HOPE bagian kesebelas

2.2K 130 9
                                    

*-Riska POV-*

Salah seorang butler menarikku secara paksa ke dalam ruang kerja Rayhan bersamaan dengan Fitri yang memasuki ruang kamarnya.

Lelaki senja yang adalah ayah sekaligus bos ku itu mengurungku disana. Mengkunciku bersama tiga orang butler yang aku kenal sebagai Diki, Sam dan Ray.

Mereka terlihat bengis dalam balutan jaket kulit dan pakaian serba hitamnya. Dan lagi, aku bisa melihat ada senapan laras pendek di simpan di meja. Tepat di tengah-tengah ruangan.
Aku juga dapat melihat ada dua pedang panjang di sisi ruangan dan juga tali panjang yang di sembunyikan di bawah sofa.

Selagi aku sibuk mengamati ruangan, aku bisa merasakan sengatan perih di bagian punggungku. Rayhan tiba dari balik ruangan rahasia. Ia mencambukku dengan menggunakan ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit.

Segera saja aku mendekat ke tengah ruangan. Berjaga-jaga jika Rayhan akan mengeluarkan refolpernya.

Dengan mata tajam dan insting berburu yang kuat, aku bisa merasakan pergerakan butler-butler bodoh itu di balik punggungku.

Satu pedang hilang di bawa oleh Ray, lalu tali yang berada di bawah sofa juga telah di ambil oleh Sam. Sementara Diki bersiap dengan hanya menggunakan tangan kosong yang terkepal kuat di depan wajahnya.

"Why you kiss her? Did you wanna die?!!" sentak Rayhan seraya mengeluarkan refolpernya dari balik punggung. Ia mengacungkannya tepat ke arah kepalaku tanpa ada rasa ragu sedikitpun.

Aku melangkah mundur berusaha mengambil pistol berlaras pendek di tengah-tengah meja, namun tetap tidak mengalihkan perhatianku dari Rayhan sedikitpun.

Setelah mendapatkan pistolnya di balik punggung, aku menjawab Rayhan dengan suaraku yang serak dan dalam "Are you fucking kidding me? I'm not kiss her! She kiss me first!"

Rahang Rayhan yang kuat bergemeretak karena kesal "It's doesn't matter!!" Rayhan berteriak keras seraya menembakkan satu peluru anginnya yang hampir saja mengenai pelipisku.

"Kau pantas mendapatkan pelajaran karena telah lancang" geram Rayhan dengan suara rendah dan dalam di tenggorokannya.

Sam mendekat seraya mencoba mengikatku dengan cara apapun, tapi aku lebih gesit dengan segera menendang pelipis lelaki itu sekeras mungkin. Satu jatuh, tinggal dua lagi.

"Selesaikan semuanya" seru Rayhan dengan nada memerintah yang telak. Ia kemudian kembali ke ruang rahasia tempatnya mengerjakan strategi pemasaran persenjataan ilegal.

Secara tiba-tiba, aku merasakan lilitan di kedua tanganku. Lilitan yang keras dan sangat kuat "Fuck!" geramku dengan nada kesal karena tanganku berhasil di ikat secepat kilat oleh Sam.

Diki menghampiri, ia mengepalkan tangannya kuat sementara aku berusaha membuka ikatan tali di balik punggungku.

Satu pukulan melayang dan mengenai pelipisku sehingga membuat aku merasakan perih dan pelipisku berdarah.

Ikatan terlepas saat aku menemukan pedang, aku mengangkatnya di sebelah kanan sementara tangan kiriku mengangkat satu buah pistol laras pendek.

Pedangku ku acungkan ke arah Diki dan Sam, sementara pistolku ku arahkan ke kepala Ray.

Pertempuran terjadi. Bunyi logam yang beradu, teriak-teriak kesakitan, dan darah bercampur menjadi satu.

Ringisan, retak tulang, benda-benda berjatuhan, pecahnya barang-barang, bergesernya benda-benda secara kasar, bunyi pukulan keras, dan senapan semuanya bersatu. Menjalin sebuah irama kesakitan yang terdengar menggema di hampir seluruh ruangan.

Diki terjatuh tepat saat aku menendang selangkangannya sekeras yang aku bisa, dia tergeletak begitu saja sambil meringkuk seperti bocah kecil.

Sementara Sam dan Ray masih memasang kuda-kuda mereka yang kuat meskipun sudah babak belur disana-sini persis sepertiku.

Satu serangan pedang hampir menusuk bagian bahuku, dan aku menjatuhkan pedangnya secepat kilat. Diki terjatuh tepat bersamaan dengan peluru timahku meluncur tepat ke arah bahunya. Sementara Ray terjatuh tidak berdaya karena aku menendang tulang keringnya sampai terdengar patahan tulang.

Mereka bertiga terkapar tidak berdaya di atas lantai putih yang menutupi semua bagian dari ruang kerja Rayhan. Dan aku berdecak puas saat mendapati ketiganya sangat mudah untuk dikalahkan.

Terdengar tawa keras dari balik ruangan rahasia Rayhan, kemudian dinding yang sedari tadi tertutup berubah menjadi kaca besar yang menampakkan Rayhan yang sedang terduduk angkuh di atas singgahsananya.

Aku menggeram keras saat melihat tawanya yang kejam "Kau terlalu bodoh untuk melawanku" ujarku tepat pada wajah Rayhan sambil tidak lupa memberikan seringaian meremehkan di akhir kata yang aku ucapkan

Kemudian terdengar decakan keras dan sebuah tawa kepuasan "Kali ini aku maafkan, karena kau bisa mengalahkan mereka. Lain kali, jika aku melihat kau menyentuhnya lagi, aku akan mengutus Ricky untuk membunuh adiknya sendiri" ujarnya dari balik ruangan, dan aku melihat pintu terbuka sendirinya tepat bersamaan dengan dindingnya tertutup lagi.

Fitri berdiri disana, dengan hanya mengenakan handuk kimono berwarna biru muda.

Mimik wajahnya terlihat khawatir dan lega secara bersamaan, aku bisa melihat kerutan ketakutan di keningnya saat ia melihatku yang penuh dengan luka dan darah.

Dengan lengkah-langkahku yang ringan, aku menghampiri Fitri. Kedua bahunya bergetar menahan tangis saat aku menyentuhnya dengan perlahan.

Oh Jesus. Apa yang aku lakukan kepadanya? Kenapa aku membiarkan dia melihatku dalam keadaan lemah seperti ini? Betapa bodohnya aku.

Betapa terkutuknya aku. Kenapa aku tidak bisa mengalahkan mereka tanpa dengan mendapatkan luka?

Betapa lemahnya aku! Betapa cerobohnya aku! Betapa bodohnya aku! Lihatlah sorot ketakutan di dalam kedua mata hazel Fitri, Riska! Lihatlah itu!

Mengapa kau tega membiarkan Fitri melihatmu dalam keadaan seperti ini? Bisakah kau memperbaiki semuanya sekarang?

Dengan segera, aku membawa Fitri ke dalam pelukanku dan membiarkan kepalanya bersandar di bahu-bahuku yang lebar "Terimakasih kau telah menciumku sebelum aku disakiti. Setidaknya aku pernah merasakan rasa manis sebelum akhirnya rasa sakit itu datang. Terimakasih"

Dan dengan begitu, dia membalas memelukku dengan tangisan tersenggat di dalam kerongkongannya.

Suaranya tercekat saat ia berusaha menjawab. "BODOH!" adalah ucapan pertama kali yang keluar dari bibirnya yang tipis sambil tidak lupa memukul bahuku dengan gelagat kesal.

"Bodoh!" ucap gadis cantik itu di sela-sela tangisnya yang menyakitkan.

Oh Jesus. Buatlah dia bahagia dengan segala cara. Mungkin aku memang tidak menyembah Mu dengan baik sebaik para pendeta. Mungkin aku tidak pernah memujimu sebanyak yang dilakukan orang lain. Tapi kumohon Jesus. Biarkanlah Fitri merasakan kemurahan hati Mu. Buatlah dia merasa lebih baik Jesus. Kumohon.

"Jangan pernah bodoh lagi!" ucapnya setelah ia berhasil menenangkan tangisannya, dan tepat setelah ia menghapus air matanya dengan perlahan dan pasti.

Aku bisa melihat kedua matanya sembab dan berair, dan secara refleks aku mencium keduanya seraya berkata "Aku berjanji untuk tidak pernah bertingkah bodoh lagi, sayang. Jangan pernah khawatir. Percayakan semuanya padaku, karena aku bisa mengatasinya"

Fitri tersenyum patuh seraya mulai mengusap luka-luka ku dengan tangan-tangan lentiknya. "Kamu perlu diobati" ujar Fitri seraya menarik tanganku menuju kamarnya.

*------*

Riska Pramita Tobing

HOPE (COMPLETED)Where stories live. Discover now