itu. Selain untuk menguasai senjata berat kalian, hal ini juga dimaksudkan agar fisik kalian kuat. Terutama bagian lengan. Buatlah senjata-senjata itu terasa ringan di tangan!" ujarnya.

Mentari perlahan menyilaukan mata. Menerangi hampir seluruh bagian hutan hitam saat kami mulai latihan menebaskan senjata kami masing-masing pada sebatang pohon yang kami pilih.

Iza berlatih di dekatku. Aku melihatnya keberatan menanggung pedang sepanjang 70 cm itu. Tapi kulihat dia tetap semangat walaupun keringat membasahi wajahnya yang imut.

Di sudut lain kudengar teriakan Shanty yang menggema. Dengan sekuat tenaga dia terus menebaskan EDOE-nya pada pohon nangka di hadapannya. Gayanya sudah seperti ahli pedang dari Jepang saja.

Kulihat pula Khyun, Winny, Ricky, Teny, dan Sudra berlatih pada pohon pisang karena senjatanya tak memungkinkan untuk berlatih pada pohon dengan lapisan keras.

Aku meneruskan latihanku. Walaupun sebenarnya aku sendiri mulai lemas untuk mengangkat senjataku ini. Tapi, ketika melihat kegigihan Shanty, semangatku kembali bergejolak. Hal itu juga dirasakan oleh seluruh saudaraku.

Mereka semakin bersemangat berlatih.

Beberapa jam telah berlalu, kami memutuskan untuk istirahat.

"Shanty, apa kau tidak kelelahan?" tanya Ian melihatnya masih latihan. "Sebaiknya kau istirahat!"

"Tanggung. Lagi pula sebentar lagi aku akan ...," dia menebaskan senjatanya semakin cepat dan kuat hingga akhirnya pohon itu berkertak dan tumbang.

"Ah ... akhirnya ...," ucapnya mengembuskan napas lega seraya membaringkan diri di tanah.

"Hebat sekali kau, Shanty!" puji Siman.

"Dane, aku mau tanya sesuatu. Lubang apa ini?" tanya Iza menunjukkan lubang di SHAG-nya.

Kalau dilihat baik-baik, itu seperti laras pistol.

"Mungkinkah ini?" pikirku.

Aku langsung meraba-raba pegangan pedang itu. Ada tombol kecil di dekat pemantiknya. Aku tekan tombol itu dan ternyata benar ada tempat peluru di sana. Tempat peluru seperti pada jenis revolver.

"Pedang ini bisa digunakan sebagai senjata api!" kataku. "Andai saja pelurunya ada."

"Tidak apa-apa. Dengan pedang tajam ini pun aku pasti bisa bertahan lebih lama saat berperang melawan makhluk-makhluk itu," ujar Iza tersenyum.

"Aku mau latihan lagi, kalau kau masih lelah sebaiknya istirahat dulu," kataku.

"Tidak. Aku sudah tidak capek lagi. Ayo kita latihan sama-sama!"

"Dane, ayo kita balapan menumbangkan pohon!" ajak Siman.

"Tentu. Ayo!"

Aku angkat CLAS-ku. Dan dengan cepat aku empaskan pedangku pada sebuah pohon di depan.

Kulihat Siman melakukan hal serupa. MEG-nya yang sedikit lebih besar dari golok itu dapat digenggamnya dengan mudah dan tentu saja beratnya jauh dari senjataku sehingga membuatnya tidak mudah kelelahan.

Iza yang berada di sampingku tak mau kalah. Dia sekuat tenaga mengimbangiku. Biasanya aku melihat sosok Iza sebagai gadis kaya manja dan tak menyukai pekerjaan yang menguras tenaga. Tapi kali ini aku melihatnya berbeda, dia seperti seorang pejuang. Walau keringat mengucur membasahi tubuhnya, dia tampak bersemangat.

"Apa yang kau lihat, Dane?" tanyanya. "Lihatlah! Siman sudah hampir menumbangkan pohonnya!" sahutnya terengah-engah.

Aku segera melanjutkan. Lebih cepat mengempaskan pedangku pada batang pohon itu.

Yang lainnya juga semakin semangat berlatih.

Tiba-tiba aku dengar sebuah pohon cemara tumbang di belakangku.

Aku lihat Ian di sana.

Berpeluh keringat.

Senyumnya tampak cerah di sela-sela napasnya.

"Yeah! Hore! Sudah aku bilang aku dulu yang menumbangkan pohon pisangnya!" sergah Khyun pada adiknya.

"Ah! Kau curang! Itu kan pohonku yang hampir tumbang!" balas Ricky.

Dua buah pohon pisang terdengar tumbang dari arah barat. Sudra dan Teny telah berdiri di sana. Pohon yang mereka tumbangkan sudah tercabik-cabik tak keruan oleh senjata yang mereka gunakan. Disusul sebuah pohon pisang lagi yang ditumbangkan oleh Winny.

Beberapa lama kemudian, Rhinna dan Ronny berhasil menumbangkan pohon mereka.

Hanya tinggal aku, Iza dan Siman yang belum berhasil menumbangkan pohon kami masing-masing. Tapi tak lama kemudian pohon Siman tumbang menimpa pohonku yang nyaris tumbang dan membuat pohonku ikut tumbang bersamanya.

***

Hari sudah sore.

Aku lihat langit di hutan mulai gelap. Sepertinya akan hujan.

"Teman-teman, sebaiknya kita akhiri saja latihan kali ini!" sahutku.

Sebelum aku menyusul mereka yang tengah berjalan ke desa, sekali lagi aku menoleh ke belakang.

Aku lihat satu-satunya pohon yang berdiri adalah pohon pinus Iza. Dengan batang yang tertebas setengahnya.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Where stories live. Discover now