12. Tidak Peduli

5.1K 388 43
                                    

DERAP langkah Fania menuruni satu per satu anak tangga yang menghubungkan lantai satu dengan kamarnya di lantai dua. Aroma harum masakan mulai tercium penghidunya dan Fania harus mencegah air liurnya menetes ketika membayangkan semua masakan lezat yang pasti sudah disiapkan Bi Ipah di meja makan.

Fania menduduki kursi favoritnya di depan meja makan. Suasana hening karena memang tidak ada siapa-siapa selain dirinya. Benar, di meja makan yang besar itu hanya ada dirinya seorang diri. Pandangan datarnya menyapu lima kursi kosong di sekeliling meja makan yang masih tersisa. Sepi.

Aneh sekali. Rasa hampa seperti tiba-tiba masuk ke relung hatinya tanpa bisa dicegah, padahal selama ini ia menganggap kesepian adalah teman setia yang tak pernah menjauhinya. Ia sudah mulai mencoba menempatkan rasa sepi sebagai bagian dari dirinya semenjak kedua orang tuanya lebih sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Ayahnya memimpin sebuah perusahaan furnitur. Dedikasi tinggi ayahnya berhasil membawa Horizon Group menjadi salah satu produsen furnitur terkemuka di Indonesia hingga membentangkan sayap lebarnya menyentuh daratan pangsa pasar Cina dan Jepang.

Tak khayal sebagai pimpinan perusahaan besar, ayah Fania lebih banyak melakukan perjalanan bisnis ke luar kota dan ke luar negeri hingga menurut Fania, ayahnya lupa kalau di dalam keluarganya masih ada seorang putri yang ingin mendapatkan perhatian darinya. Bahkan setelah kepergian istrinya pun sekarang ini masih lebih memilih sibuk mengurus anak perusahaannya di Jepang.

Sedangkan ibu Fania ketika masih hidup juga lebih sibuk dengan usaha jasa wedding organizer-nya. Sebagai seorang yang secara profesional ditunjuk untuk membantu pelaksanaan rangkaian acara pernikahan, ibu Fania memang tidak pernah melewatkan detail sekecil apa pun.

Baginya, mempersiapkan pasangan pengantin menuju pelaminan dengan kebahagiaan adalah kebahagiaannya juga. Akan tetapi, Fania benar-benar tidak menyangka kalau di balik sosok ibunya yang hampir selalu perfeksionis itu ternyata ibunya menanggung derita insomnia.

Entah sejak kapan ibunya mulai memiliki kebiasaan mengonsumsi obat tidur secara berlebihan. Kenyataannya, karena kecanduan obat tidur tersebut nyawa ibunya yang menjadi korban. Ibunya menderita sirosis hati dan gangguan fungsi ginjal yang sudah sangat parah. Tim dokter tidak bisa menyelamatkannya di meja operasi waktu itu.

Fania ingin marah. Fania begitu kecewa. Bagaimana bisa ibunya melakukan semua ini? Sungguh, Fania ingin meminta alasan. Namun, yang ia temukan hanyalah bayangan buruk hubungan ayah dan ibunya. Mereka sepasang suami istri yang tinggal satu rumah, tetapi seperti tidak saling mencintai.

Fania merasa ia dilahirkan ke dunia dari hubungan yang tanpa didasari rasa cinta kedua orang tuanya. Karena itu, Fania tidak keberatan saat masa kecilnya ia habiskan dengan tinggal bersama neneknya di Klaten. Setidaknya neneknya selalu ada waktu untuk Fania. Neneknya mampu memberi perhatian lebih kepadanya.

Barulah setelah lulus SMP, Fania kembali ke Semarang setelah nenek yang disayanginya meninggal dunia. Fania tidak pernah merasa benar-benar dekat dengan kedua orang tuanya sampai pada malam itu ia mendengar ibunya melantunkan selawatan sambil duduk-duduk di ayunan rotan.

Sholatullah salamullah.

'Ala thoha rasulillah.

Sholatullah salamullah.

'Ala yasin habibillah.

Seraut wajah yang tersenyum, tetapi tatapan matanya kosong. Mata tidak pernah berbohong. Kenapa ibunya bersedih hati?

Ternyata malam itu seharusnya menjadi hari anniversary pernikahan ayah dan ibunya. Di atas meja makan telah terhidang dinner romantis dengan hiasan lilin aromaterapi serta bunga mawar putih dalam vas. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah kue berlapis fondan dan butter cream cokelat cantik dengan lilin angka 20 di atasnya yang sebagian sudah meleleh karena nyala apinya. Sayang, semua itu hanya teronggok begitu saja di atas meja makan.

HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang