Pertemuan

13 1 0
                                    

"Jika jatuh cinta adalah suatu dosa, apakah cinta dalam diam menjadi salah satunya? Namun Tuhan, jika aku benar-benar bisa memohon, aku hanya ingin dia dengan segala kelebihan meski lebih banyak kurangnya. Yang penting dia."

***

Namanya Larasati Dara Kenanga. Rambutnya ikal menjuntai, memiliki alis selayaknya manusia pada umunya, pipinya chubby, bola matanya berwarna coklat gelap, mudah sekali tersenyum dan suka sekali ice cream. Itulah hal yang paling kuingat tentang Dara sejak kami tidak sengaja bertemu di taman perumahan.

04 Juni 2021
"Engga punya teman juga ya?"
Kudapati seorang anak perempuan sedang mendongakkan kepalanya keluar dari jendela rumah pohon buatan bapak-bapak perumahan kami. Pertanyaan yang dilontarkannya berhasil membuat mukaku merah untuk pertama kali. Sialan.

"Kenapa diam aja? Ooh, aku tahu. Ga ada yang mau temanan karna kamu anak cengeng, kan?
"Sembarangan!" Tukasku. Dasar anak perempuan sok tahu! "sesama anak laki-laki kelahi itu hal yang biasa! Itu salah satu cara untuk semakin akrab dan mengenal satu sama lain."

Sebenarnya jawaban yang kusampaikan padanya diluar kepalaku. Padahal yang ingin kujawab,
iya! Ada masalah kalau aku cengeng?
tapi entah kenapa justru pembelaan yang kubuat-buat dan apesnya justru terlihat seperti anak laki-laki kesiangan.

"Kata siapa?" Balasnya sambil mengernyitkan dahi. Dia masih betah hanya bercakap melalui jendela. Sedangkan aku terpaku melihat sosoknya dari bawah pohon, "hei.. bukannya aku tidak ada salahnya meminta maaf duluan. Kita engga pernah tahu kesempatan apa yang akan terlewatkan."

Tunggu. Apakah anak ini mencoba berlagak menjadi kakakku? Sok dewasa sekali.
"Kamu kebanyakan ngomong. Dasar bocil cerewet." Ucapku sambil pergi meninggalkannya.

Langkahku begitu menggebu. Perasaanku campur aduk. Entah karena malu diceramahi oleh anak perempuan, atau karena hati kecilku membenarkan apa yang dikatakannya. Tapi aku pergi dari area taman bukan untuk pulang ke rumah. Aku justru melangkahkan kakiku ke rumah Niko untuk meminta maaf. Ya, aku meminta maaf atas perkelahian yang terjadi antara kami tempo hari karena berebut ganti pemain. Aku mengikuti saran yang diberikan oleh si anak perempuan sok tau tanpa nama tersebut. Kata-kata darinya justru terngiang-ngiang selama langkah kakiku menjauhinya.

Dan yang benar saja. Ketika aku memanggil nama Niko di depan pagar rumahnya, dia langsung keluar terburu-buru kemudian meminta maaf. Dia merasa bersalah karena meninjuku duluan dan berpikir aku tidak akan pernah mau bermain bersamanya lagi. Dan saat aku memanggilnya sore ini, dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin tidak akan membuat kami akur seperti dulu.
Ternyata omongan anak perempuan cerewet itu ada benarnya.

Setelah urusanku dengan Niko selesai, entah kenapa aku ingin menemui anak perempuan tadi untuk berterima kasih. Bagaimanapun juga permasalahanku terselesaikan berkat kata-kata sok bijak darinya.
"Eh, Ko. Di komplek kita ini ada anak cewe sebaya kita, ya?"
"Hmm setauku sih ada. Kenapa emangnya?"
"Tadi sebelum ke sini, aku iseng ke taman. Terus jumpa anak cewe itu. Bawel."
"Terus-terus?"
"Ya udah gitu doang."
"Alaah! Ga seru, mah! Aku kira ada cerita baru kayak seorang Raka tidak sengaja menabrak seorang anak perempuan lalu mereka saling jatuh cinta, tamat." Celoteh Niko dengan semangat.

"Ko, kurang-kurangi nonton sinetron ya. Ga baik buat kewarasan kau kayaknya. A-ah ya udah deh, kalau gitu aku pamit pulang, Ko. Samlekoom!"
"Pamit pulang atau mau ngecek anak cewe yang kau sebut tadiii?" Goda Niko sambil memasang muka jahil

Aku hanya tertawa sambil terus berjalan cepat. Niatku untuk berterima kasih harus kulakukan. Dari bawah kudapati jendela rumah pohon masih terbuka. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, aku langsung naik ke rumah pohon sekaligus berharap dia masih ada di dalam. Tinggal 1 anak tangga lagi hingga aku mencapai rumah pohon, tatapan kami bertemu karena dia sepertinya hendak turun.

"Lho? Ngapain di sini?" tanyanya duluan.
"Emang ada tanda kalau aku engga boleh masuk?" balasku dengan pertanyaan baru. Karena sejujurnya aku masih kaget kami berpapasan.
"Engga ada sih.."
"Ya sudah, minggir. Aku mau ke atas." Perintahku sambil menjaga image menutupi keinginan untuk berterima kasih.

Ketika aku sudah masuk rumah pohon, diapun turun begitu saja tanpa melanjutkan percakapan kami. Ada sedikit rasa kesal kenapa aku begitu cupu untuk mengatakan bahwa aku sudah berbaikan dengan temanku. Tapi entah kenapa saat dia berada di hadapanku, jantungku nyaris ingin copot.

Kita tidak pernah tahu kesempatan apa yang akan terlewatkan.
Sialan. Kata-katanya terngiang lagi di kepala! Dia penyihir apa ya?

"Eh! Aku sudah baikan dengan temanku." Teriakku dari atas pohon kepadanya.
Dia menoleh. "Oh ya? Baguslah!" jawabnya tersenyum sambil menampakkan deretan giginya yang tersusun rapi.
"Terima kasih!" balasku.
"Untuk?"
"Saranmu tadi."
"Hahahahaha!" dia tertawa lepas.
Apa yang lucu memangnya?
"Kamu ini terlalu kaku. Anak aneh. Daah! Aku pulang duluan. Sampai jumpa di sekolah, Raka!"

Itu awal mula pertemuan kami. Taman perumahan, rumah pohon, langit biru, daun-daun kering yang terseret angin, dan seorang anak laki-laki yang menyaksikan punggung seorang anak perempuan yang berjalan menjauhinya. Sebelumnya aku tidak pernah tahu kalau kami satu sekolah. Bahkan satu kelas! Aku memang tidak sepeka itu dengan orang sekitar kecuali jika mereka ada urusan denganku.

Baju merah putih sebagai saksi betapa aku bersyukur dapat mengetahui keberadaan seorang Dara di kelas. Sejak saat itu pula dia tidak pernah absen untuk mengajakku pergi sekolah bersama. Kami pun semakin sering berdua setelah Niko harus pindah sekolah dikarenakan orang tuanya pindah dinas.

Tahun-tahun terakhir ketika tamat sekolah dasar begitu berat bagiku yang mesti beradaptasi dan mencari teman baru. Nikolah satu-satunya teman yang menurutku mengerti maksud perkataanku yang terkadang irit seolah ogah berbicara. Bukan berarti aku tidak memiliki teman selain Niko pada saat itu. Ada, hanya saja Niko yang benar-benar tahu.

Beberapa orang mungkin beranggapan kalau menjadi anak laki-laki itu mudah karena gampang bergaul. Tapi tidak denganku. Tidak untuk seorang Raka Indrakusuma. Namun syukurlah ada Dara.

Setidaknya aku tidak merasa seorang diri. Berkatnya pula aku dapat teman lagi setelah setahun mencoba untuk berataptasi denga teman-teman yang lain. Ya bisa dibilang selama setahun itu aku menunjukkan sisi seorang Raka yang orang-orang ekspektasikan. Walau sejujurnya aku tidak merasa nyaman.

Namanya adalah Habibie Adnandhika. Anak pindahan dari Palembang. Dia pindah karena ibunya memilih untuk kembali ke Pekanbaru setelah resmi berpisah dengan ayahnya. Di awal-awal kepindahannya, anak-anak perempuan dari berbagai kelas sibuk mengintrogasiku karena kebetulan kami sebangku pada saat itu.

Mulai dari dia pindahan dari mana, sudah ada pacar atau belum, bahkan tak jarang meminta kontaknya. Itu hal yang membuatku terkadang malas untuk berinteraksi dengan perempuan selain Dara. Mereka terlalu ribet dan berisik. Cukup Dara saja yang merepotkan dengan segala ocehannya. Jangan ada Dara ke-2 atau bahkan lebih parah lagi.

"Kalian pacaran?"
Pertanyaan Dhika sukses membuatku berhenti untuk melahap makan siang. Sebenarnya ini bukan pertama kali ada yang bertanya seperti ini. Hanya saja aku betul-betul kaget Dhika mempertanyakan hal tersebut. Sebab sudah 1 semester Dhika bersekolah di sini dan baru sekarang dia mempertanyakannya.

"Dara temanku dari SD, satu perumahan juga denganku." Jawabku seadanya sambil melanjutkan makan siang.
"Oooh.. gitu" Dhika hanya ber-oh ria kemudian dia mengganti topik perihal pertandingan tim favoritnya kemarin malam.

***

"Walau sejujurnya, aku tahu kalau sebentar lagi aku akan kehilangan suatu hal yang penting."

Sisa Tawa Kita Pada Setiap Sisi Jalan RayaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon