1. Miss Teacher

8.1K 373 1
                                    


"Baiklah anak-anak, pelajaran hari ini kita cukupkan sampai di sini. Minggu depan, kita akan masuk ke bab gejala dan fenomena alam." jelas Nabila sambil menutup buku paket yang dipegangnya. Para siswa SMA itu mengangguk.

"Iya, Bu." jawab mereka serempak. Lalu, gadis berhijab merah itu keluar dari ruangan kelas setelah mengucap salam. Nabila menaruh buku-buku mengajarnya di mejanya. Ia duduk di kursinya sambil merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal.

"Udah ngajarnya, Bu Nabil?" tanya seorang perempuan berhijab panjang di meja sebelahnya. Nabila menolehkan wajahnya dan tersenyum.

"Iya, Bu Nazma. Kebetulan jam pertama, jadi masih pada fresh anak-anaknya." ucapnya sambil tertawa kecil. Perempuan berhijab panjang bernama Nazma itu mengangguk.

"Iya. Kalau udah siang, biasanya anak-anak udah gak fokus. Karena mungkin udah capek juga." Nabila mengangguk.

"Jangankan siswanya, gurunya aja udah low, butuh di-charger, hahaha...." ucapnya sambil tertawa. Nazma ikut tertawa.

"Segitu belum seberapa. Saya apalagi udah punya keluarga. Belum pulang ngajar langsung ngurus suami sama anak. Kadang meriksa tugas siswa aja suka gak keburu. Ya maklumlah, namanya juga punya anak kecil usia 2 tahun." Nabila tertawa dan mengangguk.

"Iya, Bu. Saya salut sama Ibu yang pintar membagi waktu antara pekerjaan dan rumah tangga." Nazma tersenyum.

"Nanti juga Bu Nabil ngerasain kalau udah nikah dan punya anak. Pokoknya, jadi wanita karir yang sudah berkeluarga itu harus pintar-pintar mengatur waktu supaya keluarga kita tidak terabaikan yang kebanyakan ujung-ujungnya jadi berantakan." Nabila mengangguk. Pelajaran berharga untuknya dari senior di sebelahnya.

"Ibu udah makan belum? Kita ke kantin, yuk?! Kebetulan saya gak sempet makan pas di rumah tadi." ajak Nazma. Nabila tersenyum dan mengangguk. Belum juga waktu istirahat tiba, perutnya sudah mulai lapar lagi. Mungkin, tadi pagi ia hanya makan sedikit roti dan susu saja, jadi mudah lapar lagi.

"Ayo, Bu! Kebetulan saya juga tadi pagi makan cuma dikit." Nazma mengangguk dan mereka beranjak dari duduknya untuk menuju keluar ruangan yang hanya terdapat beberapa guru lainnya di sana.

***

Nabila memarkirkan motornya di depan sebuah pemakaman umum. Ia turun dari motornya dan mengambil karangan bunga yang dibelinya tak jauh dari sekitar area pemakaman ini. Ia berjalan menyusuri jejeran nisan yang terawat rapi dan bersih di sana dan tak lama kemudian, ia sampai di sebuah makam dengan nisan hitam yang bertuliskan nama wanita yang sudah melahirkannya ke dunia ini. Ia berjongkok dan menatap nama yang tertulis di sana.

"Bu..., Nabil datang ke sini lagi. Cuma hari ini aja Nabil nyempetin untuk berkunjung ke sini buat ketemu Ibu. Bagaimana kabar Ibu? Nabil yakin, ibu selalu tersenyum bahagia dari atas sana meski Nabil gak bisa melihatnya. Nabil juga yakin, Ibu selalu mengawasi Nabil di setiap waktu. Meski Nabil gak pernah lihat wajah Ibu secara langsung dalam hidup Nabil, tapi Ibu selalu mempunyai tempat tersendiri di hati dan hidup Nabil." ucapnya sambil tersenyum.

"Maafin Ayah sama Bang Raffi yang belum sempet berkunjung ke sini lagi karena kesibukan mereka. Kami sayang Ibu selalu. Ibu tetap cahaya dalam hidup kami meski raga Ibu tak bersama kami lagi, tapi jiwamu selalu ada mengiringi setiap langkah hidup kami."

"Nabil bawa karangan bunga kesukaan Ibu. Maafin Nabil yang gak bisa lama-lama di sini. Nabil harus mengurus Ayah dan Bang Raffi. Gak apa-apa kan, Bu? Yaudah kalau gitu, Nabil pamit dulu, ya?! Nabil sayang banget sama Ibu. Assalamualaikum." ucapnya sambil berdiri setelah menaruh karangan bunga dia atas nisan ibunya. Ia merasakan angin yang berhembus sejuk menerpa wajahnya. Ia tersenyum dan mulai beranjak pergi dari tempat itu.

***

Nabila sudah tiba di rumahnya yang terlihat sederhana namun terlihat bagus dan menarik desainnya. Ia membuka pintu pagar dan memasukkan motornya ke halaman rumahnya yang tidak besar. Setelah turun dari motornya, ia berjalan dan mengetuk pintu rumahnya.

"Assalamualaikum, Yah! Nabil pulang." serunya dari luar. Tak lama pintu terbuka dan menampilkan lelaki paruh baya yang sudah terlihat keriput di wajahnya dan rambutnya yang sudah mulai memutih. Nabila menyalami lelaki paruh baya itu.

"Walaikumsalam. Kamu dari makam ibumu dulu, Bil?" tanyanya. Nabila mengangguk.

"Iya, Yah. Ayo kita ke dalem dulu!" ajaknya yang diangguki oleh lelaki tua itu yang merupakan ayahnya.

Setiap hari jum'at, Nabila selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi makam ibunya untuk berziarah dan mengirim do'a. Ibunya sudah meninggal tak lama setelah melahirkannya ke dunia ini. Hanya dengan rutin berziarah dan mengirim do'alah ia bisa melaksanakan kewajibannya untuk berbakti kepada orang tua.

"Ayah udah makan belum?" tanyanya. Yudha, ayah Nabila itu menggeleng.

"Belum makan lagi setelah tadi pagi."

"Nabil bawa sate ayam tadi pas pulang dari makam. Nabil sengaja gak beli sate kambing, takut Ayah mau dan ganggu kolestrol Ayah lagi. Kemarin pas periksa, tekanan darah Ayah naik lagi. Kata Nabil juga makannya harus dijaga. Maaf kalau Nabil dan Bang Raffi larang-larang Ayah makan sembarangan, ini demi kesehatan Ayah juga." Yudha hanya diam mendengar nasehat putrinya.

"Sekarang kita makan siang dulu, ya?! Nabil angetin nasinya dulu bentar." ucapnya sambil berlalu menuju dapur untuk menghangatkan nasi di rice cooker. Ia mengambil satu piring dan menaruh bungkus yang berisi sate ayam yang sudah dibukanya. Sambil menunggu nasi hangat, ia menghampiri ayahnya yang sedang duduk di kursi makan.

"Bil...." panggil Yudha kepada putrinya. Nabila menatap ayahnya.

"Apa, Yah?" Nabila melihat seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh ayahnya.

"Apa kamu sudah mempunyai calon untuk dikenalkan kepada Ayah dan abangmu? Ayah ingin melihatmu segera menikah, Nak." Nabila menghela nafasnya. Lagi-lagi pertanyaan yang sama. Pertanyaan sederhana, tentang jodoh, tapi cukup membuatnya selalu resah dan kelimpungan untuk menjawabnya. Ia menggeleng.

"Belum, Yah. Ayah sama Abang tenang aja. Kalau udah nemu yang cocok, pasti Nabil bakalan kenalin sama kalian." jawabnya.

"Ayahmu ini sudah tua, Nak. Mungkin tinggal beberapa tahun lagi Ayah akan menyusul ibumu. Ayah cuma ingin lihat kalian bahagia dengan pasangan kalian sebelum waktu itu tiba. Ayah ingin kamu ada yang menjaga karena kamu putri Ayah satu-satunya." Nabila merasa tak enak hati kalau ayahnya sudah berbicara yang mengarah pada kematian.

"Ayah jangan ngomong mati-mati lagi, ah! Aku akan selalu berdo'a pada Allah agar Ayah bisa melihat kami menikah dan melihat cucu-cucu Ayah nanti. Ayah minta sama Allah supaya kita selalu diberikan umur panjang dan sehat." ucapnya mencoba untuk mencairkan suasana yang sempat terasa mengharukan baginya.

"Nasinya udah masak. Nabil ke dapur dulu bentar buat ngambil nasinya." ia memilih segera beranjak dari sana. Ia langsung menghapus air mata yang jatuh meluncur melewati wajahnya tanpa disadarinya. Ia tak sanggup untuk melanjutkan kembali obrolan yang terasa membuatnya sesak dan menghantuinya tersebut.

The Wildest DreamWhere stories live. Discover now