Keduanya lalu terdiam. Menoleh pada Ikha dan Yuna yang kini sibuk mengobrol sambil sesekali memakan camilan.

Tatapan Bia menyusuri setiap sudut kantin, dan menemukan sesuatu. Tak lama kemudian, tatapannya kembali pada Rara. "Lo pasti tahu Stella?" tebaknya.

Berhubung hobi Bia adalah menjelajahi sekolah, maka Rara sudah tak heran jika cewek itu tahu nama dari sebagian besar murid di sekolah ini, berikut wataknya.

Biasanya, Miss Gadget ini akan menjelajah bersama Fatma yang memang memiliki misi sama, yaitu harus menjadi orang yang pertama tahu akan segala kejadian di sekolah. Akan tetapi, dua cewek itu tak terima jika dijuluki sebagai duo pencari gosip. Padahal, ya begitu.

"Iya tahu. Biarpun dari dulu gue juga jarang ngobrol sih, sama dia. Emang kenapa, sama dia?"

"Bukannya gue mau jelek-jelekin dia, Ra. Tapi gue harus ngomong ini, biar plong. Dosa karena ghibah, biarin deh!" Bia terdiam, menunggu persetujuan. Salah-salah, lawan bicaranya akan kesal saat mendapatinya membicarakan orang lain.

"Kita tanggung sama-sama deh dosanya," kekeh Rara.

Bia mengangguk. "Dia itu, kalau lagi sama Diandra atau anggota Geng Radiant lain, ya ampun. Ngomongnya, buset! Banyak banget, sampai menuhin ruangan! Mana lagi, yang diomongin ya cuma seputar cowok, gebetan, sama harta ortunya. Nggak ngasih kesempatan yang lain ngomong. Sekalinya nggak sama gengnya, dieeem mulu!"

"Mungkin nggak tahu mau bahas apa, makanya diem. Gue juga kalau nggak tahu lo sama yang lain lagi bahas apa pasti milih diem, kan?"

"Gue sih maklum, kalau nggak mau ngobrol karena nggak tahu mau bahas apa. Tapi yang gue nggak habis pikir itu ini, Ra. Nyapa, kalau bukan anggota gengnya, dia nggak mau. Jangankan nyapa. Bales senyum aja ogah-ogahan! Kecuali, yang nyapa atau yang ngajak senyum itu dari kalangan anak-anak tenar. Itu udah beda urusan. Ketahuan banget, dia suka pilih-pilih temen. Cuma mau ngomong sama yang dia suka doang." Bia menggerakkan dagunya. "Tuh, buktinya. Sama cowok-cowok aja ketawa kenceeeng, pura-pura humoris!"

"Bukannya emang humoris, Bi?"

"Humorisnya maksa!" sahut Bia sebal.

"Lagi ngobrolin apa, hayo?" tanya Mbok Mi, mengantar pesanan.

Penjaga kantin senior dan empat remaja ini memang sangat akrab. Bahkan saking akrabnya, terkadang mereka bercerita dan bertukar pikiran, saat keadaan memungkinkan. Meski usianya sudah tak bisa dikatakan muda lagi, Mbok Mi masih menyambung dengan cerita keempat cewek itu, selama tak menggunakan bahasa gaul yang membingungkan.

Bia tertawa sebentar. "Mbok Mi pengen tahu aja, ih."

"Jadi, Mbok nggak boleh tahu, nih?"

"Jangankan Mbok Mi. Yang di sini aja dianggurin!" sindir Ikha.

"Lo aja ngobrol sama Yuna. Sama-sama nganggurin juga, kan?" sahut Bia.

"Kalau Mbok nggak lagi sibuk, pasti boleh ikut. Tapi kan dari tadi anak-anak udah pada manggil-manggil Mbok Mi," ujar Rara sambil tersenyum.

"Ya sudah. Mbok ke sana dulu, ya. Silakan dinikmati," pamit Mbok Mi.

"Iya, Mbok. Terima kasih, sudah diantar," balas keempat remaja itu.

"Sendok, dong." Bia meminta Rara mendekatkan tempat sendok kepadanya.

"Gue mau jujur sama lo Ra, mumpung ada kesempatan." Ikha memberikan kode kepada Rara, agar cewek itu memusatkan perhatian kepadanya.

"Apa, apa?" tanya Rara, sedikit tak sabaran.

Ikha berdeham sebentar. Kemudian, mengutarakan bahwa saat masih awal-awal kelas sepuluh lalu, ia sering berprasangka buruk terhadap Rara, yang ia kira sama saja dengan Diandra yang centilnya tak bisa dikata, sok cantik, dan bossy itu. "Ditambah lagi Stella yang nggak mau ngobrol sama sembarang temen, persis kayak apa yang dibilang Bia barusan." Ikha mengangkat botol saus sambal untuk dituang isinya.

Garis InteraksiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt