HOPE bagian keempatbelas

2K 109 9
                                    

*-Fitri POV-*


Sudah tiga jam lamanya aku berdiam diri disamping Riska. Dia masih saja memejamkan matanya dengan tenang karena efek dari obat yang kuberikan.

Riska terlihat sangat polos saat ia tertidur lelap seperti ini. Mata hitamnya yang biasanya dapat menaklukkanku kini terlihat terbuka sedikit menimbulkan kesan lucu. Sementara bibir tebalnya yang hitam yang selalu saja aku damba-dambakan mengeluarkan alunan dengkuran halus pertanda kalau dia memang menikmati alam mimpinya.

Dengkuran halusnya menutupi suasana sepi kamar ini, dan hanya dengan dengkuran itu, aku merasakan kenyamanan karena kehadiran Riska disini. Aku merasa aman bahkan meskipun dia sedang terbuai dengan alam bawah sadarya.

Aku tahu ini gila, biarkan saja. Aku tidak perduli jika aku harus gila hanya karena untuk mencintai dirinya. Aku bersedia menjadi gila.

Riska tidak pernah mengatakan perasaannya kepadaku, namun aku tahu dia memiliki perasaan yang sama terhadapku. Perasaan cinta dimana dia tidak ingin mengakuinya sementara aku mengatakannya terang-terangan bahkan kepada ayahku sendiri.

Lamunanku berhenti saat aku merasakan usapan di bagian pahaku, dan aku dapat melihat bulu mata Riska yang tebal bergerak dan kemudian menampilkan dua pasang mata ber-iris hitam legam itu. Mata yang selalu membekukanku.

Dia tersenyum, "Hai" katanya dengan suara serak yang dalam. Mendengar sapaannya saja bisa membuat tubuhku merinding dalam sekejap. Sungguh, dia sangat memberikan banyak pengaruh kepada diriku.

"Hei? Apa kau tidak mendengarku?" aku menggeleng berusaha mengenyahkan pikiranku dari segala macam keanehan yang aku rasakan terhadap sosok mahluk tomboy yang ada di depanku kini.

Memasang senyum menyambut, aku segera memberikannya segelas air mineral "Tidurmu nyenyak?" tanyaku saat aku telah memberikannya segelas air dingin.

Riska meneguknya dengan cepat lantas segera mengembalikan gelasnya kepadaku "Bagaimana mungkin aku tidak nyenyak?" jawabnya disertai senyuman menungging yang membuatku ingin menciumnya.

Aku mengedigkan bahu "Kamu nyenyak karena aku kasih obat kan?" tebakku seadanya.

Dia menggeleng dua kali sebagai tanda kalau jawabanku salah besar, dan dia kembali mengunggingkan senyum khasnya. Senyum yang hanya mengangkat sebagian dari bibirnya "Bukan karena obat. Tapi karena kau" ujarnya.

Perutku bergejolak entah karena apa, padahal aku tahu Riska hanya menggoda. "Dusta" hanya itu yang bisa ku kata, dan aku kembali melihat senyumnya. Senyum yang selalu saja membuatku merasakan jutaan kupu-kupu beterbangan di dalam dadaku.

Riska terkekeh, ia segera terduduk dan bersandar di tepi ranjang, "Kemari" katanya masih dengan suara seraknya yang dalam.

Menaikkan kakiku ke atas ranjang, aku segera terduduk disampingnya dan dia membiarkanku merebahkan kepalaku di bahunya yang tidak terluka, dia mengusap rambutku yang terurai secara perlahan, mulai dari akar sampai ujung, dan aku menyukai setiap sentuhannya.

"Bisa kau membuatkanku makanan? Aku kelaparan" pintanya manja.

Aku menonggak hanya untuk mendapati Riska sedang menampakkan wajah memelas yang terlihat sangat-sangat amat menggemaskan. Persis seperti anak anjing yang memiringkan kepalaya kesatu sisi, kemudian menurunkan kedua telinganya dan juga disertai dengan mengeluarkan ujung lidah dengan membesarkan mata dan harapan.

Aku tersenyum melihat kelakuan bocahnya. Ternyata orang tomboy, keras kepala, kuat dan egois juga masih tetap memiliki sisi manja di dalam dirinya. Aku saja hampir terkekeh karena baru menyadarinya sekarang.

Kedua kakiku ku layangkan menuju dapur, saat aku melihat bahan-bahan masakan yang ada di dalam kulkas, aku tahu aku hanya dapat membuat omelet dengan bahan yang tersisa. Mungkin Rayhan belum menyuruh Mbak Sinta untuk berbelanja, jadilah aku hanya menyiapkan dua porsi omelet dengan rasa pedas dan rasa original.

Aku menyiapkan semuanya dengan cekatan, karena aku tidak ingin membuat Riska mati karena kelaparan. Setelah mencium aroma matang yang menggoda ujung lidahku untuk segera mencicipinya aku segera menaruh dua porsi omelet tersebut di atas nampan, kemudian aku beranjak mengambil jeruk dan mulai memotongnya menjadi dua, kemudian memerasnya dan memberikan sedikit gula disertai dengan es batu.

Selesai dengan semua urusanku di dapur, aku segera melangkahkan kakiku menuju kamar, dan saat aku kembali, aku dapat melihat Riska melepas perban di balik bahunya, ia sedang menaruhkan alkohol disana sambil meringis-ringis menahan sakit karena luka.

Aku menyerahkan nampannya ke depan Riska yang kemudian dihadiahi senyuman penuh yang membuat aku seolah meleleh karena rasa hangat yang tiba-tiba saja menyeruak dari dalam dada.

"Terimakasih" ujarnya seraya memotong omelet dengan rasa pedas dan kemudian menyuapkannya dengan cepat.

Rahang-rahangnya yang tegas bergerak cepat saat ia mengunyah, dan sesekali aku menciuminya karena merasa gemas yang mana membuat Riska tertawa karena tingkahku "Kau tidak bisa membiarkanku tenang berdua dengan makanan lezat ini?"

Aku menciut sekaligus tersenyum di satu waktu yang sama, dia menganggapku mengganggunya dan juga dia mengatakan masakanku lezat disaat yang bersamaan. Sungguh blak-blakan.

Riska terkekeh seraya mengambil es jeruk yang aku buat "Kau membuatnya terlalu pedas" protesnya dengan segera menyeruput es jeruk itu cepat-cepat.

Aku memutar bola mataku dengan malas. Dia baru menghabiskan satu suap omelet dengan potongan kecil, dan dia sudah mengeluh kepedasan? Bagaimana mungkin? Bahkan aku hanya memberika tiga sendok saus cabai disana. Mungkin jika aku yang memakannya, aku tidak akan merasakan adanya rasa pedas sedikitpun.

Dia menjulurkan lidah seolah berusaha menghilangkan rasa pedas di lidahnya dengan cara yang ia lakukan. "Pedas hanya hilang dengan rasa asin. Coba kamu makan omelet yang satunya, biar ini aku yang makan" ujarku kepadanya yang langsung saja menurut.

Riska cepat-cepat mengambil suapan besar dan mengunyahnya dengan gerakan yang cepat membuat aku ingin tertawa karenanya. Dasar aneh! Umpatku dalam hati.

Sudah tomboy, egois, keras kepala, kuat, tegar, tapi manja dan juga lemah disaat yang bersamaan. Aku tidak bisa menggambarkan Riska bahkan meskipun itu dengan sejuta kata-kata. Dia tidak bisa disetarakan dengan segalanya.

Rambut hitamnya yang tebal dan legam membuatku selalu saja ingin mengusapinya dengan sejuta rasa kasih dan sayang, sepasang mata hitamnya yang tajam seperti elang selalu saja berhasil membuatku merasakan kenyamanan disaat mata-mata itu menatapku dengan seksama, hidung mancungnya selalu saja berhasil membuatku iri karena tidak bisa mendapat ukuran yang sama, bibir-bibir tebalnya yang kehitaman selalu saja membuatku ingin merasakan kecupan-kecupan lembutnya diseluruh bagian kulitku, dan tingkah lakunya yang selalu saja membuatku ingin terus-menerus berada disampingnya.

Tiada lagi yang lain.

Aku hanya ingin dirinya

Bahkan meskipun aku harus mengorbankan nyawa demi dirinya, aku tak apa. Aku bersedia. Karena aku memang benar-benar mencintainya.

*----*

Riska Pramita Tobing

HOPE (COMPLETED)Where stories live. Discover now