4. The Same Old Feeling

4.7K 295 0
                                    

Nabila mengerutkan keningnya saat mendengar suara yang sudah dikenalnya di ruang tamu rumahnya. Ia mengabaikannya karena saat ini ia sudah bangun telat akibat menonton film roman semalam di laptopnya. Ia membenarkan letak kerudungnya dan memeriksa riasannya takut lipstik yang dipakainya belepotan dan merusak penampilannya. Setelah cukup rapi, ia segera meraih tas Sophie Martin-nya yang tergeletak di meja riasnya dan berjalan keluar kamar.

"Yah, Nabil berangkat dulu, ya?!" pamitnya kepada Yudha sambil menyalami tangan lelaki paruh baya itu.

"Kamu gak sarapan dulu?" tanya Yudha yang sedang membaca koran di sofa ruang tengah. Nabila menggeleng.

"Nanti aja Yah di sekolah. Nabil udah telat, nih. Yaudah, kalau gitu Nabil berangkat sekarang, ya?! Assalamualaikum." ucapnya sambil berlalu. Yudha hanya menggelengkan kepalanya. Ia melewati ruang tamu dan dilihatnya abangnya yang sedang mengobrol dengan Radit.

"Bang, Mas Radit, Nabil berangkat dulu ya sekarang?!" pamitnya kepada kedua lelaki itu. Raffi dan Radit menatap Nabila.

"Oh, iya. Kenapa kelihatannya buru-buru?" Nabila hanya tersenyum.

"Takut telat masuk. Ini juga udah kesiangan. Aku kan telat bangun tadi, hehe." ucapnya sambil menyengir.

"Bareng aku aja, ya? Kebetulan aku mau pamit juga." tawar Radit. Nabila sedikit tidak percaya.

"Eh?"
"Iya, bareng sama aku. Kebetulan aku udah selesai. Aku cuma mau nanyain sesuatu aja ke sini sama Raffi." Nabila hanya mengangguk.

"Udah Bil, terima aja! Daripada telat naek angkutan umum. Lagian, motor kamu belum bisa dipake lagi." timpal Raffi. Akhirnya Nabila setuju dan menerima tawaran Radit.

"Iya, deh, aku ikut Mas Radit aja." Radit tersenyum.

"Ayo!" Nabila mengikuti Radit yang berjalan mendahuluinya. Raffi hanya tersenyum penuh makna saat melihat kepergian mereka.

***

Suasana jalan raya pagi ini seperti biasa padat karena waktunya orang-orang mulai mengawali hari dengan menjalankan aktivitasnya masing-masing. Rasa gerah mulai terasa seiring merangkaknya matahari pagi.

"Pegangan yang erat ke tubuhku! Maaf aku agak sedikit ngebut." Nabila terdiam sejenak.

"Bil?" Radit heran saat merasa tak ada suara dari Nabila di belakangnya. Nabila tersentak.

"Eh..., i-iya. Jangan cepet-cepet ya, Mas?! Takut apa-apa nantinya. Ingatlah keselamatan kita." pesannya. Radit tertawa pelan dan mengangguk.

"Iya, makasih udah ngingetin. Kamu pegangan, ya!" Nabila mengangguk dan dengan ragu, ia melingkarkan kedua tangannya di perut rata Radit. Jantungnya sudah berdegup kencang. Diam-diam, Radit tersenyum saat melihat ekspresi canggung Nabila dari kaca spion motornya.

Radit membelokkan motornya ke arah pedagang bubur ayam kaki lima di dekat sebuah klinik. Nabila mengerutkan keningnya.

"Kok ke sini, Mas?" tanyanya heran.

"Aku laper belum sarapan pagi. Kamu udah sarapan belum? Kita makan bubur ayam dulu di sini." Nabila teringat jika ia sendiri juga belum sempat sarapan tadi dari rumah. Akhirnya ia mengangguk.

"Aku juga belum sarapan, Mas. Yaudah, kita makan dulu aja di sini." Radit mengangguk. Ia memarkirkan motornya di tempat yang tak jauh dari gerobak bubur ayam itu. Banyak pembeli yang sedang berkerumun di sana karena waktu yang pas pagi hari untuk sarapan bubur.

"Pesen berapa, Mas?" tanya seorang bapak penjual bubur itu.

"Dua aja Pak dimakan di sini!" Radit melirik Nabila.

The Wildest DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang