16. Kalut

7.3K 454 48
                                    

PARAMEDIS ambulans yang mengantarkan seorang pasien gawat darurat segera disambut tenaga medis Rumah Sakit ULD. Mereka sangat cekatan ketika mendorong brankar pasien itu memasuki ruang IGD. Seorang laki-laki ber-snelli yang turut berada di sana, segera berlari menyambut kabar kedatangan pasien dan ikut mendorong brankar.

Bintang telah dipindahkan dari brankar ambulans ke bed pasien. Dokter Yuven segera melakukan pemeriksaan fisik.

"Dek, apa kamu yang membawa pasien ini? Apa yang terjadi padanya?" berondong pertanyaan dari dokter residen bertubuh jangkung tersebut.

"Iya, Dokter Yuven. Pasien mengalami sinus takikardia," terang Fania.

"Vital sign bagaimana?"

"Tekanan darah 140/90 mmHg. Nadi 128 bpm. Respiratory rate takipnea. Pasien tiba-tiba syncope setelah mengalami angina pectoris."

Dokter Yuven membuka semua kancing kemeja yang dikenakan Bintang hingga mengekspos tubuh bagian atas pasiennya tersebut. Pasien riwayat penyakit jantung.

"Berikan enoxaparin 1 mg/kg SC dan pasangkan EKG," titah Dokter Yuven pada perawat di tempat.

"Dok, saya sempat melihatnya meminum obat ini." Fania mengangkat kepalanya. Matanya yang bergetar menatap Dokter Yuven dengan serius.

Dokter Yuven mencermati botol obat yang disodorkan Fania, lalu beralih menatap pasien yang tak sadarkan diri itu. Sejenak seolah menyadari sesuatu, residen yang juga memiliki bentuk mata sipit itu tampak terkesiap sebelum mengeluarkan ponselnya dan segera melakukan panggilan. "Profesor Juang, ada pasien penderita sinus takikardia yang saat ini sedang dilarikan ke IGD."

Sementara itu, Fania merasa dirinya tidak bisa bertindak sebagaimana biasanya ia membantu penanganan medis untuk pasien gawat darurat. Ia hanya berdiri terpaku di sisi ranjang, di balik para tim medis yang tengah sibuk melakukan upaya penyelamatan terhadap satu pasien mereka.

Kedua tangan gadis itu bergetar di samping tubuh. Matanya menatap nanar bedside monitor yang terus memantau tanda-tanda vital Bintang melalui kabel-kabel parameter elektroda yang dipasangkan di tubuhnya. Wajah Bintang pucat. Kedua matanya terpejam.

Perhatian Fania beralih pada dada Bintang. Bekas sayatan itu lagi. Lebih jelas. Sangat jelas. Bekas sayatan di dadanya itu menandakan bukan satu dua kali Bintang menjalani pembedahan. Sebenarnya laki-laki itu sakit apa? Benarkah dugaannya?

"Dek ...?"

Fania seperti tidak bisa mendengar suara-suara di sekitarnya. Begitu pun gerakan orang-orang di sekitarnya hanya bagaikan bayang-bayang kabur di mata kosong itu. Rasa dingin serasa menjalar ke sekujur tubuhnya. Ia seperti ditempatkan pada sebuah lorong pekat yang begitu mencekam dadanya.

"Dek ...?"

Kepala Fania bergidik. Matanya yang merah dan berair tidak mampu menatap Dokter Yuven ketika suaranya pun seperti tercekat untuk menjawab panggilan dokter residen itu.

"Kamu baik-baik saja?"

"M-maafkan saya," cicit Fania parau. Kakinya yang lemas perlahan mundur teratur sampai akhirnya gadis itu berlari keluar ruang IGD. Ia tidak sanggup lebih lama melihat Bintang yang terbaring lemah dengan semua alat-alat bantu medis di tubuhnya itu. Ia benar-benar tidak sanggup.

Kejadian ini ... laki-laki yang dibencinya... kenapa harus laki-laki itu?

Dokter Yuven tidak menahan kepergian Fania ketika dari arah Fania berlari keluar terlihat kedatangan seorang pria paruh baya dengan jas dokternya. Dokter Yuven dan timnya segera menyediakan ruang kepada Profesor Juang memeriksa pasien yang baru saja dilarikan ke IGD itu sambil menjelaskan kondisinya.

Fania terduduk lemas di kursi tunggu depan ruang IGD dengan pandangan kosong. Bintang masih di dalam sana dan Fania tidak tahu bagaimana kondisi laki-laki itu sekarang. Apa yang harus ia lakukan? Kalau sampai terjadi sesuatu pada Bintang, apa yang harus ia katakan nanti kepada ayahnya, terlebih Tante Alda?

"Namanya Bintang."

"Jadi benar pasien itu yang dirujuk Dokter Kawamura Hideki dari Jepang?"

Selintas terdengar percakapan antara Dokter Yuven bersama Profesor Juang yang baru saja keluar dari ruang IGD. Seketika Fania mendekati keduanya dengan langkah tergesa-gesa. "Permisi, Profesor Juang. Tadi saya mendengar pasien yang dirujuk dari Jepang. Apa pasien yang dimaksud itu adalah Bintang?" tanyanya ketika Profesor Juang usai memberikan perintah kepada Dokter Yuven yang segera dilaksanakannya.

Prof. dr. Juang Subrata, Sp.BTKV yang juga merupakan Kepala Departemen Bedah Toraks dan Kardiovaskular Rumah Sakit ULD itu menyipitkan mata ke arah gadis berwajah panik di hadapannya. Ah, ia masih mengingat gadis itu sebagai salah satu dokter muda yang pernah dibimbingnya saat rotasi klinik di stase bedah kardiotoraks. "Bukankah kamu dokter muda itu?"

Fania menganggukkan kepala. "Benar, saya Fania Wirantama. Bagaimana keadaan Bintang sekarang, Prof?"

"Jadi kamu mengenal putra ketua?" tanya Profesor Juang.

"Apa? Putra ketua?" gumam Fania tidak mengerti.

"Saya dengar dari Dokter Yuven kalau kamu yang membawa Bintang ke rumah sakit ini. Dia adalah putra dari Dokter Emeralda Diwangtara, pemilik rumah sakit ini sekaligus Ketua Diwangtara Group," terang Profesor Juang.

Fania tertegun dan untuk sesaat ia kehilangan suaranya. Benarkah ia tidak salah dengar? Bintang adalah putra Dokter Emeralda? Pemilik rumah sakit ini ... Tante Alda? Nama wanita yang disebut Fania dengan Tante Alda itu bernama lengkap Emeralda. Emeralda Diwangtara. Jadi wanita yang dulu dikenalkan ayahnya itu ternyata adalah orang nomor satu di rumah sakit ini? Rumah sakit tempat Fania menempuh pendidikan kedokterannya.

Desahan keras Profesor Juang mengalihkan lamunan Fania. "Tapi, syukurlah waktunya tepat. Sedikit saja dia terlambat dibawa ke sini, mungkin keadaannya bisa lebih fatal. Padahal saya sudah mengingatkannya untuk datang check-up hari ini. Kenapa anak itu mengabaikannya?"

Sontak Fania mengangkat kepalanya, menatap langsung Profesor Juang dengan alis mengernyit tajam. "Check-up? Check-up apa maksud Anda?" tanya Fania begitu menemukan suaranya kembali. "Tolong, Prof, katakan pada saya apa yang sebenarnya terjadi pada Bintang. Saya perlu tahu keadaannya."

Profesor Juang tidak segera menjawab. Ia heran kenapa gadis di hadapannya itu begitu mengkhawatirkan keadaan Bintang. "Kamu belum menjawab pertanyaan saya, Koas Fania. Apa sebelumnya kamu sudah mengenal Bintang?"

Sejenak Fania terdiam. Ia menggigit bibir bawahnya. Apa ini saatnya ia harus mengakui hubungannya dengan Bintang? Fania menatap kalut Profesor Juang yang hampir seluruh rambutnya sudah dipenuhi uban itu seiring menganggukkan kepala dengan pelan. "Ya, saya mengenalnya. Dia ... dia calon saudara tiri saya," sahutnya tercekat.

Wajah Profesor Juang berubah kaget, lebih daripada mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Fania. "Benarkah yang kamu ucapkan itu?"

Fania menundukkan kepalanya sembari menggigit bibirnya lebih keras. Secara singkat, ia menjelaskan hubungannya dengan Keluarga Diwangtara. Tentang siapa calon istri yang akan dinikahi ayahnya yang masih ditutup rapat dari publik itu.

Ya, pasti tidak akan ada yang menyangka kalau wanita itu adalah Emeralda Diwangtara, salah satu orang berpengaruh di Asia dengan status kepemimpinan utamanya di Diwangtara Group.

"Kamu sebaiknya ikut ke ruangan saya," ujar Profesor Juang sambil menepuk dua kali bahu Fania agar mengikutinya.

HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang