21. Sang Jagoan Kecil

Beginne am Anfang
                                    

"Yah...." panggilnya masih dengan suara yang lemah. Yudha yang sedang mengobrol dengan Raffi tak jauh darinya langsung menolehkan wajahnya. Ia tersenyum lega.

"Kamu sudah sadar, Nak? Alhamdulillah... Ayah sudah panik setengah mati saat mendengar kamu sudah dilarikan ke rumah sakit." Nabila tak menjawab. Kepalanya masih terasa pusing dan pandangannya masih agak berkunang-kunang. Radit yang melihat istrinya sudah bangun langsung mendekatinya diikuti oleh kedua orang tuanya.

"Kamu gak apa-apa kan, sayang?" tanyanya masih dengan raut cemas. Nabila menggeleng.

"Gak apa-apa. Cuma pusing aja. Itu bayi kita, Mas?" tanyanya saat melihat ibu mertuanya yang sedang menggendong bayi mereka. Radit tersenyum dan mengangguk. Citra memperlihatkan bayi dalam gendongannya.

"Bayi kalian lucu sekali. Mirip Radit waktu Mama baru melahirkan dia." Nabila memandang wajah damai bayinya yang sedang terlelap. Sebuah senyum bahagia terukir dari bibirnya. Matanya berkaca-kaca.

"Dia lelaki atau perempuan?"

"Dia lelaki, sayang. Dia seorang jagoan." Nabila hanya tersenyum.

"Aku pengen gendong dia." Radit menggeleng.

"Kamu baru sadar dan masih lemah. Kamu minum dulu, ya?!" pintanya sambil mengambil botol air mineral di meja nakas dan menyodorkannya pada istrinya. Nabila meneguk air minum dan rasa haus yang begitu membakarnya terasa hilang begitu saja. Ia sudah tak sabar ingin segera menggendong jagoannya itu.

"Waktu Ayah ditelpon Radit waktu di bengkel tadi, Ayah langsung tak ingat apa-apa lagi dan langsung ke sini untuk memastikan keadaanmu. Ayah teringat saat ibumu meninggal beberapa menit setelah melahirkanmu. Ayah sangat menyesal tak bisa mendampinginya untuk berjuang melahirkanmu dan melihatnya bahagia saat kehadiranmu ke dunia karena keterlambatan Ayah sedikit saja. Ayah kehilangan momen-momen terakhir bersamanya dan tak sempat mendengar pesan terakhirnya. Untuk itu, Ayah gak mau kehilangan waktu berharga untuk menyaksikan putri Ayah yang sedang berjuang untuk melahirkan cucu kami." jelas Yudha dengan mata berkaca-kaca. Ia teringat akan ibunya. Seandainya ibunya masih hidup, pasti ia akan bahagia sekali menyaksikan kelahiran cucunya dan menjadi seorang nenek. Ia mengusap air matanya yang menetes.

"Udah ah bahasnya! Aku suka sedih dan inget Ibu. Yang penting, sekarang Nabil sudah sadar dan tidak apa-apa. Dan kita sedang berbahagia dengan kehadiran anggota keluarga baru yang akan melengkapi keluarga kita." timpal Raffi yang merasa tak enak karena ia menjadi teringat almarhumah ibunya, dan itu membuatnya ingin menangis saat ini.

"Kalian sudah siapkan nama untuk cucu kami?" tanya Aditya yang mencoba untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba berubah penuh keharuan itu. Radit dan Nabila tersenyum.

"Kami sudah sepakat untuk memberi nama Elang Angkasa Yudha Kautsar jika yang lahir lelaki, dan Kenanga Aini Yudha Kautsar jika yang lahir perempuan. Kami mengambil nama Aini sebagai nama almarhumah ibu pada nama tengah anak kami untuk mengenang beliau selalu. Karena yang lahir jagoan, kami akan menamainya Elang. Apa kalian setuju?" tanya Radit meminta pendapat kepada para orang tua. Mereka mengangguk setuju.

"Kami setuju-setuju aja. Ayah suka dengan namanya. Yang penting, putra kalian tumbuh menjadi anak yang sholeh dan berbakti kepada kalian sebagai orang tuanya." Radit dan Nabila mengangguk. Nabila menatap bayinya yang masih terlelap dalam gendongan ibu mertuanya.

"Boleh aku gendong sekarang, Ma?" tanyanya kepada mertuanya. Citra mengangguk dan menyerahkan cucunya kepada menantunya. Nabila meraih bayinya dengan hati-hati dan mendekapnya. Matanya berkaca-kaca saat melihat wajah tampan putranya yang mirip dengan Radit. Ia mengecup kening bayinya sayang dengan air mata yang mengalir membasahi wajahnya. Radit tersenyum melihat keduanya.

"Dia tampan sekali." ucapnya sambil menatap lekat wajah putranya.

"Matanya mirip sama kamu, Bil." ucap Raffi. Nabila hanya mengangguk. Bayi itu mulai menggeliat-geliat dalam dekapannya. Nabila menimang-nimangnya pelan.

"Langsung dikasih ASI ya, Bil! Kayaknya dia mulai ngerasa haus." saran Citra. Nabila mengangguk.

"Iya, Ma." ia masih menimang-nimang pelan bayinya yang terus menggeliat dan bergerak dalam dekapannya. Sungguh indah rasanya menjadi seorang ibu, impian yang bahkan hampir terlupakan dari sekian banyaknya mimpi yang pernah ia rancang dalam target masa depannya.

***

Radit tersenyum saat masuk ke kamarnya dan mendapati pemandangan istrinya yang tengah menyusui putra mereka. Nabila baru pulang tadi pagi setelah 2 hari di rumah sakit. Radit mendekati mereka dan berlutut di depan istrinya. Ia mengelus rambut hitam tebal putranya. Nabila meringis saat merasakan sakit pada payudaranya.

"Sakit rasanya Mas kalau aku lagi menyusui. Kata suster harus sering dipompa dan dikeluarin." Radit mengangguk.

"Kamu masih demam?" Nabila mengangguk.

"Iya. Ini efek dari rasa sakit di payudaraku." ia fokus menatap putranya yang asyik menikmati sumber makanannya.

"Nanti aku bantu buat ngilangin rasa sakitnya." Nabila menatap suaminya tanda tanya.

"Gimana caranya?" Radit tersenyum rahasia.

"Aku ikutan mimik kayak Dedek sama kamu." Nabila setengah terkejut saat melihat seringai mesum suaminya yang biasa ditunjukkannya kepadanya. Ia mencubit tangan suaminya.

"Modus! Bilang aja sekalian minta jatah." Radit hanya tertawa.

"Kan itu milik aku juga, sayang. Gak cuma milik Dedek aja." ucapnya sambil menatap dada besar istrinya yang terasa menggodanya saat ini. Nabila memutar matanya.

"Mas sekarang harus bisa ngontrol, ya! Jangan sampai rebutan sama anak sendiri." Radit tertawa dan menatap putranya yang masih asyik dengan kegiatannya.

"Pasti, sayang. Masa aku harus rebutan sama anak sendiri hanya karena sumber makanan yang sama."

"Kan biasanya lelaki itu susah ngalahnya. Gak peduli sama anak sendiri." Radit mendengus.

"Itu kan cuma untuk yang egois aja. Aku gak mungkin kayak gitu. Aku sangat mencintai Elang seperti aku mencintaimu." Nabila tersenyum. Ia selalu bahagia saat mendengar ucapan cinta suaminya meski sudah kesekian kali.

"Bukan modus, 'kan?" Radit menatap istrinya.

"Emangnya aku selalu kelihatan bohong? Kamu boleh apain aja aku kalau aku bohong." Nabila mengangguk.

"Iya, iya... Aku percaya." Radit tersenyum. Ia menatap putranya lagi.

"Dek... Nanti kalau punya adik, mau cewek atau cowok?" Nabila menatap tajam suaminya.

"Masss...! Elang baru aja lahir 2 hari yang lalu. Bekas melahirkan yang kemarin aja masih terasa sakitnya, udah nanyain lagi adiknya." ucapnya kesal. Radit tertawa pelan.

"Aku cuma nanya doang, sayang. Tenang aja, aku bakal hati-hati supaya gak bikin kamu hamil. Kamu juga nanti minum pil kan kalau udah genap 40 hari?" Nabila mengangguk.

"Iya. Kalau gak pakai KB, bisa kebobolan aku. Mas kan agresif banget kalau udah di ranjang." Radit tertawa.

"Ya..., kalau kebobolan, gak apa-apa juga. Dikasih sama Tuhan ini. Biarin aja." Nabila menatap kesal suaminya.

"Iya. Mas cuma enaknya doang ngasih benihnya. Tetep aku yang berjuang dan bersusah payah ngandung dan ngeluarinnya." Radit masih tertawa. Nabila menggelengkan kepalanya. Mas Radit, Mas Radit... Suamiku yang kadang ngejengkelin, tapi selalu bikin aku makin cinta tiap harinya, batinnya sambil menatap suaminya yang kini beralih mengajak putra mereka berbincang-bincang. Senyum kebahagiaan terbit dari bibirnya dan ia harap, itu semua tak akan pernah berakhir ataupun pudar termakan waktu.

The Wildest DreamWo Geschichten leben. Entdecke jetzt