32. Menyerahkan Keputusan

3.8K 311 20
                                    

FANIA berpisah dengan Libra di pintu depan lobi rumah sakit setelah ia berjanji insya Allah akan mentraktirnya di kafetaria besok sebagai balas jasa karena sudah membantu tugasnya. Ia berjalan menuju parkiran mobilnya seraya membuka kunci hingga terdengar bunyi 'bip' dua kali. Baru saja ia menolak ajakan Adel, Winda, dan Elsa jalan-jalan ke mal dengan alasan ingin langsung pulang ke rumah karena kepalanya pusing.

Sampai di rumah, gadis berhijab rawis saudia itu memarkirkan SUV merahnya di depan garasi. Ia meniti satu per satu undakan teras rumahnya dengan langkah gontai. Dibukanya pintu jati berdaun ganda itu ketika sejurus kemudian ia turut mendapati seorang pria tengah duduk membelakanginya di sofa ruang tamu bergaya victoria.

Fania masih mematung di ambang pintu hingga pria berjas abu-abu itu menolehnya dan berdiri setelah mematikan gawai pintar yang sempat digunakannya mengecek beberapa data selagi menunggu Fania pulang. Seketika itu juga mata Fania membelalak lebar.

"Pa ... Papa?!"

"Kamu sudah pulang?" kata Arman datar.

Masih dengan wajah heran bercampur kaget, Fania belum bisa memercayai ayahnya sudah kembali dari Jepang. "Papa kapan pulang?" tanyanya pelan.

Arman memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan menatap Fania dengan senyum hangat yang tidak pernah diperlihatkannya semenjak ia terlalu sering berdebat dengan putrinya itu.

"Papa baru saja tiba," sahut Arman. "Kenapa kamu cuma berdiri di situ? Kamu tidak kangen papa dan kasih papa sebuah pelukan?"

Masih di ambang pintu, Fania melihat ayahnya merentangkan kedua tangannya ke samping, bersiap menerima pelukan jika Fania mau melakukannya. Namun, Fania hanya memalingkan perhatiannya. Jujur saja ia merindukan ayahnya. Ia ingin memeluk ayahnya. Sebuah hal sederhana yang bahkan ia lupa kapan terakhir kali ia melakukannya.

"Selamat datang kembali ke rumah, Pa. Fania senang Papa udah pulang. Tapi, maaf, Fania capek. Fania mau ke kamar dulu."

"Tunggu, Fania. Papa ingin bicara sebentar."

Fania berhenti dan kembali menghadap papanya. "Kalau ini tentang Bintang, seperti yang Papa lihat, dia udah nggak tinggal di rumah kita. Terserah kalau Papa mau menyalahkan Fania dan menganggap Fania yang menyebabkannya pergi."

Sepersekian detik, Fania belum mendengar ayahnya membalas perkataan itu. Ayahnya masih berdiri menatapnya, tetapi Fania tidak menemukan jejak-jejak kemarahan di wajah ayahnya, kecuali kehangatan senyum yang masih sama sejak ayahnya berharap mendapat pelukan dari Fania.

Fania memicingkan mata. Tadinya ia mengira ayahnya akan marah dan membela 'anak kesayangannya' itu.

"Begitu, ya. Jadi kamu tetap tidak bisa?" gumam Arman. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. "Baiklah, kita batalkan saja."

"Apa?" Fania memiringkan kepala tidak mengerti.

"Pernikahan papa dan Tante Alda ... papa akan membatalkannya. Sesuai perjanjian kita, kalau sampai papa kembali dari Jepang dan kamu tetap tidak bisa menerima Tante Alda dan Bintang, maka papa sendiri yang akan membatalkan rencana pernikahan itu. Begitu kan yang kamu inginkan?"

Fania terperangah tidak percaya. Ayahnya akan membatalkan rencana pernikahan itu? Ya, Fania masih mengira hal itu adalah keinginan terbesarnya. Namun, ia tidak mengerti kenapa setelah mendengar keputusan itu langsung dari ayahnya, hatinya merasa tidak bahagia. Apa yang salah dengan dirinya sekarang ini?

"Papa serius?" Ragu-ragu, Fania melontarkan pertanyaan itu.

"Papa bukan orang yang akan mengingkari janji. Papa dan Tante Alda sudah membahas ini. Terlalu egois jika kami menuntut kebahagiaan kami sendiri, sementara kamu tidak bahagia karena keputusan papa."

HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang