Prolog

14.9K 867 22
                                    

KATANYA kalau terus-menerus menangisi seseorang yang sudah meninggal itu hanya akan menghambat perjalanannya kembali ke sisi Tuhan. Tidak peduli seberapa besar rasa kehilangan itu, kenyataannya yang pergi tidak akan pernah kembali dan yang ditinggalkan tetap harus melanjutkan hidup.

Terkadang Fania ingin membenci hidupnya sendiri, hingga ia menyesal kenapa harus dilahirkan ke dunia jika hanya untuk menjalani kehidupan seperti ini. Ia sadar hanya manusia biasa, tidak mungkin melawan takdir yang sudah digariskan. Sebesar ia merelakan kepergian seseorang yang pernah melahirkannya, tak sedikit pula kemarahan yang lantas menimbulkan perasaan hancur di hatinya.

Bagaimana bisa? Bagaimana bisa selama ini ia tidak pernah tahu kalau ibunya begitu menderita karena penyakit itu? Apakah karena ibunya sangat pandai—atau bahkan terlalu pandai—menyembunyikan penyakit yang pada akhirnya merenggut nyawanya itu?

Apa pun alasannya, yang jelas Fania merasa seperti dibiarkan menjadi orang bodoh. Tidak tahu apa-apa. Tidak berguna.

Ia seharusnya tahu, tentu saja. Setidaknya jika ia tidak berhenti mencurigai obat-obatan itu. Obat-obatan yang terlalu biasa untuk dikonsumsi orang dengan keluhan anemia biasa.

Hei, ia mahasiswi Fakultas Kedokteran. Cita-citanya menjadi dokter. Cita-cita yang paling gemar disebutkan anak kecil ketika dengan kepolosannya hanya berbekal kekaguman pada sosok pembawa stetoskop berjas putih itu.

Dan berawal dari kekaguman itu, Fania kecil tumbuh dewasa dengan membawa keyakinan bahwa dirinya harus belajar keras agar kelak dapat menerapkan semua disiplin ilmu kedokteran. Membuat kedua orang tuanya bangga ketika pada waktunya nanti ia bisa menjadi dokter yang berguna untuk semua orang.

Namun, setelah Fania cukup berjuang sejauh ini, ia tak pernah menyangka kalau ibunya sebagai orang pertama yang selalu mendukung penuh cita-cita mulia itu justru tega membohonginya. Menyimpan sendiri rasa sakit itu, hingga Fania dulu menyesal telah memercayai ibunya saat mengatakan obat-obat yang dikonsumsinya hanyalah obat anemia biasa. Memercayai ibunya baik-baik saja.

Kenapa ibunya harus berbohong? Sungguh, Fania putri kandungnya sendiri. Haruskah ibunya merahasiakan penyakit seserius itu pada Fania? Supaya apa? Supaya Fania menjadi satu-satunya pecundang yang seolah tidak becus mendampingi dan merawat ibunya, sementara semua orang tahu ibunya tengah menghadapi penderitaan mengerikan karena penyakit itu?

"Sebenarnya mamamu sendiri yang sengaja melarang siapa pun, termasuk papa untuk memberitahukan riwayat penyakitnya padamu. Mamamu hanya tidak ingin membuatmu bersedih, Fania."

Fania meringis mengulang penjelasan ayahnya di hari pemakaman ibunya.

Coba ulangi sekali lagi. Tidak ingin membuat Fania bersedih?

Alasan macam apa itu kalau kenyataannya sekarang Fania bukan saja bersedih, melainkan juga terluka? Sangat terluka. Termasuk kekecewaan yang tak terbendung saat ia menganggap ayahnya justru ikut bersekongkol menutupi penyakit ibunya.

Tidak bisa diterima. Fania kecewa sekali pada ayahnya. Fania membenci ayahnya.

Tunggu, mungkin Fania bisa saja berdamai dengan ayahnya setelah ia merasa tenang dan dapat mengerti posisi ayahnya pasti juga sulit saat itu. Bagaimanapun ayahnya sudah berjuang keras mengupayakan pengobatan terbaik untuk ibu Fania selama di Jepang. Jelas tidak sedikit waktu dan biaya yang dikeluarkan, mengingat selama kurang lebih dua tahun ini pun ayahnya harus menyimpan rahasia kondisi ibu Fania seorang diri.

Berkali-kali Fania mencoba memaklumi kalau sebagai orang tua, mereka hanya tidak ingin ikut menambah beban pikirannya. Mereka hanya berharap Fania cukup berkonsentrasi saja dengan kuliahnya.

Ya, Fania dapat mengerti. Sungguh dapat mengerti kalau saja rasa pengertiannya tidak telanjur lenyap ketika ia harus tersendat kembali oleh kabar tak kalah buruk yang disampaikan ayahnya.

Seolah petir menyambar di siang bolong, seolah dunia berhenti berputar tepat setelah ayahnya mengucapkan keputusan itu secara langsung di hadapannya. Lalu segalanya berubah buruk bagi Fania yang semakin berselimut dengan kemarahan, frustrasi, ketidakberdayaan, dan kenyataan baru yang menegaskan bahwa ia semakin membenci ayahnya.

"... dia seorang wanita yang papa cintai. Papa akan menikahinya."

HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang