19. Dia Satu-Satunya

5.1K 271 1
                                    

Nabila mencoba untuk menetralkan degup jantungnya saat ini. Sebenarnya, ia malas harus mengikuti saran suaminya. Tapi, dengan penuh pengertian dan kesabaran, Radit akhirnya bisa membujuk istrinya. Ia pasrah saja saat suaminya menggenggam tangannya menuju ke dalam restoran.

"Kamu gak usah takut. Kita ingin kan semuanya cepat selesai dan gak ada kesalahpahaman lagi?" Nabila hanya mengangguk mendengar saran suaminya. Lalu, mereka berjalan menuju sebuah meja di mana seorang perempuan yang menjadi penyebab kesalahpahaman di antara mereka sedang menunggu kedatangan mereka. Radit tersenyum begitu sampai di sana dan duduk di sebelah istrinya. Nabila bisa melihat raut keterkejutan di wajah cantiknya. Apa suaminya tak memberitahukan kalau mereka akan datang berdua menemuinya.

"Maaf, Ja. Udah lama nunggu?" Senja yang tersadar dari keterkejutannya hanya tersenyum kaku dan mengangguk.

"Gak terlalu lama, kok." Radit menatap istrinya di sebelahnya, lalu ia kembali menatap Senja.

"Maaf jika aku memintamu datang ke sini tanpa memberitahu kalau aku akan datang bersama istriku. Aku hanya ingin meluruskan kesalahpahaman di antara kita." Senja menatap Nabila dengan raut malu dan tidak enak.

"Bukan aku tak mau lagi menemui Raka, tapi kamu juga harus mengerti, ada hati yang harus aku jaga dengan baik saat ini. Bukan maksudku untuk mengungkit masa lalu, tapi status kita dulu bisa menjadi penyebab retaknya hubunganku dengan istriku. Meski kita tak melakukan apa-apa, tapi orang akan berpikiran lain mengingat kita pernah terikat dalam sebuah hubungan dulu. Aku hanya ingin menjaga perasaan istriku, Ja. Aku mohon kamu bisa mengerti akan hal ini." Senja menatap Radit sendu. Matanya sudah berkaca-kaca.

"Tapi..., aku selalu tak tega melihat anakku selalu merengek ingin bertemu denganmu. Apa kamu tak mau memberikan kesempatan padaku sekali lagi?" Nabila mengerutkan keningnya. Ia mulai merasa tak enak hati akan kelanjutan kata-kata perempuan itu. Radit menatap Senja sejenak.

"Kesempatan apa maksudmu?" Senja terlihat menghela nafasnya. Perempuan itu menatap Nabila.

"Nabila, maafkan aku jika aku terlalu lancang mengatakan hal ini. Bolehkah jika kamu mengizinkan suamimu..., untuk menikahiku..., demi Raka, putraku?" seketika, dada Nabila langsung bergejolak. Matanya langsung berubah tajam dengan kilatan emosi yang terpancar jelas membuat Senja takut dengan ledakan amarah yang akan ditumpahkan wanita itu kepadanya. Radit membulatkan matanya tak percaya. Ia tak menyangka Senja akan mengatakan hal itu secara gamblang pada istrinya. Hatinya mulai gelisah saat merasakan suasana yang mulai memanas dan tegang di antara mereka.

"Sayang...." Radit mencoba menahan tangan istrinya yang akan beranjak mendekati Senja. Mata Nabila masih menatap tajam wanita itu. Senja tak berani membalas tatapan Nabila yang terasa begitu menusuk.

"Apa kamu sadar? Kamu baru saja meminta suamiku untuk kembali kepadamu secara langsung kepada istrinya. Apa maksud kamu memintaku untuk meninggalkan Mas Radit, gitu?" tanyanya dengan nada datar dan dingin. Senja hanya diam saja.

"Aku mengerti dengan apa yang sedang dialami oleh anak kamu sekarang. Tapi, apakah ada cara yang lebih baik lagi selain meminta suamiku untuk menjadi ayahnya? Jangan gunakan alasan anakmu lagi untuk mengambil suamiku dariku. Apa pun yang terjadi di antara kalian dulu, itu hanyalah masa lalu. Kamu yang memilih meninggalkan Mas Radit dan dengan entengnya, kamu ingin memintanya kembali padamu seperti dia sebuah barang yang bisa kamu pakai dan buang sesukamu. Dia hanya manusia biasa yang berhak bahagia tanpa bayang-bayang masa lalunya. Dan aku adalah masa depannya yang akan memberikan kebahagiaan untuknya." jelasnya. Senja masih diam dengan wajah menunduk. Lidahnya terasa kaku hanya untuk membalas ucapan Nabila. Dalam hatinya, Radit bangga akan arti dirinya bagi Nabila saat ini. Ia merasa sangat dibutuhkan dan dicintai. Senja merasa sangat malu dengan ucapan Nabila yang begitu menohok hatinya.

The Wildest DreamWhere stories live. Discover now