Mozaik 19

1.3K 89 4
                                    

Dalam ruangan itu dia menyekapku.

Tubuhku diikat pada kursi.

Diriku didudukkan di bawah lampu pijar yang amat terang cahayanya.

Tapi, terangnya cahaya itu tak mampu menembus bayang-bayang hitam yang berdiri di sekeliling ruangan.

Aku tak mampu bergerak.

Bahkan untuk bicara pun aku tak sanggup.

Aku hanya bisa memandang kosong ke depan.

Aku tak bisa menolehkan kepala ataupun mengedipkan mata.

Semua tubuhku lumpuh, kaku tak berdaya.

Di saat itu dia mendekatiku.

Memperlihatkan sabitnya jelas-jelas.

Embusan napas berwarna kebiruan menyeruak dari balik tudungnya menerpa wajahku.

Dalam situasi ini aku tak merasakan takut lagi. Seluruh ketakutanku telah terkuras habis selama beberapa minggu terakhir hanya olehnya. Kini, aku merasa marah pada makhluk yang haus akan jiwaku itu.

Kenapa dia menginginkan aku?

Padahal banyak anak-anak lain yang lebih mudah diambil jiwanya olehnya. Tapi kenapa dia tetap menginginkanku?

Menunggu selama 16 tahun demi mengambil jiwaku.

"Danny, bangun!" panggil Ibu. "Hari ini kan masuk sekolah. Nanti kau terlambat, lagi!"

"Baik, Bu!" kataku.

Sepertinya seluruh badanku remuk. Tubuhku sakit dan pegal-pegal. Aku tak sanggup untuk beranjak dari tempat tidurku sendiri.

"Danny, kau kenapa?"

"Badanku sakit, Bu!" kataku lemas.

"Memangnya apa yang kau lakukan di sana kemarin?"

Aku tak mungkin memberitahu Ibu yang sebenarnya. Aku takut dia khawatir walaupun sudah sangat terlihat jelas ekspresi itu terpampang di wajahnya.

Aku tetap diam.

"Kalau kau sakit, sebaiknya kau istirahat saja," katanya keluar dari kamarku tanpa menginterogasiku lebih jauh.

Aku tak sadar telah tidur selama 10 jam sejak aku bangun tadi pagi. Yang membuatku terkejut, Ian, telah berada di kamarku saat aku membuka mata.

"Wah! Wah! Wah! Kau ini bagaimana, Dane!" sindirnya. "Kalau dalam sebuah film, kau ini adalah tokoh utama. Tapi, masa sudah kalah sebelum perang?"

Aku tersenyum malu..

Aku yang meminta mereka melakukan ini tapi kenapa aku ...

"Kau sudah baikan?" tanya Ian.

Aku hanya mengangguk.

"Apa yang lain baik-baik saja?"

"Mereka sehat-sehat saja," jawabnya. "Apa latihan kemarin terlalu berat untukmu?"

Aku tak bisa berkata apa-apa.

Mendadak Ronny masuk ke kamar.

"Kak, masih cuti setengah hari?" tanyaku.

"Iya, Dane. Sampai minggu depan," jawabnya. "Minggu depan kami akan pindah ke Vereyon," imbuhnya seraya berjalan menghampiri dan duduk di samping kami.

Aku tak terkejut sebab beberapa hari lalu aku mendengar percakapan mereka dengan Ibu soal pembelian rumah baru itu.

"Dane, mungkin ... sebaiknya kau tinggal dengan Ian," kata Ronny menyarankan.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang