9. Trauma

4.8K 269 0
                                    

Radit heran akhir-akhir ini dengan istrinya yang lebih banyak murung dan tidak banyak bicara sejak kemarin sepulang dari sekolah. Tidak hanya padanya, tapi juga pada mertuanya dan kakak iparnya. Mereka juga heran dengan perubahan sikap Nabila. Ia melihat istrinya yang sedang melamun di ranjangnya sambil memandang kosong pada lantai. Ia langsung masuk dan menghampiri istrinya.

"Sayang?" panggilnya lembut. Nabila menolehkan wajahnya dan hanya menatap suaminya sekilas. Radit duduk di samping istrinya.

"Lagi apa? Kamu kelihatannya sedang ada masalah. Kamu bisa cerita sama aku." bujuknya lembut. Nabila masih belum menjawab. Radit mengelus lembut rambut hitam sebahu istrinya.

"Jangan pendem masalahmu sendiri. Aku suamimu dan tempat untukmu bersandar sekarang." Nabila menolehkan wajahnya dan melihat tatapan lembut suaminya. Ia menatap wajah itu sejenak.

"Mas...." Radit hanya menggumam masih dengan kegiatannya mengelus rambut istrinya.

"Kalau misalnya ada perempuan yang menurut Mas lebih segalanya dariku, apa Mas bakalan ninggalin aku?" Radit mengerutkan keningnya heran. Mengapa istrinya bertanya hal-hal seperti itu?

"Kenapa tiba-tiba kamu nanya gitu?" Nabila menggeleng.

"Aku takut..., kalau aku gak bisa menjadi istri yang terbaik untuk Mas dan aku takut jika Mas tak bisa mencintai aku karena kekurangan aku." Radit menatap istrinya serius.

"Mengapa kamu bisa berpikiran seperti itu? Apa kamu takut aku akan mengkhianatimu?" Nabila mengangguk pelan. Radit menghela nafasnya. Ia menatap intens manik hitam Nabila dan memegang pundaknya lembut.

"Dengarkan aku, Nabila! Aku memutuskan untuk menikahimu dan menjadikan istriku bukan semata-mata berdasarkan keputusanku saja, tapi aku juga melibatkan Allah dan juga orang tuaku serta orang-orang terdekatku, termasuk abang dan ayahmu. Aku bukanlah lelaki yang mudah tergoda oleh kesenangan sesaat dan aku bisa membedakan, mana yang cinta sejati, dan mana yang hanya sementara. Kamu tak perlu khawatir, Insyallah aku akan selalu menjaga janji yang telah aku buat. Prinsipku, aku hanya akan mencintai wanita yang menjadi istriku dan ibu dari anak-anakku setelah ibuku dan adikku, dan istriku sekarang adalah kamu, Nabila, jodoh yang telah Allah pilihkan untukku." Nabila menatap manik hitam suaminya. Ia menemukan sebuah tatapan lembut dan permohonan di mata teduh itu.

"Apa sebenarnya yang membuat kamu kepikiran dengan hal itu? Tak apa-apa, cerita saja padaku!" Nabila menarik nafas sejenak. Ada baiknya ia menceritakan keluh kesahnya pada suaminya.

"Kemarin..., aku gak sengaja ketemu sama..., mantan aku sewaktu SMA di minimarket deket sekolah." jelasnya. Ia menatap suaminya yang hanya diam menunggu penjelasan darinya.

"Lalu?" Nabila menghela nafas sejenak.

"Dia seperti biasa nyapa aku dan aku cuma nanggapin seadanya aja. Dia pengen ngobrol bentar sama aku, karena dia maksa, akhirnya aku iyain aja dan kami ngobrol di kafe deket sana." Radit masih menunggu kelanjutan cerita istrinya.

"Dia minta maaf atas putusnya hubungan kami dulu, dan aku bilang gak apa-apa karena aku udah nikah dan dia terkejut denger aku udah nikah. Dia..., sempat minta kesempatan kedua sama aku." Nabila menatap ragu suaminya yang hanya diam tanpa ekspresi.

"Apa sebenarnya yang pernah terjadi di antara kalian dulu?" tanya Radit. Nabila menatap suaminya sejenak. Apa ia harus menceritakan kembali kenangan pahit yang tak ingin diungkitnya kembali?

"Dulu..., kami sempat berpacaran selama 1 tahun lebih sewaktu SMA. Hubungan kami terlihat baik-baik saja hingga, aku menemukan dia sedang berdua bersama sahabat aku di belakang sekolah dan aku denger sendiri pengakuan dia kalau dia..., mencintai sahabat aku juga, Mas." jelasnya sambil berusaha untuk tegar saat mengingat luka lama itu.

"Aku marah sekali kepada mereka. Mereka begitu tega mengkhianati aku. Aku gak tahu, apa sebenarnya salah aku, Mas?" air mata yang menggenang di matanya kini terjatuh tak tertahan lagi. Radit langsung meraih istrinya ke dalam pelukannya. Ada rasa ingin melindungi dan menyayangi yang besar terhadap wanita yang kini sudah berstatus sebagai istrinya tersebut.

"Sudahlah! Jika kamu tak ingin menceritakannya lagi, jangan diteruskan lagi." ucapnya sambil mengelus punggung Nabila yang bergetar karena tangis. Nabila terisak di dada bidang suaminya.

"Aku bukannya masih ada rasa sama dia, Mas, tapi aku takut, kalau semua itu akan terjadi lagi dalam hubunganku saat ini. Aku takut dikhianatin lagi. Apa aku berhak bahagia, Mas?" Radit tersenyum.

"Tentu saja. Itu artinya, dia bukan lelaki yang baik untukmu. Jika memang dia benar-benar mencintaimu, dia harus tegas dengan pilihannya, bukan berselingkuh di belakangmu." Nabila mengangguk. Radit melepaskan pelukannya dan menatap wajah sembab istrinya. Ia mengusap lembut air mata istrinya.

"Jangan nangis lagi, ya?! Aku janji, aku tak akan pernah meninggalkan kamu. Aku akan selalu menjaga janjiku kepada Allah, ayahmu dan abangmu untuk menjagamu dan melindungimu selalu selama hidupku." Nabila menatap suaminya.

"Apa Mas bisa mencintaiku?" Radit tersenyum. Ia mencium kening istrinya sayang.

"Kamu bisa rasakan itu dari sikapku padamu. Semakin hari, aku merasakan rasa cinta itu semakin tumbuh subur di antara kita. Aku tak tahu sejak kapan rasa itu datang. Tapi, aku punya keyakinan, sejak pertama aku melihatmu, aku langsung merasakan sebuah ketertarikan dan keserasian antara kita. Aku mengagumimu dari awal kita bertemu, Bil. Dan hal itulah yang membuat aku memutuskan untuk menikahimu. Aku percaya, cinta sejati akan kita rasakan setelah kita halal." Nabila tersenyum. Ia tertegun dengan kata-kata suaminya yang menghangatkan hatinya.

"Aku mencintaimu, Mas." Radit menatap istrinya hampir tidak percaya.

"B-benarkah??" Nabila tersenyum dan mengangguk. Rona merah menyebar di wajah bersihnya.

"Sejak kapan?" Nabila menarik nafasnya sejenak.

"Sejak..., aku bertemu pertama kali denganmu saat Mas masih kuliah dan sering maen ke sini." Radit terkejut dengan pengakuan istrinya.

"Sudah lama?" Nabila mengangguk. Radit tersenyum dan menatap wajah cantik istrinya.

"Jadi istriku sudah mencintaiku sejak lama? Aku gak tahu kalau ada yang diam-diam memendam rasa padaku." Nabila menunduk malu. Wajahnya merah padam.

"Tapi..., Mas waktu itu sudah punya pacar." Radit tersenyum.

"Itu kan udah lama. Yang penting sekarang, kita sudah bersatu dan Allah sudah menjodohkan kita." Nabila mengangguk. Ia menatap sekali lagi suaminya.

"Mas seneng gak waktu itu aku suka sama Mas?" Radit tertawa pelan. Ia mencubit pelan hidung mungil dan tajam istrinya.

"Tentu saja, karena yang suka sama aku adalah istri aku sekarang. Ya, meski aku sempat berlabuh di lain hati." Nabila mengangguk.

"Jangan terus mikirin yang bukan-bukan! Lebih baik sekarang kita bikin dedek bayi saja, lebih menyenangkan tentunya." Nabila tertawa saat melihat kedipan mata menggoda suaminya.

"Maaf, Mas, sepertinya..., Mas harus puasa untuk seminggu ini." Radit menatap istrinya terkejut.

"Hah?" kagetnya bercampur frustasi. Nabila menahan tawanya saat melihat perubahan wajah suaminya yang langsung berubah mendung.

"Iya, Mas. Aku baru dapet haidku tadi pagi. Mas yang sabar, ya?!" Radit mengacak rambutnya frustasi. Lagi-lagi, kegiatan favoritnya harus terganggu oleh tamu merah itu."

"Mas mau kan nunggu?" dengan berat hati, akhirnya Radit mengangguk.

"Ya, aku mencoba untuk sabar menunggumu. Tapi, cuma atasnya aja jangan libur, ya?!" Nabila tertawa pelan dan mengangguk.

"Iya, Mas." Radit tersenyum dan membimbing istrinya untuk tidur karena malam mulai larut.

"Sekarang kita tidur, ya?!" Nabila mengangguk. Radit meraih selimut dan menutupi tubuh keduanya. Ia memeluk erat istrinya dari belakang. Nabila mulai memejamkan matanya dan menikmati pelukan hangat suaminya yang menghalau rasa dingin malam ini. Ia berharap, kemesraan ini tak hanya sebatas angan saja dan untuk sementara waktu, tapi untuk selamanya sampai waktu mereka di dunia ini habis dan kekal abadi di akhirat nanti.

The Wildest DreamWhere stories live. Discover now