Diam-diam

10 1 0
                                    

"Bumi beserta isinya pasti tahu siapa yang selama ini diam-diam kupeluk dalam tenang. Entah itu ketika dia tenggelam ditarik malam, atau bahkan saat dia merasa tidak berguna. Sebenar-benarnya rasa adalah yang tertaut. Sehidup-hidupnya kita adalah yang saling menjerat. Tapi, sepedih-pedihnya luka adalah yang kita cipta."

***

Menurutmu, bisakah laki-laki dan perempuan berteman tanpa melibatkan perasaan? Atau, lumrahkah jika berteman dengan mantan pacar? Bagaimana dengan, apakah boleh memacari mantan pacar dari teman kita sendiri? Karena kalau boleh jujur, aku sebenarnya tidak terlalu peduli dengan aturan-aturan yang entah bersumber dari mana itu. Tapi yang jelas, akibat dari aturan-aturan bodoh itu banyak sekali hubungan antar temanku yang berantakan. Thanks before.

Mungkin sedikit membingungkan, tapi itulah yang sedang menghantui pikiranku akhir-akhir ini. Aku merasa bahwa semakin kami tumbuh menuju dewasa, aku semakin mempertanyakan apa hubungan yang terjalin antara aku dan Raka. Kami ini sebenarnya apa? Teman kecil? Teman sejak SD? Atau apa? Yang menyebalkan dari perasaan ini adalah aku semakin takut untuk mengetahuinya. Entahlah, sebagian dalam diriku merasa terancam tanpa alasan.

Berbicara tentang Raka, dia adalah seorang manusia yang tidak sengaja aku temukan sedang menendang-nendang bola kaki ke batang pohon seorang diri di taman. Melihatnya sendirian seperti melihat sisi lain dari diriku yang terkadang lebih nyaman ke mana-mana tanpa seorang teman.

Begitulah, terkadang aku merasa jika berinteraksi dengan orang lain itu justru menguras tenagaku secara perlahan. Bukan berarti aku tidak membutuhkan teman. Hanya saja, terkadang aku juga membutuhkan ruang untuk tidak bersama siapa-siapa.

Sebenarnya, hampir setiap sore aku menontonnya bermain bola kaki dengan penuh semangat dengan anak-anak perumahan. Dia tampak seperti bunga matahari. Begitu bersinar teduh ketika berhasil mencetak gol. Tapi bagian lucunya, ketika anak-anak perempuan mulai menyoraki memberi semangat, telinganya langsung memerah. Kemudian dia keluar dari lapangan meminta anak lain untuk menggantikan posisinya. Menggemaskan sekali.

Meski kami tidak pernah saling memperkenalkan diri satu sama lain, aku sudah lebih dulu tahu namanya. Raka Indrakusuma, my sunflower boy. Bagaimana mungkin aku tidak tahu? Kami ini teman sekelas, coy! Atau lebih tepatnya aku mengetahui namanya, tapi dia sendiri mungkin tidak tahu kalau di bumi ini ada seorang anak perempuan mempesona bernama Larasati Dara Kenanga.

"Setelah ini ke mana lagi, Ra? Jangan sampai ada yang kurang. Aku engga sudi jadi tumbal kelompok buat belanja bahan-bahan yang engga terbeli," omel Raka yang berjalan di depanku sambil menenteng belanjaan.
"Udah lengkap semua, Ka. E-eh gimana kalau setelah ini kita ke toko buku? Ada buku yang pengin aku beli!" Ajakku semangat.
"Hmm boleh, sih. Tapi kita antar belanjaan ke rumah dulu gimana? Gak lihat ini belanjaan seabrek?"

"Yaelah... kalau pulang dulu, bolak-balik dong nanti?"
"Ya gapapalah," jawab Raka santai berjalan mendahuluiku.
"Alahh, bilang aja pengin lama-lama jalan bareng aku. Iya, kan? Udah ngaku aja. Sihiyy!" Godaku sekaligus menyusul berjalan di sampingnya.

Raka tidak akan merespon lagi kalau aku sudah mulai menggoda-godanya. Terlebih jika aku melakukannya di depan teman-teman kelas. Auto ditinggal pergi ke luar kelas, lalu anak-anak kelas akan mulai menceramahiku karena selalu saja mengganggu Raka. Kebiasaan yang sudah mendarah daging ini mustahil untuk dihilangkan. Jadi kalau dalam sehari belum membuat Raka mati kutu, maka hari yang kulewati masih kurang seru.

Akhirnya kami mengantar belanjaan terlebih dahulu ke rumahku, barulah setelah itu menuju toko buku yang sudah jelas-jelas hanya berjarak 2 km dari supermarket tempat kami berbelanja. Raka memang niat sekali jika sudah memanfaatkan waktu bersamaku. Dia juaranya.

Sisa Tawa Kita Pada Setiap Sisi Jalan RayaWhere stories live. Discover now