2. Gadis Manis Bermulut Pedas

12.3K 752 79
                                    

"IYA, PA, aku udah sampai di rumah. Tentu aja aku suka rumah Papa, apalagi aku juga udah disiapin kamar yang nyaman banget. Makasih ya, Pa." Bintang berdiri di depan jendela tinggi dan meraba teralis yang membingkainya dengan ujung-ujung jari tangan kiri. Sementara tangan kanannya masih memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga, menandakan ia sedang berbicara dengan seseorang di seberang sana.

Kamar yang ditempatinya memang terkesan nyaman, bersih, dan rapi. Tidak terlalu luas, tetapi juga tidak terlalu sempit dengan dominasi warna moccasin yang dipadukan wallpaper bermotif pattern di salah satu sisi dindingnya.

Kamar ini pun sudah dilengkapi kamar mandi dalam. Di tengah-tengah kamar terdapat tempat tidur king size yang diapit dua meja kabinet kecil di sisi kanan dan kiri. Sebuah lemari pakaian tiga pintu terletak di dekat pintu kamar mandi. Sementara di dekat jendela tinggi atau persis di depan tempat tidur terdapat sofa panjang untuk bersantai serta furnitur yang sudah lengkap dengan fasilitas televisi LED, home theatre, dan berbagai macam pajangan lainnya.

Dan karena kamar ini terletak di lantai bawah, di luar jendela tinggi yang menghadap langsung ke pekarangan samping rumah Keluarga Wirantama, dapat terlihat nuansa taman minimalis berhiaskan bunga-bunga mawar putih yang tampak terawat dengan baik.

"Baguslah kalau kamu suka. Papa harap kamu betah tinggal di sana." Suara berat Arman lebih terdengar seperti permintaan.

"Papa sama mama juga cepat balik ke Indonesia. Huh, belum apa-apa, tapi aku udah kangen gini sama kalian," keluh Bintang.

Arman terkikih. "Pasti, papa janji akan segera menyelesaikan semua urusan di sini, lalu membawa mamamu kembali ke Indonesia. Sebaiknya sekarang kamu simpan dulu rasa kangenmu itu sampai kita semua berkumpul bersama."

Bintang mendengkus, sementara Arman masih terkekeh. "Ya, asal jangan kelamaan aja. Bisa-bisa nanti rasa kangenku keburu menggunung terus meletus. Papa harus tanggung jawab itu lho, ya?" sungutnya membalas guyonan Arman.

Kali ini bukan suara terkikih lagi yang dikumandangkan Arman, melainkan ia sudah tergelak keras.

"Pa, aku harap aku bisa melihat pernikahan Papa sama mama. Aku cuma punya mama dan akan tenang kalau mama udah bahagia bersama Papa. Tolong jaga mama ya, Pa?"

Nada serius perkataan Bintang dapat dirasakan Arman. Ia berdeham untuk menjernihkan suaranya yang serak akibat banyak tertawa keras tadi. "Kamu tenang saja, Bintang. Papa sangat mencintai mamamu. Pasti akan papa lakukan apa saja untuk membuat mamamu bahagia. Kamu bisa pegang janji papa ini. Dan satu hal lagi, sekarang kamu juga sudah punya papa. Kamu sudah punya Fania. Kita akan bersatu menjadi sebuah keluarga."

Bintang tersenyum, walaupun Arman tidak mungkin melihatnya. Permintaan Bintang kepada Arman untuk menjaga ibunya memang tidak sebatas ia memercayai cinta pria itu semata. Sungguh, sejak lima bulan lalu berkenalan di Jepang, Bintang sudah mengagumi Arman yang kini dipanggilnya 'Papa' itu sebagai pria yang baik. Begitu berbeda dengan sosok asli ayah kandungnya sendiri.

Bintang yang masih berusia sepuluh tahun kala itu mungkin tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Atau mungkin sedikit mengerti sejauh yang bisa ditangkap penglihatan dan pendengaran anak usia sepuluh tahun ketika gelegar-gelegar adu mulut menjamah dalam bahasan bicara kedua orang tuanya.

Pertengkaran sengit. Hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi, bahkan untuk memercayai suara ayahnya akan sekeras itu. Ketahuan gila harta, ketahuan selingkuh, bukannya mengakui dosa, tetapi justru meremehkan sang istri yang begitu mudah diperdaya. Sejak saat itu, Bintang hanya tahu satu hal bahwa orang yang telah berani membuat ibunya bersedih berarti orang itu jahat.

HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang