18. Arza

5.9K 410 37
                                    

Shinagawa, Prefektur Tokyo, Jepang

Universitas Iwada

Seorang pemuda terlihat berjalan keluar dari ruang perpustakaan universitasnya. Sebelah tangannya masih menempelkan ponsel di telinga kanan. Pemuda itu lalu berhenti di depan jendela kaca lantai enam yang dilaluinya dan menyandarkan sikunya pada selusur besi pembatas jendela.

Jari telunjuknya yang bebas mengetuk-ngetuk selusur besi ketika menunggu sambungan teleponnya yang belum juga mendapat respons. Dicobanya sekali lagi menghubungi seseorang bernama Bintang dari daftar kontak ponselnya sembari menengok arloji di pergelangan tangan kiri. Pukul 9:10 JST. Berarti kalau di Indonesia masih sekitar pukul 7 pagi. Tidak mungkin Bintang belum bangun.

Semalam ia sudah mencoba menghubungi Bintang, tetapi tidak diangkat. Dan pagi ini pun teleponnya kembali tidak diangkat. Ada apa dengan temannya itu?

Memutuskan menyerah, pemuda itu menegakkan tubuhnya dan membenarkan tas punggungnya yang merosot.

"Arza-kun!"

Baru saja pemuda itu hendak berbalik ketika seseorang memanggil namanya. Ishizaki Kohei, teman satu kampusnya berlarian menghampirinya seperti orang ketinggalan bus.

"Yokatta!" kata Kohei sembari mengatur napasnya yang tersengal-sengal. "Kupikir kamu udah take off ke Indonesia sehabis pertandingan tenis."

"Jadwal keberangkatanku besok lusa."

Memang benar seharusnya ia sudah bisa kembali ke Indonesia bareng Bintang semingguan yang lalu. Namun, begitu mendengar kalau klub tenis kampusnya mau mengadakan pertandingan bersama para senior dan alumni untuk mengisi libur musim semi tahun ini, jadilah Arza tergoda mengikuti pertandingan tenis favoritnya itu. Toh, masih ada waktu untuk mengurus berkas-berkas transfernya ke Indonesia nanti.

Kohei mengangguk-anggukan kepalanya. "Naruhodo, senang mendengarnya."

Arza hanya tersenyum miring. Lalu seiring berjalan menuruni anak tangga, ia mulai iseng saja bertanya tentang liburan musim semi Kohei bersama keluarga besarnya di Osaka.

Gantian senyum Kohei yang langsung melebar hingga dari mulutnya sudah tidak sabar ingin meluncurkan cerita-ceritanya selama libur musim semi di Osaka.

Laki-laki Jepang berperawakan tinggi, kurus, serta berkacamata kotak itu mulai mengoceh tentang kegiatan liburan musim seminya sambil mengikuti ke mana pun Arza berjalan menyusuri koridor universitas mereka. Kohei memang asli keturunan Jepang, tepatnya berasal dari Kansai, Prefektur Osaka. Namun, ketika kecil Kohei dan keluarganya sempat menetap cukup lama di Bandung, sehingga tidak diragukan lagi selain ia fasih berbahasa Jepang dengan dialek Kansai juga menguasai bahasa Indonesia dengan logat Sunda.

"Oh ya, ojichan juga nanyain kamu sama Bintang. Tadinya ojichan pikir kalian bisa ikut ke Osaka kayak haru-yasumi kita tahun lalu."

"Omong-omong soal kakekmu, aku jadi ingat kakekku juga." Arza mendesah pelan ketika berhenti di depan lokernya yang berada di ruang ganti. Ia membuka pintu loker, menaruh ranselnya, lalu melepas jaket dan baju dalamnya untuk diganti dengan kaus olahraga.

"Daijoubu, setelah ini kamu juga akan segera ketemu kakekmu, kan?" sahut Kohei sambil menyikut lengan Arza. Sebentar kemudian, laki-laki itu menyandarkan bahu kirinya di pintu loker sebelah loker Arza dan melipat kedua tangannya di depan dada dengan ekspresi yang sudah berubah masam. "Yare-yare, setelah Bintang, sekarang kamu mau juga mau pindah."

Arza ingin tertawa melihat wajah Kohei yang memberengut. "Come on, Dude, stop with that face. Seharusnya kamu kasih aku hadiah perpisahan apa gitu," guraunya.

HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang